Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran perlu mengatur penyiaran secara komprehensif, termasuk penyiaran digital. Pengaturan penyiaran digital tidak bisa dilakukan secara parsial hanya dengan mengubah satu atau beberapa pasal melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
semarak.co– Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengaku khawatir siaran melalui internet akan semakin menjamur tanpa dijamah aturan penyiaran. Ini bahaya untuk masa depan dunia penyiaran, lanjut Sukamta, UU Penyiaran yang ada belum mencakup hal ini.
“Solusinya ya percepat Revisi UU Penyiaran, bukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Sukamta terkait gugatan RCTI dan INewsTV terhadap UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi melalui keterangan tertulis di terima di Jakarta, Sabtu (30/5/2020).
Anggota Panja RUU Penyiaran itu berpendapat, Komisi I periode 2014-2019 lalu sudah mempercepat dan menyelesaikan pembahasan rancangan revisi UU Penyiaran selama dua tahun dengan mengutamakan pengaturan penyiaran digital melalui internet.
Namun, revisi UU Penyiaran waktu itu macet saat pembahasan di Baleg, kata Sukamta, karena stasiun televisi swasta ingin mempertahankan model penyiaran menggunakan multimux, sementara Komisi I sudah bulat untuk memilih singlemux.
“Apa pun hasil putusan Mahkamah Konstitusi nanti, yang penting saya berharap dunia penyiaran ini betul-betul dapat mewujudkan tujuan penyiaran membangun bangsa Indonesia yang beradab,” ujar Wakil Ketua Fraksi PKS itu.
Ada pun UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran diminta INews TV dan RCTI untuk diuji di Mahkamah Konstitusi lantaran tidak mengatur penyedia layanan siaran melalui internet seperti, Youtube dan Netflix.
Menurut INews TV dan RCTI, Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran memberi perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan over the top (OTT).
Sebelumnya UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran diminta INews TV dan RCTI untuk diuji di Mahkamah Konstitusi lantaran tidak mengatur penyedia layanan siaran melalui internet seperti, Youtube dan Netflix.
Dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Sabtu (30/5/2020), pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran memberi perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan over the top (OTT).
Menurut INews dan RCTI, perlakuan berbeda itu lantaran tidak terdapat kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet masuk ke dalam definisi penyiaran seperti diatur Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak.
Sementara sampai saat ini OTT tidak terikat dalam UU Penyiaran sehingga tidak harus memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia serta memperoleh izin siaran seperti penyelenggara siaran konvensional.
Selain itu juga tidak wajib tunduk pedoman perilaku penyiaran dan standar program penyiaran dalam membuat konten siaran agar tidak dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Sebelumnya terdapat polemik Ketua KPI Agung Suprio yang akan turut mengawasi Youtube dan Netflix pun disebut membuktikan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran multitafsir.
Layanan OTT yang menyediakan, gambar, audio, video dan/atau gabungannya disebut pemohon masuk dalam kategori siaran apabila merujuk pada definisi siaran yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran.
Untuk itu, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyertakan penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran. “Perkembangan internet yang begitu pesat telah melahirkan berbagai macam platform digital,” ujar pemohon. (net/lin)