Presiden kebangetan

Hendra J Kede. foto: koin.co.id

Oleh: Hendra J Kede *

semarak.co– Kurang apa lagi data untuk menyakinkan kalau virus corona itu berbahaya dan mudah menulari siapapun tanpa pandang bulu. Sudah sekitar 37.000.000,- (tiga puluh tujuh juta) umat manusia terinfeksi virus corona di seluruh dunia.

Bacaan Lainnya

Sekitar 7.730.000,- (tujuh juta tujuh ratus tiga puluh ribu) atau sekitar 20,89% diantaranya merupakan warga negaranya sendiri (data 11/10/2020). Sudah sekitar 1.070.000,- (satu juta tujuh puluh ribu) jiwa yang meninggal dunia akibat terinfeksi Covid-19 tersebut hanya dalam rentang waktu kurang dari setahun.

Sekitar 214.000,- (dua ratus empat belas ribu) atau sekitar 20% diantaranya warga negaranya sendiri. Padahal jumlah penduduk Amerika Serikat hanya sekitar 4,29% dari penduduk dunia. Hanya sekitar 320.000.000,- (tiga ratus dua puluh juta) penduduk dari sekitar 7.700.000.000,- (tujuh miliar tujuh ratus juta) penduduk dunia.

Tidak berhenti di situ bahkan dirinya dan istrinya pun juga sudah dihinggapi virus yang belum ada vaksin apalagi obatnya tersebut, sempat dirawat di rumah sakit malah. Eh, kok malah masih ‘ngeyel ndak’ mau mengindahkan seruan World Health Organization (WHO) terkait protokol kesehatan di masa pandemi corona ini.

Masih ‘ndak’ mau ‘pake’ masker dan dan jaga jarak. Jangan-jangan ndak mau cuci tangan juga. Oke deh, anggaplah itu hak azazinya untuk menerima segala resiko atas pilihan tidak mengindahkan protokol kesehatan tersebut.

Lha kan hak azazi orang sekitarnya juga untuk tidak ditularin corona darinya. Apalagi sudah dokter kepresidenan lagi yang menyatakan sang Presiden positif corona.

Lebih menimbulkan pertanyaan pada penulis adalah sang calon presiden (Capres) petahana tersebut sampai-sampai tidak mau berpartisipasi dalam debat kedua antar Capres hanya karena penyelenggara melaksanakannya secara virtual, tidak ketemu langsung.

Padahal alasan panitia jelas, kan sang patahana positif corona. ‘Ya jangan sampai nularin orang sekitarnya dong kalau debat ketemu langsung’. Bukankah mau langsung atau virtual itu sarana ‘doang’ untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu visi dan misi sang kandidat presiden?

Hak azazi masyarakat untuk tahu dalam kontestasi Pilpres, kok bisa dikesampingkan hanya karena urusan teknis penyelenggaraan debat? Katanya negara kampiumnya demokrasi ‘in the world’, katanya sih.

Walaupun penulis masih bingung makna kampium demokrasi itu saat mengetahui sang pemenang Pilpres tersebut 4 (empat) tahun lalu setidaknya didukung 3 (tiga) juta lebih sedikit pemilih yang menggunakan hak pilihnya dibanding Capres yang kalah.

Tampaknya Pak Donald Trump tidak saja perlu memahami azaz ekonomi dan politik, namun perlu juga meresapi dan merenungkan juga azaz hukum tertinggi yang bersifat universal yang bahkan lebih tinggi dari konstitusi ini : Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Apalagi untuk menjalankan azas hukum tertinggi tersebut tidaklah susah, bahkan gampang sekali : pakai masker dan jaga jarak. Kalau hal ‘gitu aja ndak mau, ya namanya kebangetan’. Kebangetan karena tega-teganya mengesampingkan hukum tertinggi dan bermain api dengan keselamatan warganya sendiri.

‘Ndak’ tahu bagaimana masyarakat Amerika sana mengeksresikannya. Biasanya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Tengah, tempat penulis tinggal, sambil mengelus dada masyarakat mengeluhkannya dalam kalimat : “Duh Gustiiii… ini kok Presiden kebangetan… paringono eliiinnng.. “.

*) Penulis Ketua Bidang Hukum dan Legislasi PP KBPII /Ketua Pengurus Nasional Mappilu-PWI 2003-2008 & 2008-2013.

 

sumber: koin24.co.id di WA Group Guyub PWI Jaya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *