Putusan MK Melarang Leasing Ambil Paksa Kendaraan, Sekarang Harus Melalui Pengadilan

Ilustrasi debt collector di lapangan. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, perusahaan leasing harus meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri. Tetap boleh mengeksekusi tanpa melalui pengadilan dengan syarat debitur mengakui adanya wanprestasi. Foto: internet

Belakangan beredar pesan berantai di media sosial (medsos), terutama grup whatsapp (WA) tentang hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bunyinya melarang leasing mengambil paksa kendaraan, tapi sekarang harus melalui pengadilan. Ini merujuk UU Jaminan Fidusia.

semarak.co -Salah satunya pesan berantai diteruskan yang diterima anggota grup WA Keluarga Alumni HMI MPO, kemudian diposting atas nama @andisyah, Sabtu (11/1/2020). Putusan itu berbunyi,

Pada tanggal 06 Januari 2020 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terkait leasing tidak diperbolehkan mengambil paksa kendaraan debitur tanpa melalui Pengadilan.

Putusan MK muncul terkait mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Sepasang Suami Istri mengenai Pasal 15 ayat (2) dan dan (3) undang – undang jaminan fidusia.

Berikut bunyi pasal 15 ayat (2), dan (3) UU Jaminan Fidusia :

(2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

(3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019, MK menyatakan bahwa pemberi kredit tidak bisa lagi bertindak sewenang – wenang mengambil barang yang dikreditkan kepada debitur dengan alasan menunggak.

Berdasar putusan MK mengenai UU Jaminan Fidusia, pasal (2) hanya bisa berlaku bila dimaknai sesuai amar putusan. Jika tidak ada kesepakatan cedera janji atau Wanprestasi sejak awal dan debitur keberatan menyerahkan barangnya, prosedur pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia harus sama dengan eksekusi putusan pengadilan yang inkracht.

Kemudian, pasal (3) hanya bisa berlaku bila frasa ”cedera janji” dimaknai sesuai amar putusan. “Adanya cedera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur,” ucap Ketua MK Anwar Usman.

Melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cedera janji.

Secara sederhananya, penerapan putusan tersebut bisa dilakukan salah satunya pada akad kredit kendaraan bermotor. Dengan putusan itu, pihak leasing dan debitur harus sepakat dari awal soal ketentuan cedera janji.

Misalnya, debitur akan dianggap cedera janji bila selama tiga bulan berturut-turut menunggak cicilan kendaraan sehingga akan dilakukan eksekusi.

Perjanjian itu akan menjadi dasar hukum untuk mengeksekusi kendaraan yang cicilannya menunggak. Bila tidak ada perjanjian wanprestasi di awal, leasing harus menempuh prosedur yang sama seperti eksekusi putusan pengadilan yang inkracht.

Tidak bisa secara tiba-tiba mengutus debt collector untuk menyita kendaraan milik debitur. Jadi kesimpulannya dalam Putusan MK terkait Undang – undang Fidusia ingin membuat keseimbangan antara Kreditur dan Debitur. Karena MK menilai Undang – undang Fidusia khususnya Pasal 15  membuat Debitur berada diposisi yang lemah.

Sebab, Kreditur dapat dengan mudah mengeksekusi tanpa adanya bantuan dari Pengadilan. MK juga berharap dengan dikeluarkan putusan ini, bisa mengurangi adanya tindakan sewenang – wenang dari Kreditur ataupun sebaliknya.

Ok, sampai disini ada comentar atau yang ditanyakan???

 

sumber: WA Group Keluarga Alumni HMI MPO

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *