Radikalisme dan Deislamisasi

Politisi, Advokat Ahmad Yani. foto: internet

Opini: Ahmad Yani, penulis adalah dosen Fakultas Hukum dan Fisip UMJ dan Advokat

Telusur.co.id – Negara ini sudah terjebak pada lubang yang dangkal sekali, tetapi tidak mau mengevakuasi dirinya dari dari lubang dangkal itu. Sebenarnya mudah, tetapi dipersulit. Seisi repubik dipaksa untuk ikut mengevakuasi hal sepele itu, sambil berharap semua urusan selesai setelah keluar dari lubang itu.

Lubang dangkal itu radikalisme, dan radikalisme itu adalah masjid, mushollah dan penceramah agama. Mereka dianggap menjadi biang keladi dari masalah bangsa, untuk menutupi kedangkalan Negara dalam memahami visi pembangunan. Proyek deradikalisasi dijalankan, dari BNPT hingga pengawasan BIN. Mulai dari Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM hingga menteri Agama urusannya radikalisme.

Apakah kita sudah tidak memiliki lagi masalah lain selain radikalisme? Dimanakah pusat industry radikalisme itu dilakukan? Kenapa Negara tidak membungi hanguskannya? Apakah masjid dan penceramah adalah produsen radikalisme? Kenapa mereka tidak ditembak mati saja?

Kita sudah melewati isu terorisme, dan isu basi itu telah dilepaskan dari topengnya, sekanario global melalui operasi intelijen yang berhasil memproduksi jaringan teroris dunia dengan mengdiskriditkan agama Islam. Pengakuan datang dari seorang pesohor negeri Paman Sam Hillary Clinton, bahwa ISIS dan Al-Qaedah diciptakan untuk proyek Amerika melawan Uni Soviet di Asia Tengah. Siapa yang membantah.

Belakangan Seorang asisten profesor di Oberlin College, salah satu universitas tertua di Amerika Dr. Joy Karega mengungkap bahwa kelompok ISIS diciptakan Israel dan merupakan operasi CIA dan Mossad.Serta pernyataan Marinir AS yang berada di Libya, saat kejadian di Benghazi yang mendanai dan melatih ISIS dan Al-Qaidah adalah Strategi Global Pemerintah Amerika Serikat.

Sejauh ini pernyataan Hillary dan Karega serta Marinir USA belum dibantah sedikitpun. Karena itu kita memahami bahwa proyek terorisme itu adalah agenda besar Negara-negara adidaya untuk melucuti dunia Islam dan umat Islam.

Di Indonesia sendiri, Pasca Bom Bali, isu terorisme menjadi semakin mengkhawatirkan, namun karena tingkat investigasi masyarakat semakin cerdas isu itu mulai menurun. Bahkan bom-bom rutinasi yang dilakukan oleh manusia paling biadab—yang kita tidak tahu bergerak dan digerakkan oleh motif apa dan siapa—kini sudah mulai berkurang.

Namun pasca pelantikan kabinet Indonesia Maju Jilid II pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, kita dikagetkan oleh pernyataan-pernyataan yang menegangkan yang datang dari pos-pos kementrian. Menteri Agama Misalnya, menyebut bahwa ia ditugaskan untuk memberantas radikalisme.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD menyebut tidak mau kalah. Dia juga mengeluarkan pernyataan mulai masjid hingga rumah ibadah dan ceramah.

Pasca Mahfud MD dilantik jadi Menko Polhukam, kejadian tragis kembali terjadi di Jayawijaya  Papua. Tiga orang dibunuh tanpa alasan. Gerakan separatisme yang belum dituntaskan di Papua menewaskan 32 pendatang dan kerusakan meliputi seluruh wilayah Wamena masih menyisahkan masalah-masalah serius. Perpecahan nyata dan gerakan separatis yang brutal itu tenyata bagi menteri Jokowi tidak terlalu “seksi” untuk dibicarakan.

Tetapi mengusik Masjid dan radikalisme bisa dibilang sukses dianggap bekerja. Karena itu dalam krisis program, yang dimunculkan adalah “tuduhan radikal” termasuk mengawasi mimbar masjid dan ceramah para ustadz. Menteri kehilangan inovasi dan kembali menjadi sebuah paduan suara orang-orang yang tidak memiliki prestasi.

Negara ini “Miskin Keadilan Sosial”

Radikalisme Agama memang ada, tetapi membuktikan itu belum sepenuhnya memberikan kepastian ada atau tidaknya radikalisme. Orang-orang ribut tentang radikalisme, tetapi lupa bahwa ancaman serius Negara adalah disparitas ekonomi dan pemerataan kue pembangunan. Kita selalu terjebak pada persoalan radikalisme, sedangkan cita-cita besar kita untuk mensejahterakan, mencerdaskan, mewujudkan perdamaian dan keadilan tak kunjung dilakukan.

Para menteri harusnya mengerti, dunia sedang berubah, dan Indonesia harus mampu menyesuaikan diri dalam mengikuti arah perubahan dunia secara global. tentu akan tertinggal kalau bangsa ini terus menerus berpolemik secara internal, sementara Indonesia dituntut untuk matang dan kokoh. Dalam tuntutan itu, justru sentiment keagamaan harus dihilangkan, sentiment kedaerahan harus dihilangkan. Kecemburuan dan rasisme menjadi beban yang perlu diatasi dengan segera.

Pemerintah jangan lagi memperhebat kecemburuan, apalagi mengusik kehidupan umat Islam. Maka kalau ingin membangun Indonesia hilangkan semua itu dengan cara membangun program yang menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada keamanan tanpa keadilan, tidak ada ketentraman tanpa keadilan, tidak ada ke harmonisan tanpa keadilan maka yang harus ditingkatkan adalah keadilan bukan kata-kata radikalisme.

Kalau ingin mencapai tujuan Negara, bukan mengawasi mimbar masjid dan ceramah Ustadz, tetapi tingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang mumpuni, sesuai dengan perkembangan tekhnologi dan informasi.

Tingkat pertumbuhan masyarakat yang cukup besar, sekarang mencapai 267 Juta jiwa. Usia produktif lebih dari 68% dari total populasi. Rasio ketergantungan (dependency ratio) penduduk Indonesia pada tahun ini mencapai 42 %. Artinya setiap 100 orang yang berusia produktif (angkatan kerja) mempunyai tanggungan 42 penduduk tidak produktif.

Artinya masih banyak penduduk yang perlu untuk dibiayai. Kalau usia produktif, banyak menjadi pengangguran, tidak terakses lapangan pekerjaan, lulusan-ulusan sarjana yang semakin meningkap, tapi daya serap lapangan kerja tidak memadai, ini bisa menjadi malapetaka yang tak kunjung usai.  Apabila lapangan pekerjaan menyempit, maka akan menghasilkan frustasi dan kecemburuan.

Tugas penting yang menjadi agenda pemerintah kedepan adalah dengan meningkatkan kualitas usia produktif, Sebab, jika berbagai hal seperti kualitas sumber daya manusia belum mampu ditingkatkan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih terbatas, justru akan menjadi ancaman bagi solidaritas sosial antar anggota warga bangsa yang dapat melahirkan benih-benih konflik, dan tentu kesempatan yang langka untuk mencapai Negara maju itu akan menjadi sia-sia.

Ketimpangan di Negara ini masih sangat besar. Laporan Oxfarm dan INFID (2017) sangat mengerikan, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar jika dibandingkan dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin di Indonesia. Ini akan menjadi jebakan bagi Indonesia, tentu akan memperbesar sentiment kelas yang belum bisa di atasi sepenuhnya.

Angka di atas memberikan gambaran bahwa kue ekonomi terkonsentasi di kelompok masyarakat kelas atas. Manfaat pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun terakhir lebih banyak dinikmati 10% kelompok terkaya jika dibandingkan dengan oleh kelompok masyarakat lainnya, atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak inklusif. Ketimpangan layaknya api dalam sekam, tidak terlihat secara kasat mata, tetapi tanpa solusi nyata, api ini akan dapat meluluhlantahkan bangunan Indonesia.

Agenda Deislamisasi

Saya menduga, ada sebuah agenda besar di balik wacana radikalisme yang sebenarnya sudah menjadi wacana lama ini. Sebab, kalau benar semua orang Islam sudah terpapar radikalisme, mengutip Ustadz Tengku Zulkarnain, maka tidak ada keamanan dan kenyamanan di negeri ini.

Karena dari segi populasi umat Islam yang begitu banyak ini, kalau sebagian saja yang sudah terpapar radikalisme, maka Negara keadaan chaos tak dapat dihindari meskipun dengan jutaan agenda deradikalisasi.

Jadi, kekhawatiran Prof. Din Syamsudin atas masalah ini begitu sangat luar biasa. Ia melihat bahwa pemerintah keliru memahami radikalisme dan kemudian menjustifikasinya dengan agama tertentu.

Pemerintah tidak pernah mau memeriksa diri bagaimana dengan radikalisme libral dan sekulerisme, radikalisme ekonomi. Ketimpangan sosial, eksploitasi SDA dan Lahan serta berbagai macam masalah lainnya yang menciptakan kecemburuan sosial yang berdampak lebih besar.

Maka, kembali pada awal tadi, radikalisme agama dan tuduhan terhadap Islam itu merupakan agenda deislamisasi yang sedang di-operasi-kan untuk merusak citra Islam. “Isu murahan” itu sebenarnya sudah mulai usang, namun diusahakan untuk dilempar kembali ke publik supaya pemerintah dianggap bekerja. Ya, memang bekerja, tetapi sukses membuat keributan di tengah masyarakat.

Karena itu saya masih percaya, bahwa islam teroris, Islam radikal yang dahulu lahir dari Amerika, kini sedang dioperasikan dalam tahap akhir di Indonesia. Karena itu, maka tugas kaum cendekiawan Islam untuk membuktikan bahwa tuduhan itu adalah tuduhan murahan yang ingin menghancurkan Islam dan ingin menyingkirkan Islam dalam panggung politik nasional.

Tetapi Ingat, bahwa sekuat apapun makar yang dibuat oleh para musuh dan pembenci Islam, dengan menggunakan tangan kaum munafik, tetapi Allah Swt lebih dahsyat makarnya. Yakinlah bahwa kalau semua tokoh Islam hadir dalam membela agama dari tuduhan-tuduhan ini, pasti Allah akan memberikan kemenangan yang nyata.

Wallahualam bis shawab.

 

sumber: WA Group Keluarga Alumni HMIMPO

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *