Oleh Gamari Sutrisno *)
Semarak.co – Presiden terpilih Prabowo Subianto kini berada di fase paling menentukan dalam karier politiknya. Setelah lebih dari dua dekade berada di luar lingkar kekuasaan, dan setelah tiga kali kalah dalam Pilpres, ia akhirnya terpilih pada 2024.
Namun, kemenangan ini bukan kemenangan murni—ia ditopang oleh mesin kekuasaan Jokowi dan disokong oleh koalisi besar yang dibentuk bukan atas dasar ideologis, tapi kalkulasi pragmatis. Kini, Prabowo menghadapi persimpangan jalan sejarah:
. Apakah ia akan melanjutkan peran sebagai penerus Jokowi dan melindungi kepentingan lama?
. Ataukah ia berani tampil sebagai pemimpin yang mandiri, reformis, dan menciptakan arah baru bagi Indonesia?
1.Kemenangan Prabowo: Cacat Demokrasi, Bukan Euforia Reformasi
Tidak bisa disangkal, kemenangan Prabowo-Gibran adalah hasil dari rekayasa politik yang merobek etika demokrasi:
Putusan MK yang kontroversial memungkinkan Gibran (putra Jokowi) menjadi Cawapres.
Keterlibatan masif aparat negara, bansos, dan mobilisasi struktur kekuasaan menjadikan Pilpres 2024 sebagai ajang kemenangan mesin kekuasaan, bukan pertarungan gagasan.
Dengan realitas ini, publik wajar mempertanyakan:
Apakah Prabowo akan menjadi presiden independen atau hanya “penjaga gerbang” dari dinasti kekuasaan Jokowi?
2.Bayang-Bayang Jokowi: Jebakan Politik atau Opsi Stabilitas?
Dukungan Jokowi kepada Prabowo bukan tanpa harga. Jokowi ingin mempertahankan:
Akses terhadap kebijakan strategis, termasuk proyek-proyek infrastruktur dan IKN.
Posisi keluarganya di garis depan kekuasaan (Gibran, Kaesang, bahkan Iriana sebagai “ibu bangsa”).
Perlindungan terhadap oligarki ekonomi dan jaringan loyalisnya. Dengan sowan Prabowo ke Solo, sinyal subordinasi atau “izin pamit” terlihat jelas.
Ini bukan sekadar gesture budaya, tapi juga pengakuan bahwa kekuasaan Prabowo dibangun di atas patronase Jokowi.
3.Tantangan Kepemimpinan: Prabowo Harus Memutus Tali Pusar Kekuasaan Lama
Jika Prabowo ingin dikenang sebagai pemimpin besar, ia harus berani keluar dari bayang-bayang Jokowi, dengan cara:
Menyusun kabinet berdasarkan kapasitas dan integritas, bukan balas budi politik.
Melakukan audit dan evaluasi atas proyek-proyek strategis era Jokowi yang diduga sarat masalah (seperti IKN, food estate, dan utang luar negeri).
Membebaskan hukum dari kendali kekuasaan, terutama dalam kasus-kasus korupsi yang menyentuh elite lama.
Memastikan tidak ada satu keluarga pun yang memonopoli jabatan publik, termasuk dinasti politik Solo-Jogja.
Langkah ini akan penuh risiko, tapi hanya itu yang bisa membebaskan Prabowo dari cap sebagai “presiden boneka” atau “pengganti sementara sebelum Gibran 2029”.
4.Risiko Jika Terus di Bawah Bayang-Bayang Jokowi
Jika Prabowo tetap tunduk pada pengaruh Jokowi, maka ia akan:
Kehilangan legitimasi moral di mata rakyat, terutama kalangan nasionalis dan Islam politik yang dulu percaya ia akan membawa perubahan.
Dikendalikan oleh koalisi oportunistik yang akan meninggalkannya begitu arah politik berubah.
Menjadi presiden transaksional, bukan negarawan.
Lebih jauh, ini akan membuka jalan bagi kelanjutan dinasti politik Jokowi, dengan Gibran sebagai pewaris yang melanjutkan kekuasaan keluarga, bukan kehendak rakyat.
5.Kini saatnya Prabowo Menjadi Dirinya Sendiri
Prabowo telah mencapai posisi tertinggi dalam politik Indonesia. Namun, ia belum benar-benar menjadi dirinya sendiri. Bayang-bayang Jokowi terlalu kuat, dan masa lalunya yang penuh kompromi membuat banyak pihak meragukan keberaniannya.
Tapi sejarah belum selesai ditulis.
Jika Prabowo berani melawan arus kekuasaan lama, membenahi demokrasi, dan menyeimbangkan kekuatan, maka ia bisa dikenang sebagai pemimpin transformatif. Jika tidak, maka ia hanyalah satu bab dalam narasi panjang politik dinasti, kompromi kekuasaan, dan demokrasi yang dikhianati.
*) Pengamat Politik & Demokrasi
21 Juli 2025
Sumber: WAGroup UMAT ISLAM BERSATU (postSenin21/7/2025/)





