Oleh Noerjoso *
semarak.co-Setiap manusia secara alamiah akan merespon segala situasi sosial di sekitarnya ddengan membuat berbagai simbol atau pesan. Dan selanjutnya pesan tersebut akan dikomunikasikannya kepada orang lain baik secara lugas ataupun dalam bentuk metafor. Demikian juga yang dilakukan oleh seorang penyanyi atau pencipta lagu.
Mereka merespon situasi sosial yang dialaminya dengan menendangkan atau menciptakan lagu. Sebagai sebuah respon situasi sosial, lirik lagu dengan sendirinya sarat dengan makna baik berupa kesenjangan ekonomi, ketimpangan relasi sosial, eksploitasi politik, harapan sekaligus juga tentang kekhawatiran-kekhawatiran yang tengah dipikirkan oleh masyarakat itu sendiri.
Bahkan dalam kadar tertentu lirik sebuah lagu dikenal sebagai ajakan atau agitasi untuk melakukan sesuatu. Di sisi yang lain lirik sebuah lagu oleh sebagian orang justru dipercaya sebagai sebuah tanda jaman, terutama oleh masyarakat Jawa yang tak dapat dipisahkan dari dunia simbolik.
Sebagaimana yang telah diungkapkan bahwa manusia adalah makhluk historis (termasuk di dalamnya adalah pencipta lagu)maka setiap tanda atau pesan yang diekspresikan melalui lirik sebuah lagu tentu saja tak dapat dilepaskan dari kontek jamannya. Itu artinya adalah bahwa lirik sebuah lagu adalah cerminan dunia nyata versi para pencipta lagu.
Dan itu berarti bahwa lirik sebuah lagu tidaklah jatuh dari langit begitu saja. Ia adalah produk dari konflik kehidupan manusia itu sendiri. Lirik sebuah lagu dipercaya oleh banyak orang sebagai data-data yang sengaja dimetaforkan agar mudah untuk disuarakan dan diinternalisasikan kepada pendengarnya.
Lirik sebuah lagu sangat kaya karena menggunakan bahasa sebagai sistem simbol. Kekayaan itu disebabkan karena sebagai sistem simbol bahasa selalu menunjuk sesuatu yang lain yang ada di luar dirinya.
Lirik Lagu dan tanda Jaman
Di akhir rezim orde lama masyarakat sangat lekat dengan sebuah lagu berjudul “Mari Bersuka Ria.” Lagu ini berirama lenso dan bercorak balada. Lagu tersebut meminjam pantun untuk mendeferensiasi diri dengan lagu rock n Roll yang diimaginasikan sebagai kapitalisme. Yaitu musuh ideologis dari para penganut anti nekolim.
Lirik Lagu berjudul mari bersuka ria tersebut secara lugas memuat kecemasan tentang kerawanan pangan yang kala itu dikabarkan sedang merebak di penjuru tanah air. Kecemasan itu disuarakan dalam salah satu bait lirik yang berbunyi demikian: Siapa bilang bapak dari Blitar, Bapak kita dari Prambanan. Siapa bilang rakyat kita lapar, Indonesia banyak makanan.
Bait lagu tersebut di atas seperti menyuguhkan antara yang seharusnya dan yang senyatanya, dimana terjadi jurang yang sedemikian dalam. Entah bagaimana pula lagu berjudul Mari Bersuka ria tersebut oleh sebagian orang justru dianggap menjadi semacam pertanda runtuhnya Rezim orde Lama.
Mungkin karena lagu ini seperti dibuat hendak untuk menghipnotis atau menghibur hatti rakyat agar tidak cemas atas fakta sosial yang kala itu tengah terjadi. Mari Bersuka Ria oleh sebagian orang terutama para penganut simbolik, diibaratkan sebagai sebuah pesta.
Dan sudah mejadi kelazimannya bahwa tidak ada pesta yang tidak usai. Dan benar nyatanya bahwa pada akhirnya Rezim Orde lamapun tumbang. Lain dengan Orde Lama lain pula dengan Orde Baru. Menjelang keruntuhan Orde Baru di tahun 1996 telinga masyarakat Indonesia terutama masyarakat Jawa teramat akrab dengan lagu berjudul anoman Obong.
Lagu tersebut sebagian besar berbahasa Jawa. Dimana lagu tersebut berisi tingkah polah anoman yang hendak menyelamatkan Dewi Shinta dari cengkeraman Rahwana. Di dalam lagu Anoman Obong tersebut dinyatakan secara lugas terjadinya kebakaran akibat dibakarnya ekor anoman.
Karena ekornya terbakar akhirnya anoman meloncat dari satu gedung ke gedung yang lain sehingga menyebabkan kebakaran hebat di seluruh negeri alengka. Lagi-lagi entah bagaimana hubungan antara lagu Anoman Obong itu dengan tragedi kerusuhan massa yang menimbulkan kebakaran di berbagai kota besar di Indonesia.
Tentu kita tidak dapat mengatakan bahwa lagu anoman Obong itu oleh pengarangnya sengaja didedikasikan untuk memprovokasi atau pra kondisi bagi terjadinya kerusuhan di seantero Indonesia. Dan lagi-lagi entah bagaimana ternyata lagu itu menjadi pertanda runtuhnya Rezim Orde Baru yang diimaginasikan sebagai Rahwana, yaitu Raja yang sewenang-wenang.
Selain lagu berjudul anoman Obong pada akhir keruntuhan Orde Baru juga terdapat lagu berjudul Darah Juang. Lagu dengan lirik berbunyi:
“Di sini negeri kami Tempat padi terhampar”
“Samuderanya kaya raya”
“Tanah kami subur jua”
“Tuan, Di negeri permai ini Berjuta rakyat bersimbah luka”
“Anak buruh tak sekolah Pemuda desa tak kerja”
“Mereka dirampas haknya Tergusur dan lapar”
“Bunda relakan darah juang kami untuk membebaskan rakyat”
“Mereka dirampas haknya Tergusur dan lapar”
“Bunda relakan darah juang kami Padamu kami mengabdi Padamu kami berjanji”
Berbeda dengan lirik lagu Anoman Obong, lagu berjudul darah juang tersebut terdengar lebih lugas dalam menyuarakan situasi sosial kala itu. Lagu Darah Juang tersebut bahkan masih terdengar nyaring ketika Rezim Orde Baru telah berganti menjadi Rezim Orde Reformasi.
Namun demikian lagu Darah Juang tersebut pada masa reformasi tak menjadi pertanda akan runtuhnya sebuah Rezim. Sangat berbeda ketika lagu itu dinyanyikan di akhir kejayaan Rezim Orde Baru. Lalu apakah lagu berjudul Rungkat juga dapat dinyatakan menjadi pertanda bagi sebuah Rezim? Tentu saja tidak ada yang berani menjamin demikian.
Karena lagu berjudul Rungkat tak lebih hanyalah sebuah lagu yang fokus menceritakan cinta emotik antara lelaki dan perempuan. Tidak seperti kedua lagu pada rezim sebelumnya yang secara gamblang memuat tingkah polah kepemimpinan atau situasi politik kala itu, baik yang dinyatakan secara terang benderang semacam lagu Mari Bersuka Ria ataupun lagu berjudul Darah Juang.
Sementara pada lagu Anoman Obong situasi politik digambarkan dengan meminjam lakon pewayangan dimana Rahwana dengan segala kekuatannya melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hak azasi yaitu mengambil atau menculik Shinta sebagai istri Rama.
Pada lagu Rungkat tidak sepatahkatapun bercerita tentang politik. Jadi sulit untuk mengaitkan Rungkat dengan perpolitikan atau akhir dari Rezim saat ini. Namun begitu bagi masyarakat yang berada dalam alam pikir simbolik, lagu berjudul Rungkat justru menjadi tanda jaman yang sangat terang benderang.
Rungkat dalam bahasa Jawaadalah kata yang dipinjam untuk menggambarkan tumbangnya sebuah pohon besar. Dan tumbangnya tersebut juga menyebabkan tercerabutnya seluruh akar-akarnya sekaligus. Sehingga tak sedikitpun menyisakan harapan untuk hidup kembali dari pohon tersebut karena seluruh jaringan akarnyapun telah tercerabut.
Lalu apakah itu juga akan menjadi pertanda bahwa rezim saat inipun akan mengalami tragedi rungkat? Yaitu tercerabutnya seluruh sendi-sendi kekuasaan yang telah ditanam selama dua periode ini. Sekali lagi tak ada yang dapat menjamin keterkaitan lagu berjudul Rungkat tersebut dengan kerungkatan Rezim. Hanya waktu yang dapat membuktikannya nanti.
Namun secara nyata memang rezim ini harus berakhir karena konstitusi membatasi periode kepemimpinan hanya 2 periode saja. Ada atau tidak ada lagu Rungkat Rezim ini memang mesti harus rungkat demi konstitusi.
Kedua boleh jadi tragedi rungkat akan dialami juga oleh rezim ini karena tak kunjung selesainya berbagai kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Perampokan demi perampokan uangrakyat dipertontonkan tanpa malu-malu setiap harinya.
Di sisi yang lain pejabat tanpa malu-malu pula mempertontonkan gaya hidup mewah sementara rakyat mengalami kesulitan hidup. Syair lagu Rungkat yang menyiratkan perilaku suka berbohong sepertinya merupakan sindiran atas perilaku pejabat yang suka membohongi rakyatnya sendiri.
Saking percayanya rakyat kepada pemimpin sehingga tidak sadar kalau tengah dikhianati. Boleh jadi juga lirik lagu Rungkat itu juga menyindir perilaku pengkultusan rakyat kepada pemimpin sehingga pemimpin menjadi kehilangan akal warasnya. Ketiga tragedi kerungkatan itu boleh jadi menjadi masa depan rezim karena 10 tahun berkuasa tidak mampu menuntaskan tragedi kemanusiaan 1998.
Padahal rezim tersebut didukung oleh sebagian besar para korban tragedi 1998. Ini artinya tragedi kerungkatan itu boleh jadi karena penghkhianatan kepada teman sejawat. Sekali lagi itu semua hanya cocoklogi belaka jadi boleh dipercaya ataupun tidak sama sekali.
sumber: WAGroup Komunitas ALIPh (postMinggu27/8/2023/caknoerjoso)