Satu Keluarga Satu Anak Perempuan, Ide Brilian Agar Indonesia Tidak Punah

Dr. Mustakim. Foto: humas BKKBN

Oleh Dr. Mustakim *)

semarak.co-Akhir-akhir ini lagi viral bin heboh di dunia maya tentang munculnya pendapat dokter Hasto (Kepala BKKBN RI) yang menyatakan tentang harapan atau boleh disebut sebagai kehendak pribadi agar satu keluarga di Indonesia minimal mempunyai anak satu perempuan.

Bacaan Lainnya

Jika satu persatu komen netizen ditelusuri, umumnya bernada miring, sinis alias negatif. Bahkan ada beberapa netizen yang menghadapkan pernyataan atau “kehendak” dokter Hasto ini dengan “kehendak Allah” alias takdir Tuhan.

Sebagai orang yang lama bekerja di BKKBN (sejak tahun 1998), sedikit merasa terusik dengan kehebohan ini, dan mengantarkan terawang kepada masa silam ketika pertama kali BKKBN hadir di Indonesia.

Badan ini awalnya adalah sebuah perkumpulan (non pemerintah) dengan nama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan mulai beranjak menjadi organisasi “semi” pemerintah dengan nama Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) tanggal 17 Oktober 1968.

Tahun 1970 ditetapkan sebagai lembaga resmi pemerintah dengan nama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dan…, singkat cerita, berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 BKKBN yang sebelumnya memiliki kepanjangan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berubah menjadai Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (tetap disingkat BKKBN.

Meskipun singkatan huruf “K” yang semula “Koordinasi” berubah menjadi “Kependudukan”). Pada awal kelahirannya (tahun 1970-an), ketika tugas BKKBN harus menurunkan angka kelahiran atau Total fertility Rate (TFR) Indonesia yang kala itu sebesar 5,6, Badan ini juga sempat “diserang” masyarakat yang tidak setuju jumlah anaknya dibatasi dengan “Cukup 2 Anak” saja.

Beberapa Penyuluh KB senior (yang sebagian besar sudah pada pensiun) pernah bercerita tentang pengalaman pahitnya karena diserang dan dikejar-kejar dengan diacungkan parang/golok oleh seorang suami yang tidak setuju istrinya diajak ikut KB (dipasang alat kontrasepsi).

Pada tataran ide atau pendapat, BKKBN juga pernah mendapat tantangan dari sebagian tokoh agama yang tidak setuju dengan pembatasan jumlah anak. Bahkan sebagian kelompok (agama) tertentu sampai sekarang masih ada yang menentang KB.

Dalam kurun waktu 50-an tahun (dari 1970 – 2020-an sekarang) tugas berat BKKBN menurunkan angka TFR sebenarnya telah berhasil, karena TFR Indonesia telah turun dari 5,6 (tahun 1970-an) menjadi 2,14 saat ini.

Angka TFR 5,6 dan 2,1 ini bukanlah angka persentase, jadi jangan dibaca persen. Ini adalah angka kelahiran total per Wanita Usia Subur (WUS) usia 15-49 tahun, yang artinya “rata-rata” jumlah anak per-WUS di Indonesia.

Dulu (1970-an), rata-rata anak WUS di Indonesia sebesar 5,6 atau jika digenapkan adalah 6, dan sekarang rata-rata anaknya WUS Indonesia adalah 2,14 (data BKKBN) atau 2,18 (data BPS) atau jika digenapkan menjadi 2.

Penulis menyebut beberapa kali kata/kalimat “rata-rata” dan “WUS” pada alinea terakhir di atas, karena inilah yang harus dijelaskan kepada publik yang terlanjur “salah paham” dengan kalimat yang disampaikan dokter Hasto saat Media Brifing di salahsatu hotel di Semarang, Jawa Tengah, saat perayaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 Tahun 2024 tingkat nasional baru-baru ini.

Kenapa rata-rata? Karena yang dimaksud dokter Hasto dalam pernyataannya adalah angka rata-rata! Lalu, kenapa WUS atau Wanita Usia Subur? Karena untuk menghitung angka rata-rata kelahiran atau TFR adalah WUS, karena WUS atau Wanita Usia Subur-lah yang melahirkan!

Sebenarnya dokter Hasto sendiri sudah menyampaikan klarifikasinya, bahwa yang dimaksud satu keluarga satu anak perempuan adalah angka rata-rata. Bukan satu keluarga “wajib” punya satu anak perempuan. Tentu saja wilayah “wajib” adalah wilayahnya agama yang sumbernya adalah Tuhan.

Manusia tidak mempunyai kemampuan mewujudkan hal tersebut karena urusan jenis kelamin anak dalam kandungan adalah wilayah “takdir Tuhan”. Salahsatu media yang memuat pernyataan dokter Hasto adalah detikjatim (Rabu, 03 Juli 2024) yang ditulis Nafilah Sri Nagita dengan judul berita: “BKKBN Minta Satu Pasangan Punya 1 Anak Perempuan, Ini Alasannya”. Pada alinea keenam tertulis:

“………Saya berharap adik-adik perempuan nanti punya anak rata-rata satu perempuan. Kalau di desa ada 1.000 perempuan, maka harus ada 1.000 bayi perempuan lahir.”

Kalimat tersebut, sudah sangat jelas menyebutkan bahwa yang dimaksud dokter Hasto adalah angka rata-rata, bukan angka individual tiap perempuan harus punya satu anak perempuan. Tapi, kehebohan tersebut adalah tantangan, atau “tantangan baru” bagi BKKBN yang menjadi titik balik “tantangan lamanya”.

Dalam tantangan lama BKKBN harus berhadapan (langsung) dengan para tokoh agama dan/atau keluarga-keluarga yang tidak setuju program KB dalam rangka menurunkan angka TFR.

Dalam “tantangan baru” kali ini BKKBN harus berhadapan (tidak langsung) dengan para netizen yang “tidak setuju” dengan ide “1 keluarga 1 anak perempuan” dalam rangka mempertahankan TFR agar tetap pada posisi rata-rata 2,1.

Menjaga Bendungan tak Jebol

Ada dua hal yang dihadapi BKKBN dalam tantangan baru kali ini. Pertama, memberikan pemahaman kepada para netizen tentang maksud “1 keluarga/perempuan/WUS diharapkan memiliki 1 anak perempuan”.

Tentu saja dengan menggunakan bahasa demografi atau setidaknya bahasa Total Fertility Rate (TFR) yang angkanya saat ini sudah perlu untuk dipertahankan agar tidak menukik turun hingga di bawah angka 2,0. Masalahnya, jika angka TFR “terjun bebas” hingga di bawah angka 2,0 ketakutan yang sama pernah dialami seorang pakar demografi Prof. Aris Ananta.

Sekitar tahun 2012 saat berada di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura, Prof. Aris Ananta pernah menyampaikan kegalauannya di depan tamu yang terdiri dari pejabat dan karyawan BKKBN (salahsatunya penulis sendiri) tentang keinginan BKKBN untuk menurunkan angka TFR hingga 2,1.

Harapan beliau saat itu malah di sekitaran angka 2,4 atau 2,5. Sebab jika TFR berada pada angka 2,1 takutnya turun hingga di bawah 2,0. Ini mengingat angka 2,1 bedanya begitu tipis dengan 2,0.

Kedua, Mencermati kegalauan Prof. Aris Ananta dengan angka-angka TFR tersebut, dan dengan realita saat ini TFR Indonesia sudah pada posisi 2,14 atau 2,18, sepertinya tugas berat BKKBN bukan lagi menurunkan angka kelahiran tetapi sudah beralih ke menjaga stabilitas angka kelahiran (TFR) agar tetap pada posisi 2,1.

Jika diibaratkan maka tugas seperti ini ibarat “menjaga sebuah bendungan agar tidak jebol”. Bahkan bendungan yang dijaga oleh BKKBN bisa ditafsirkan “lebih berat” daripada menjaga bendungan air yang kita kenal selama ini.

Jika sebuah bendungan air jebol, ia akan jebol ke bawah (saja). Tapi jebolnya TFR (atau katakanlah sebagai “bendungan penduduk”) bisa ke bawah dan bisa ke atas. Jebol ke bawah, maksudnya TFR akan terjun bebas hingga (misalnya) ada pada posisi nol koma sekian, maka bisa berdampak pada punahnya bangsa Indonesia.

Hal ini mengingat orang/keluarga/WUS Indonesia tidak ada lagi yang mau melahirkan anak, dan yang hidup pun pasti lambat laun habis/meninggal dunia. Sedangkan jebol ke atas adalah kembali pada masa lalu di mana TFR Indonesia tinggi yang ujungnya akan berdampak pada “beratnya” pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia Indonesia.

Agar “bendungan penduduk “atau Total Angka Kelahiran (TFR) tersebut tidak jebol (baik ke atas atau ke bawah), maka satu-satunya cara adalah kita mempertahankan angka TFR tetap pada posisi 2,1 atau Angka Kelahiran Rata-Rata dari setiap perempuan/Wanita Usia Subur (WUS) usia 15-49 tahun di Indonesia sebesar 2,1.

Angka 2,1 tersebut memiliki makna bahwa rata-rata WUS (atau sebagian lebih suka menyebut “keluarga” mengingat pada umumnya WUS punya anak di Indonesia adalah berkeluarga) mempunyai anak 2,1 atau 2 anak lebih sedikit.

Realitanya dalam keluarga tentu ada yang punya anak dua atau tiga atau empat atau lebih. Tetapi juga ada yang tidak punya anak sama sekali meskipun WUS tersebut sudah berkeluarga. Nah, jika dirata-ratakan dari seluruh anaknya WUS (keluarga) di Indonesia saat ini adalah 2,1.

Jika TFR 2,1 ini bisa terus bertahan (tidak jebol ke atas dan ke bawah), maka itulah yang dimaksud pertumbuhan Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS). Silahkan yang mau menafsirkan maksud PTS tersebut sebagai “seimbang antara pertumbuhan penduduk dan ekonomi”, karena memang pertumbuhan ekonomi Indonesia baru mampu “menghidupi” dua anak (ini juga angka rata-rata.

Jika dilihat dalam realita tentu ada yang kaya dan ada yang miskin atau bahkan yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin). Atau ada juga yang menafsirkan PTS sebagai seimbang antara yang mau meninggal dunia sebanyak dua orang (ayah dan ibu) dan yang mau hidup atau meneruskan kehidupan berikutnya yakni dua anak. Tentu ini juga angka rata-rata.

Karena realitanya ada keluarga (suami istri) yang tidak punya anak sama sekali hingga meninggal dunia keduanya. Ada yang punya anak tiga (tentu jika suami-istri tersebut meninggal maka keluarga tersebut menjadi +1). Jika anaknya empat maka menjadi +2, dst. Tentu saja ada juga yang hanya punya anak dua, maka pengganti kedua orang tuanya sangatlah pas yaitu dua orang.

Nah, persoalannya, jika yang punya anak dua ini (misalnya) meninggal, dan ia tidak meninggalkan anak perempuan satupun, lalu kedua anak laki-lakinya (sebelum menikah) juga meninggal dunia, maka keluarga tersebut dapat dipastikan “wassalam” alias selesai karena tidak punya keturunan lagi (“punah”). Kenapa perempuan? Karena yang bisa melahirkan memang hanya perempuan.

Pernyataan ini sekaligus menyanggah tentang anggapan sebagian pakar yang menyebut pernyataan dokter Hatso sebagai tidak responsif gender (https://www.detik.com/jatim/berita/d-7427639/pakar-kritik-bkkbn-soal-satu-pasangan-punya-1-anak-perempuan). Masalahnya, apakah peran melahirkan saat ini sudah bisa tergantikan oleh kaum laki-laki?

Kesimpulannya, meskipun BKKBN selama ini menekan angka kelahiran, namun BKKBN juga tetap menganjurkan agar keluarga di Indonesia berusaha tetap “menghadirkan” anak perempuan agar proses kelahiran dan kehidupan bangsa Indonesia terus berjalan stabil dan seimbang.

Jika masing-masing keluarga di Indonesia tidak bisa menghadirkan satu anak perempuan (dan pastinya hal ini tidak mungkin bisa karena memang merupakan wilayah takdir Tuhan untuk menentukan jenis kelamin anak yang dilahirkan), setidaknya jumlah WUS yang ada saat ini bisa terus tergantikan oleh WUS-WUS berikutnya.

Tentunya, karena garapan BKKBN disamping kependudukan juga adalah keluarga-keluarga se-Indonesia, maka bicara tentang angka TFR dan tentang “1 keluarga punya 1 anak perempuan” se Indonesia adalah berbicara tentang angka rata-rata, seperti penyampaian dokter Hasto di atas.

*) Penulis adalah Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya Perwakilan BKKBN Sultra

 

sumber: WAGroup Jurnalis BKKBN Pusat (postRabu10/7/2024/hms)

Pos terkait