PT Pupuk Indonesia Catatkan Pendapatan Rp71,25 Triliun, Sepanjang 2019

PT Pupuk Indonesia berkomitmen tetap menjaga performa kinerja para produsen pupuk meliputi produksi, ketersediaan stok hingga kelancaran distribusi pupuk bersubsidi di tengah isu pandemi vrus Corona atau COVID-19. Foto: internet

PT Pupuk Indonesia sebagai Holding BUMN Pupuk mencatatkan penjualan produk mencapai 61,7 juta ton dalam kurun waktu lima tahun terakhir atau periode 2015-2019. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 2014 produksi padi berada pada angka 70 juta ton per tahun, kemudian tumbuh hingga menyentuh 82 juta ton di 2018.

semarak.co -Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Aas Asikin Idat merinci penjualan tersebut terdiri dari penjualan pupuk subsidi sebesar 45,4 juta ton dan penjualan pupuk non subsidi sebesar 16,3 juta ton.

Bacaan Lainnya

“Besaran penjualan pupuk bersubsidi sendiri selalu menyesuaikan dengan alokasi subsidi yang dimandatkan oleh Pemerintah,” kata Aas di Jakarta seperti dipantau lama media online ibu kota, Jumat (3/4/2020).

Aas mengaku optimistis mengingat Pupuk Indonesia sebagai Holding BUMN Pupuk mampu menjaga pertumbuhan kinerja perusahaan dan kontribusinya terhadap ketahanan pangan nasional, terutama melalui penjualan pupuk bersubsidi, dalam lima tahun terakhir.

Penggunaan pupuk menjadi salah satu faktor pendorong peningkatan produksi pertanian padi di setiap tahunnya. Dalam lima tahun terakhir, Pupuk Indonesia Grup mencatatkan pertumbuhan produksi produk pupuk mencapai 1 juta ton.

Produksi pupuk pada 2015 dan 2016 berada di level 10 juta ton, kemudian meningkat sejak 2017 menjadi 11,4 juta ton; 11,6 juta ton pada 2018 dan 11,8 juta ton pada 2019.

Tren produksi yang meningkat juga terjadi pada produksi produk non pupuk yakni amoniak. Pada 2015, produksi amoniak perseroan mencapai 5,5 juta ton, kemudian meningkat hingga 5,9 juta ton pada 2019. Kinerja keuangan konsolidasi pun terjaga dalam pertumbuhan yang baik.

Pendapatan usaha bergerak fluktuatif namun tetap dalam tren yang bagus, di mana pada 2015 pendapatan perusahaan mencapai Rp66,2 triliun, pada 2016 sebesar Rp64,1 triliun, pada 2017 sebesar Rp58,9 triliun, pada 2018 sebesar Rp69,4 triliun dan Rp71,2 triliun pada 2019.

Nilai aset perusahaan tercatat terus tumbuh sejak tahun 2015 yang berada pada Rp91,8 triliun; menjadi Rp138 triliun pada 2018 dan pada 2019 menjadi Rp135 triliun. Dalam operasionalnya, Pupuk Indonesia Grup mengedepankan pengelolaan lingkungan dengan baik dan disiplin.

Hal itu ditunjukkan dengan capaian predikat PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setiap tahunnya. “Upaya tersebut merupakan tanggung jawab kami terhadap lingkungan dan masyarakat,” kata Aas.

Secara konsisten, Pupuk Indonesia Grup mengedepankan keberlanjutan melalui tiga pilar yaitu Profit, People, dan Planet yang terwujud dalam aktivitas produksi yang ramah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat untuk mencapai kemandirian, sekaligus sebagai wujud dari slogan BUMN Untuk Indonesia.

Beberapa upaya yang dilakukan perusahaan di antaranya pengelolaan energi yang tersertifikasi ISO 50001, mitigasi emisi gas rumah kaca, pengurangan dan pemanfaatan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), hingga perlindungan keanekaragaman hayati, seperti konservasi ekosistem terumbu karang.

Kemudian, konservasi orangutan, penanaman ratusan ribu bibit mangrove, reintroduksi hasil laboratorium kultur jaringan, taman keanekaragaman hayati, serta pemberdayaan masyarakat melalui berbagai program tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR.

Aas menjelaskan pendapatan perusahaan didukung dengan hasil penjualan produk pupuk dengan total 12.604.778 ton atau 96,65 persen dari rencana perusahaan. Penurunan penjualan lebih dikarenakan penyesuaian alokasi pupuk bersubsidi oleh Kementerian Pertanian menjadi 8,8 juta ton dari rencana semula 9,5 juta ton.

“Sepanjang 2019 kami berupaya maksimal menjaga ketersediaan stok pupuk di seluruh daerah guna menghindari terjadinya kekurangan pupuk bersubsidi,” kata Aas.

Pupuk Indonesia, selalu memprioritaskan pasokan pupuk untuk dalam negeri, khususnya untuk sektor tanaman pangan. Bila kebutuhan untuk subsidi dan sektor pangan dalam negeri sudah terpenuhi dan stoknya dipastikan aman, baru akan dijual ke sektor komersial maupun ekspor.

Sementara itu, penjualan pupuk komersial baik dalam negeri dan luar negeri di tahun 2019 adalah sebesar 3.896.130 ton atau 111,58 persen dari rencana. Aas menjelaskan pencapaian penjualan urea di sektor komersial lebih tinggi dari rencana karena tingginya permintaan di pasar ekspor, sekaligus sebagai strategi perusahaan untuk memanfaatkan momentum harga jual ekspor yang kompetitif.

Sepanjang 2019, Pupuk Indonesia Grup berhasil memproduksi pupuk sebesar 11.838.451 ton, setara 101,84 persen dari rencana sebesar 11.625.000 ton. Hal itu disebabkan pabrik dapat beroperasi secara optimal dengan rate yang cukup tinggi.

Perusahaan juga berhasil memproduksi amoniak sebesar 5.906.382 ton yang mencapai 101,29 persen dari rencana yang sebesar 5.831.000 ton, serta asam sulfat 849.510 ton (99,94 persen) dan asam fosfat sebesar 270.333 ton atau 108,13 persen dari rencana.

Kinerja produksi tahun 2019 relatif lebih baik dari tahun 2018, tercermin dari peningkatan volume produksi sebesar 446.329 ton atau 2,42 persen dari tahun 2018. Menurut Aas, peningkatan volume produksi salah satunya disebabkan pengoperasian pabrik Amurea II di Gresik, yang mulai komersial sejak Agustus 2018.

Dalam hal efisiensi pemakaian bahan baku, perseroan mencatatkan realisasi rasio konsumsi gas untuk urea sebesar 27,56 mmbtu/ton lebih efisien dari rencana 28,28 mmbtu/ton.

Sementara rasio konsumsi gas untuk amoniak sebesar 35,92 mmbtu per ton yang juga lebih efisien dari rencana sebesar 36,05 mmbtu per ton. Pencapaian tersebut disebabkan pabrik-pabrik beroperasi optimal sehingga dapat meningkatkan efisiensi konsumsi pabrik secara konsolidasi.

Selain itu, realisasi rasio konsumsi gas urea dan amoniak 2019 lebih efisien dari tahun 2018, dikarenakan penghentian operasional pabrik Pusri IV yang konsumsi energinya tinggi.

“Efisiensi ini penting dalam mengurangi beban pemerintah atas subsidi, termasuk untuk peningkatan daya saing produk Pupuk Indonesia Grup,” tutup Aas.

PT Pupuk Indonesia sebagai Holding BUMN Pupuk berupaya mewujudkan transformasi bisnis dengan membangun sejumlah pabrik pupuk NPK baru sebagai langkah untuk lebih fokus pada produk non urea.

“Ke depan kami juga semakin fokus kepada bisnis-bisnis anak perusahaan yang bergerak di bidang non pupuk sehingga dapat lebih berkontribusi terhadap kinerja holding,” kata dia.

Aas menjelaskan bahwa sejak 2018, Pupuk Indonesia telah mencanangkan program transformasi bisnis sebagai upaya bersiap diri menghadapi persaingan di masa mendatang dengan operasional yang lebih efisien, diversifikasi produk serta sinergitas Pupuk Indonesia Grup.

Ada pun proyek ini telah ditandai dengan pembangunan pabrik NPK Fusion II di PT Pusri Palembang dan Pabrik NPK Chemical di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM).

Perkembangan terbarunya, PT Pusri Palembang, telah mengoperasikan Pabrik NPK Fusion II dengan kapasitas produksi sebesar 2 x 100.000 Metric Ton Per Year (MTPY). Pabrik tersebut telah selesai pembangunannya dan dilakukan serah terima pabrik pada Februari 2020.

Sementara Pabrik NPK Chemical di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang memiliki kapasitas 500.000 MTPY tersebut ditargetkan dapat rampung pada pertengahan tahun 2021.

Pabrik NPK Fusion II ini dibangun sebagai upaya diversifikasi usaha produk pupuk majemuk yang mengandung unsur Nitrogen, Fosfor, dan Kalium. Beroperasinya pabrik ini diharapkan dapat meningkatkan pangsa pasar (market share), mengingat makin tingginya tren permintaan pasar dalam negeri dan ekspor.

“Kehadiran pabrik NPK Fusion II ini juga sejalan dengan program kerja Pupuk Indonesia untuk lebih fokus pada lini produk pupuk majemuk yang telah terbukti memiliki produktivitas lebih dibanding pupuk tunggal dan juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku gas,” kata Aas.

Kepala Komunikasi Korporat PT Pupuk Indonesia Wijaya Laksana menambahkan bahwa fokus perusahaan pada pengembangan non urea, seperti NPK, adalah untuk melakukan diversifikasi terhadap produk selain urea.

“Urea itu kalau melihatnya dunia, sudah banyak sekali atau ‘over supply’, sehingga pengembangan perusahaan ke depan tidak mungkin ke urea lagi, salah satunya ke NPK,” tambah Wijaya. (net/lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *