Saat Propaganda Ancaman Radikalisme, Islam Dikapitalisasi Jadi Senjata Politik

Grafis tentang radikalisme. foto: zamane.id

“Isu gerakan radikalisme agama merupakan taman bermain bagi intelijen dan ini membahayakan masa depan agama,” ujar Prof. John L. Esposito, Guru Besar Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat (AS). Pernyataan Esposito bisa jadi benar.

semarak.co-Menurut Karen Armstrong dalam The Batlle for God: Lewat badan intelijen, banyak rezim penguasa negara di dunia sering menggunakan isu radikalisme agama sebagai instrumen untuk memainkan kepentingan politik mereka.

Bacaan Lainnya

Itu menyulut saling curiga dan memecah belah umat beragama, mengalihkan fokus dari kebobrokan rezim yang sebetulnya sangat rapuh. Tidak pernah Nabi Muhammad mengajarkan atau mencontohkan cara-cara teroris yang biadab, bodoh dan pengecut.

Entah makhluk apa yang telah merumuskan doktrin teroris berbungkus agama. Sejarah mencatat terorisme berkembang sejak berabad lampau, berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.

Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Prancis, tapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Prancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Kata Terorisme berasal dari Bahasa Prancis ‘Le Terreur’ yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Prancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Itulah rezim teror.

Selanjutnya, Terorisme modern mulai muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika.

Dilakukan oleh mereka yang percaya bahwa Terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial. Terorisme telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, pemberontakan, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana mengokohkan kekuasaannya.

Setelah serangan 11 September di New York City dan di Pentagon, pemerintah AS meningkatkan keamanan di semua lini. Kemudian, Kongres mengesahkan Patriot Act, undang-undang yang memudahkan lembaga penegak hukum AS untuk melacak aktivitas serta memantau komunikasi online dan telepon orang Amerika yang dicurigai.

“Setelah 9/11 kebencian dan diskriminasi terhadap muslim meningkat,” kata Sumayyah Waheed, seorang konsultan kebijakan yang bekerja dengan Muslim Advocates, sebuah kelompok hak-hak sipil yang berbasis di Washington, DC, seperti dikutip laman zamane.id/06 OKTOBER 2021.

Sumayyah Waheed menambahkan, “Tiba-tiba, kehidupan sehari-hari Muslim Amerika menjadi subjek kecurigaan publik secara luas, keyakinan mereka dirasialisasi, dan semua komunitas Islam menghadapi pengawasan ketat dari masyarakat Amerika yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Meskipun elemen kunci dari undang-undang tersebut berakhir pada Maret 2020, organisasi hak-hak sipil mengatakan itu meninggalkan dampak yang langgeng pada Muslim Amerika, yang menjadi sasaran secara tidak proporsional. Bahwa undang-undang tersebut melanggar hak-hak sipil dan konstitusional orang Amerika.

Selanjutnya bukan hanya di Amerika. Propaganda isu radikalisme Islam sebagai sumber terorisme terus menerus gencar dihembuskan di seluruh dunia. Propaganda ancaman radikalisme Islam bahkan digunakan sebagai senjata politik oleh rezim anti-Islam dan jaringan politiknya. Membuat umat muslim di banyak negara menjadi tersudut. (net/zam/smr)

 

sumber: zamane.id di WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO (postSelasa6/10/2021/andisyah)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *