Oleh Zainut Tauhid Sa’adi *)
semarak.co-Mudik atau perjalanan ke kampung halaman telah menjadi tradisi dan fenomena yang selalu terjadi di setiap kali Lebaran tiba. Ada yang beranggapan mudik sangat diwajibkan karena saatnya bersilaturahmi dengan keluarga, atau salah satu bentuk bakti terhadap orangtua dan saudara.
Ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah tradisi dan tidak ada keharusan dalam Islam. Bagaimana sebenarnya mudik jika dilihat dari pandangan agama Islam? Apakah mudik berlandaskan atas kesadaran relijiusitas dalam hal ini agama atau sekadar budaya?
Dalam memaknai mudik lebaran ini umat Islam tidak perlu menjadikan polemik atau pro kontra, apalagi saling menyalahkan sehingga menimbulkan perpecahan diantara umat Islam. Mudik lebaran memang tidak masuk katagori ibadah mahdhah atau ibadah yang sudah ditentukan aturannya dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, seperti shalat, zakat, dan haji.
Mudik lebaran itu masuk dalam katagori ibadah ghairu mahdhah yang diartikan sebagai ibadah yang tidak ditentukan aturannya baik di al-Qur’an maupun al-Hadits. Tetapi mudik masuk sebagai perbuatan yang bisa mendatangkan kebaikan, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Sehingga jika dilaksanakan dengan niat ikhlas karena Allah SWT, maka bisa mendatangkan pahala. Contoh ibadah ghairu mahdhah lainnya seperti belajar, mencari nafkah untuk keluarga, menolong sesama yang sedang dalam kesulitan, dan lain sebagainya.
Jadi menurut saya sebaiknya mudik lebaran tidak perlu dijadikan polemik karena dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Bagi yang setuju silakan melaksanakan, bagi yang tidak setuju tidak usah menyalahkan. Karena hal tersebut tidak akan merusak keimanan kita.
Sehingga tidak ada manfaatnya untuk diperselisihkan. Semua kembali kepada niatnya, jika niat mudik untuk membangun silaturahmi dengan orang tua, saudara, kerabat dan teman-teman, tidak melakukan kezaliman, meninggalkan shalat dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama, Insya Allah mudiknya membawa manfaat dan mendapat pahala.
Tapi jika niat mudiknya karena ingin pamer kekayaan, kesuksesan dan keberhasilan, melakukan perbuatan dosa seperti mabuk-mabukan, menipu, menzalimi orang, meninggalkan kewajiban shalat dan lainya, maka mudiknya tidak mendatangkan pahala apa-apa bahkan berdosa.
Momen mudik yang merupakan salah satu bentuk budaya yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, justru menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Rasulullah SAW sendiri pernah merasakan rindu pada Makkah, kota kelahiran-Nya.
Hal itu terungkap dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam at-Tirmizi yang dilukiskan dengan indah jalinan cinta yang kuat antara Rasulullah SAW dengan kota kelahirannya Makkah: “Betapa indahnya engkau wahai negeriku (Makkah). Betapa saya sangat cinta kepadamu. Sekiranya kaumku tidak mengusirku darimu, niscaya aku tidak akan tinggal di tempat lain selainmu.’’
Ucapan ini dilontarkan saat Rasulullah meninggalkan kota kelahirannya, Makkah dengan berlinangan air mata. Rasulullah terpaksa hijrah ke Madinah karena tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy. Hadis ini menggambarkan betapa dalam cinta Rasulullah kepada tanah kelahirannya.
Profesor Quraish Shihab pernah mengatakan mudik bukan sekadar pulang kampung, mudik adalah sebuah perjalanan spiritual yang penuh kelezatan rohani. Mudik adalah kelezatan rohani yang tiada tara. Itulah alasan orang-orang rela menempuh perjalanan jauh, menghabiskan waktu dan biaya, demi merasakan kembali kehangatan keluarga dan kampung halaman.
Masalah Zakat
MUI mengimbau kepada umat Islam agar segera menunaikan kewajibannya untuk membayar zakat, baik zakat fitrah (badan) maupun zakat mal (harta). Zakat secara bahasa adalah pertumbuhan dan pertambahan, permbersihan, harta yang dikeluarkan menurut hukum syariat Islam.
Sedangkan menurut syariat, zakat adalah sebagian harta yang wajib kita keluarkan dari harta yang Allah berikan kepada kita yang telah mencukupi nisab dan haulnya untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. “Sebenarnya yang kita keluarklan atau bayarkan zakatnya adalah kelebihan dari harta kita yang menjadi hak orang lain.”
Zakat di dalam Islam, memiliki peran penting dalam hal pemberdayaan ekonomi umat, dimana zakat berperan sebagai sistem mekanisme distribusi pendapatan dan kekayaan diantara umat manusia. Zakat yang dikelola dengan baik, dapat digunakan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan.
MUI menilai Kemenag belum maksimal dalam membangun ekosistem zakat dan wakaf sehingga lembaga amil zakat belum optimal dalam mengelola penerimaan maupun pendistribusian zakat. Mengingat pentingnya peran zakat dalam memberdayakan ekonomi umat, MUI mengusulkan beberapa hal;
Pertama, MUI mengharapkan Kemenag untuk segera melakukan transformasi digital. Masyarakat sangat menanti inovasi berbasis teknologi yang dapat memudahkan masyarakat dalam menunaikan zakat dan wakaf.
Kedua, MUI meminta kepada Kemenag untuk memiliki roadmap pengentasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi. Sehingga dalam mendribusikan dana zakat lebih tepat sasaran dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan.
Ketiga, MUI meminta Kemenag untuk membangun ekosistem zakat dan wakaf sehingga dapat menambah penerimaan zakat dan pemerataan dalam pendistribusian zakat dan wakaf kepada yang berhak di seluruh wilayah Nusantara.
Demikian dan terimakasih.
Semoga bermanfaat.
Wassalam.
*) Wakil Wantim MUI dan mantan Wakil Menteri Agama (Wameng)
sumber: WAGroup Jurnalis Kemenag (postSenin8/4/2024/fat)