Oleh Dr. Sri Watini, S.Pd., M.Pd *
semarak.co -Pandemi wabah virus corona jenis baru penyebab Covid-19 telah merubah sistem pendidikan di Indonesia secara drastis. Baik dari PAUD sampai Pendidikan Tinggi. Perubahan sistem belajar konvensional ke pembelajaran berbasis digital telah memaksa semua komponen untuk melakukan reformasi secara total.
Pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab pihak sekolah atau kampus akan tetapi semua harus berperan serta dalam keberlangsungan proses pendidikan agar tetap bisa berjalan walaupun tertatih-tatih.
Proses pembelajaran dari mulai PAUD selama ini seperti layaknya menitipkan anak ke sebuah Lembaga penitipan dan orang tua bisa merasa tanggung jawab semua diserahkan pada guru atau pendidik tanpa beban. Guru dalam hal ini harus melakukan usaha sebaik mungkin ketika anak sudah berada di lingkungan Lembaga PAUD sebagai satu amanah.
Pada masa covid- 19 yang semuanya harus belajar di rumah, bekerja di rumah memaksa para orang tua baik yang selama ini tidak bekerja maupun yang bekerja untuk siap membelajarkan putra-putrinya dengan baik. Adakah terlintas pertanyaan bagaimana para orang tua membelajarkan putra putrinya secara daring?
Masih untung bagi para orang tua yang bekerja dan terbiasa memegang laptop atau IT, mungkin dapat membelajarkan anaknya tetapi mungkin juga tidak. Berapa banyak orang tua yang bekerja seperti itu. Pasti lebih banyak yang bekerja tanpa media IT dalam kesehariannya.
Tidak salah jika kita belum memiliki keyakinan bahwa orang tua yang pandai dan terbiasa menggunakan IT mampu membelajarkan anaknya dengan baik. Belum lagi tingkat kesabaran para orang tua yang diuji dalam mengajarkan anak tanpa bekal ilmu pendidikan dengan sistem daring.
Lama-lama bisa berantem antara anak dengan dengan orang tua…anak akan bilang….” Mama sih gak kayak bu Guru..Papa juga sama gak kaya Pak Guru di sekolah…akhirnya terjadinya pembiaran anak tidak belajar yang penting didalam rumah bersama keluarga tidak ke mana-mana, belajar semampunya. Itupun terkadang anak lolos kabur main ke luar namanya juga anak-anak. Bodo amat dengan Covid.
Tidak sekali dua kali kita melihat video, foto, meme, dll yang isinya ironisme anak merengek kangen bu guru atau pak guru di sekolah…gak enak belajar di rumah..diomelin mulu sama mama papa dan sebagainya. Justru itu gambaran yang sesungguhnya bahwa kita semua belum siap untuk sistem pembelajaran daring di rumah http://sayangi.com.
Lantas intensifkah hubungan guru dengan orang tua selama Covid-19 ini. Mungkin bagi jenjang Pendidikan SMP – Perguruan Tinggi hubungan murid atau mahasiswa dengan guru atau dosen tidak masalah dibandingkan dengan PAUD? Jawabnya pasti belum tentu. Karena banyak beredar medsos yang pada demo melalui tulisan-tulisan on-line terkait dengan sistem daring yang beredar melaui wa, facebook dan lain-lain.
Kenyataan selama ini pembelajaran di PAUD-SMA belum banyak yang menggunakan sistem daring. Ironis juga bagi perguruan tinggi. Guru PAUD belum banyak memiliki kemampuan IT dengan baik tetapi gak perlu malu karena tingkatan atau jenjang PendidikanTinggi juga banyak masalah.
Dapat diyakini keberhasilan Pendidikan di masa Covid-19 ini untuk PAUD dan SD bahkan SMP maupun SMA masih sangat sulit dalam pencapaian hasil kompetensi sesuai yang diharapkan.
Program Kemdikbud yang akan memberikan bantuan guru PAUD yang selama ini dapat honor kecil di lembaganya akan diperjuangkan selama Covid-19 karena ada kemungkinan mereka tidak mendapatkan lagi honor ngajar karena anak-anak di suruh belajar di rumah.
Benar-benar saat ini Pendidikan kita butuh inovasi-inovasi cepat tanggap dengan ide-ide baru untuk menemukan cara terbaik bagi proses pendidikan kita di masa Covid-19 ini.
Pendidikan berbasis IT saat ini memang tidak bisa lagi di elakkan, mau dan tidak mau harus mau, bisa dan tidak bisa harus bisa. Tetapi siapa yang melaksanakan dan di mana pelaksanaannya? Bagaimana prosesnya? Sudah siapkah sumber daya kita ? Sudah siapkah lembaga pendidikan kita?
Sudah siapkah lembaga pendukung IT dan internetnya? Sudah siapkah para provider memberikan layanannya yang efektif, efisien dan ekonomis? Sudah kolaborasikan pemerintah dengan para provider? Masih banyak tentu pertanyaan yang muncul dalam benak kita? Pertanyaan 5W + 1H Who (siapa), What (Apa), Why (kenapa), Where (dimana), When (kapan) dan How (bagaimana) semua harus terjawab.
Terkait dengan SDM sendiri sudah yakinkah para SDM Guru atau pendidik dengan kemampuan IT nya ? Siapkah para orang tua untuk membelajarkan putra putrinya dengan daringnya.
Jangankan di wilayah-wilayah terpencil yang jaringan internetnya susah. Di kota saja masih belum lancar dan sering jaringan on-off, on-off membuat gregetan sehingga sangat sulit mengimplementasikan sistem daring ini.
Beranjak bicara pada proses pendidikan di Perguruan Tinggi saat ini. Apa yang terjadi? Apakah Lembaga Pendidikan tinggi di pademi covid-19 ini tidak pontang-panting? Apakah proses pembelajaran daring di perguruan tinggi lancar?
Dan lain-lain pertanyaan yang masih banyak dan belum bisa terjawab. Pada saat ini benar-benar membutuhkan adanya satu kebijakan, satu tindakan, satu implementasi nyata dalam penyelesaiannya.
Masalah pembelajaran daring di Perguruan Tinggi belum bisa berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan. Di Wilayah Jakarta dan sekitarnya yang notabene dibilang kota besar dengan bebagai sarana yang lengkap pembelajaran daring belum berjalan lancar.
Buktinya jaringan yang kurang bagus, sarana media on line yang tidak efektif, keterbatasan kuota bagi mahasiswa maupun dosen, keterbatasan sarana HP jadul dan belum memiliki laptop,
Ketakutan akan penyadapan data, koneksitas tidak lancar belum lagi wabah Covid-19 yang semakin menjamur di wilayah-wilayah walaupun sudah diimplementasikan Sistem PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tetap saja pelanggaran di mana-mana belum disiplin.
Ditambah jalanan macet orang-orang lalu lalang memilih santapan buka puasa tanpa penjagaan, semua berjalan begitu hiruk pikuk. Tidak berpikir lagi korban covid-19 terus berjatuhan dan bertambah https://www.google.com/search?q=karikatur%20pusing. Bagi Perguruan Tinggi swasta apalagi yang masih kecil sudah terengah-engah rasanya untuk menghadapi permasalahan Covid-19.
Semua group wa isinya teriak menyatakan betapa kesulitan dalam pembayaran dosen, pembayaran pajak, pembayaran service sarana dan prasara dan sebagainya ditambah lagi peraturan-peraturan yang belum berubah yang masih melilit dan menjadikan sulit lembaga pendidikan.
Mahasiswa yang sudah terlanjur pulang kampung ke wilayah masing-masing yang sangat kesulitan dalam mengikuti perkulihan daring, tidak mampu mengirim tugas dan sebagainya apalagi ujian UTS daring.
Banyak yang mengalami keterlambatan atau tidak mampu sama sekali karena tidak ada jaringan dan harus naik ke bukit-bukit demi ngumpulin tugas kuliah dan UTS. https://www.google.com/yogyes.com.
Dosen-dosen swasta yang memiliki honor kecil kehabisan kuota karena pembelajaran tanpa mendapatkan bantuan dana pulsa dari lembaga kampusnya masing-masing. Ibarat kata baiaya beli pulsa ngorek-ngorek kantong sendiri.
Bayangkan saja harga kuota beli paket kecil langsung bablas. Beli paket besar harganya Rp 199.000 bablas juga. Padahal honor ngajar tidak sampai segitu nilainya.
Masih agak bagus bagi dosen yang sudah sertifikasi sayang dan ironisnya gak cair-cair dengan berbagai alasan dan berbagai syarat karena kenyataannya masih banyak yang terkena masalah dan belum terselesaikan.
Belum lagi menghadapi mahasiswa yang sedang bimbingan skripsi, jangankan yang tinggal di wilayah terpencil Indonesia. Posisi yang di Jakarta dan sekitarnya saja ribet tidak karuan, jaringanlah, keunganlah, atau belum bayaran, belum dapat SK Bimbingan. Semua mahasiswa curhat ke dosennya. https://www.google.com/search?q=karikatur%20pusing.
Alasan mengapa juga Lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi swasta belum siap dengan implementasi penggunaan sistem daring ini khususnya lembaga yang masih kecil ? Salah satunya karena memang selama ini belum pernah menerapkan sistem daring.
Jadi pada saat ini yang mau tidak mau menggunakan sistem daring rasanya seperti berjalan menendang gunung hingga akhirnya tersungkal dan tersungkur.
Bagaimana tidak Lembaga yang belum pernah menerapkan karena peraturan saat itu sistem daring hanya bagi perguruan tinggi dengan akreditasi “A” kemudian saat ini tiba-tiba harus menggunakannya…tentunya pontang-panting…disamping lembaga belum siap dengan sistemnya, ketidaksiapan kemampuan dosen dan tenaga kependidikannya apalagi mahasisnya.
Ditambah dengan pelaporan-pelaporan sistem perkulihan daring yang bikin mumet karena si pembuat juga masih belajar. Bagaimana tidak, pembuatan laporan yang berulang kali dengan mengisi sistem tidak efektif, dikirim, diupload bolak-balik hilang terhapus.
Mahasiswa bolak-balik telepon, WA, melaporkan ini itu tidak ada dalam sistem..ditambah laporan yang harus dikirimkan ke pihak yang berwenang seperti LLDIKTI dengan sistem yang berubah-ubah terkadang overlapping dan sebagainya https://www.google.com/search?q=karikatur%20pusing.
Adanya seminar-seminar melalui sistem online yang menawarkan berbagai tema yang memiliki tujuan baik sebenarnya untuk menawarkan berbagai solusi namun apakah yakin sudah efektif.
Karena sama permasalahannya sistem sarana yang tidak memadahi, koneksi tidak lancar ditambah lagi dibilang grats. Kenyataannya kuotanya bablas dalam waktu sekejab. Pasti masih berpikir keculai para dosen atau pendidik atau guru yang selama ini sangat mapan keadaan keuangan dan posisinya.
Bagi yang keadaannya tidak seperti itu kecenderungan malas mengikuti, cuek dan diem. Jangankan merespon poster atau brosur yang dikirim melalui group WhattsAp yang selama ini aktif melihatpun tidak dan justru langsung didelete begitu saja.
Jangankan yang harus berbayar ratusan ribu saat ini dibilang gratis saja banyak yang tidak melirik apalagi merespon karena menghabiskan kuota. Mana ada gratis. http://www.google.com/search?safe=strict&rlz (chaerul: makasar).
Lain lagi dengan cerita mahasiswa perguruan tinggi negeri. Beberapa mahasiswanya mendapatkan bantuan kuota untuk proses pembelajaran daring. Ini tentu bikin iri dengan mahasiswa swasta yang akhirnya ikut-ikutan meminta dan memohon pihak kampus untuk bantuan dana perkulihan dikurangi dan dibantu untuk pulsa.
Ada PTS pilihan juga mendapatkan bantuan kuota bagi mahasisnya tetapi yang akreditanya bagus juga dan biasanya kampus yang mapan dengan mahasiswa yang pilihan juga.
Sedih juga kasian mahasiswa swasta yang semuanya pas-pasan dari segi kemampuan apapun tetapi masih semangat belajar, hidupnya berat sekali saat ini untuk mendapatkan pendidikan. Mahasiswa PTN juga aslinya teriak dan terkadang diikuti mahasiswa swasta juga.
Kita lihat banyak video buatan yang bermunculan dari ide-ide gila kreatif mahasiswa yang menyatakan kekesalannya karena banyaknya tugas dari para dosennya yang setiap ketemu harus dikumpulkan dan mahasiswa menyatakan setres dan keberatan.
Beberapa mahasiswa PTN bilang…kalau kayak gini mendingan gue kuliah face to face…capek beneran deh…dosen gue ngoreksi enggak ya…gak tau ya semua dosen ngasih tugas banyak-banyak…itu hasil dari pengamatan video-video yang beredar berseliweran di wa-wa group. https://www.google.com/search?q=karikatur%20pusing
Kabar adanya bantuan dari pemerintah memperoleh bebas akses kuota bagi mahasiswa dari 130 Perguruan Tinggi dengan biaya Rp 0 hingga 30 GB. Coba bayangkan jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia ada kurang lebih 4500 san baik negeri maupun swasta, tetapi yang jelas lebih banyak PTS daripada PTN.
Kembali ke angka 300 Perguruan Tinggi yang mendapatkan bantuan akses kuota hanyalah 150. Bisa dipridiksi pasti yang mendapatkan adalah kampus PTN. Hal ini menunjukkan betapa masih sangat sulitnya implementasi dari sistem daring ini karena masih banyak kendala yang dijumpai.
Bagi dosen-dosen yang terbiasa melakukan penelitian untuk menjalankan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi seakan berkompetisi bagaimana mendapatkan dana untuk melakukan baik penelitian, pengabdian kepada masyarakat maupun publikasi dengan tema terkait Pademi Covid-19.
Sebenarnya gak masalah juga semoga saja semua berjalan untuk mendapatkan makna bagi penyelesaian masalah pademi Covid-19 ini. Namun terkadang terdengar miris dan ironis peluang untuk publikasi tetap saja mahal selangit apalagi kalau sudah menyangkut scopus. Kenyataan yang ada mau bilang sudah dihapus tetap saja menjadi doktrin bahwa scopus itu harus tetap berjalan.
Banyak yang mengirimkan email dari publisher yang menawarkan untuk publikasi dengan dimudahkan asal temanya adalah terkait dengan Pademi Covid-19. Benarkan dimudahkan? Tetap saja harus membayar paling tidak 9-10 juta untuk publikasi scopus ini. Susah juga sayangnya bagi dosen yang baru melangkah masih banyak harus berpikir berkali-kali untuk bisa publish dnegan biaya selangit.
Untuk itulah maka apa yang hendak dilakukan saat ini ? Semua harus memiliki tepo seliro (tenggang rasa)/welas asih/ pengertian dengan semuanya yang ada di lingkungan sekitar kita. Sama-sama kita semua harus memulai memahami keadaan. Semua tindakan perlu dikaji ulang agar mendapatkan makna terbaik dari apa yang akan kita lakukan.
Keadaan wilayah Indonesia sepertinya masih belum siap dengan sistem daringnya. Jaringan atau koneksitas di wilayah-wilayah juga belum memadai. Di tambah kesiapan tenaga dosen, guru maupun tenaga kependidikannya juga masih banyak harus belajar. Para siswa dan mahasiswa juga sedang mulai belajar membiasakan diri belajar menggunakan jaringan.
Harapannya semoga ada solusi terbaik setelah Covid-19 ini selesai. Harus diantisipasi jangan sampai ada mahasiswa yang drop-out atau di DO, jangan sampai ditemukan banyak yang setres akibat terkaget-kaget dengan banyaknya tugas yang harus dilaporkan.
Saat ini banyak para orang tua yang terkena PHK sehingga banyak yang tidak siap dan tidak dapat lagi membiayayai uang kuliah dan sebagainya. Semoga apapun yang terjadi dengan kejadian Pademi Covid-19 ini semua tetap semangat namun bisa lebih bijaksana semuanya. Amiin.
*Penulis adalah Ketua Forum Dosen Guru dan Masyarakat (Fordorum).
sumber: WA Group Forum Dosen Indonesia New