Bank BNI Syariah sedang memproses akad produk Hawalah yang dapat memfasilitasi pengalihan utang nasabah. Di mana nasabah ingin pembiayaannya dipindahkan ke Bank BNI Syariah dari bank konvensional maupun sesama bank syariah. Namun aturan akad Hawalah ini belum ada dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sehingga BNI Syariah sedang membahasnya dengan pihak OJK agar nanti tahu memunculkannya seperti apa.
Pemimpin Divisi Keuangan BNI Syariah Wahyu Avianto mengatakan, kebutuhan akad Hawalah ini di masa depan sangat besar, yaitu 80 persen dari pembiayaan konsumer BNI Syariah yang di produk griya. Ini, kata Wahyu, sangat besar potensinya. Masyarakat yang ingin pindah ke bank syariah pun masih terbilang banyak. Masyarakat ini membuka peluang pada pengalihan utang atau take over sehingga harus disiapkan solusi dengan akad Hawalah.
“Jadi upaya BNI Syariah mengambil akad Hawalah ini karena melihat banyak nasabah kadang ingin pembiayaannya dipindahkan ke BNI Syariah. Misalnya ada nasabah membeli rumah dari bank konvensional atau dari bank syariah lainnya, terus dia mungkin membandingkan margin atau lainnya, jadi timbul ingin pindah ke BNI Syariah. Nah ini tentu harus difasilitasi, yaitu dengan akad Hawalah,” ucap Wahyu usai jadi pembicara dalam workshop perbankan syariah yang diselenggarakan Jurnalis Ekonomi Syariah (JES) bekerja sama dengan Bank BNI Syariah di gedung BNI Syariah, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (16/4).
Workshop dengan tema “Meneropong Celah Bisnis Melalui Akad-akad di Perbankan Syariah ini dibuka oleh Direktur Kepatuhan dan Risiko BNI Syariah Tribuana Tunggadewi dengan menghadirkan juga Agustianto Mingka, Ketua V Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI). “Jadi waktu kita mengambil alih itu, maka kita tentu mengeluarkan uang atau dana. Nah di dalam pencatatan bank itulah, harusnya munculnya piutang Hawalah,” imbuhnya.
Diharapkan dalam waktu dekat atau semester I 2018 ini, lanjut dia, produk akad Hawalah ini bisa diluncurkan. Walau nanti pasti dengan beberapa pendekatan tentunya. “Misalnya dalam pencatatan kita munculkan sebagai piutang cord karena belum bisa dimungkinkan dengan menggunakan piutang Hawalah sehingga ini sifatnya darurat sampai nanti peraturan OJK keluar tinggal menyesuaikan. Tapi semua ini tentu atas dasar persetujuan Dewan Pengawas Syariah pula,” harapnya.
Baca : BNI Syariah Dukung JES, Edukasi Jurnalis Tentang Berbagai Akad Perbankan Syariah
Upaya pengajuan aturan akad Hawalah ini, kata Wahyu, tidak dilakukan bersama-sama oleh bank syariah lain. Jadi BNI Syariah akan mempeloporinya. “BNI Syariah pernah mempelopori misalnya Griya Swakarya, di mana BNI Syariah berperan sebagai riil jual beli. Jadi kita membeli tanah, membuat rumah, kita catat dalam aset sebagai persediaan Murabaha, lalu dijual pada masyarakat. Jadi kita tidak menjual rumah yang benar. Kita menyimpan, membangunkan, dan kita menjual. Kalau selama ini, kita membeli dari developer, lalu masyarakat membeli dari BNI Syariah,” rincinya.
Terkait potensi akad Hawalah sebesar 80 persen, Wahyu mengambil indikator dari sisi pertumbuhannya. “Kita tahu, satu sisi makro Indonesia digerakkan oleh sisi konsumtif. Itu potensi dalam negeri sangat besar. Sehingga kalau kita lihat pertumbuhan konsumer itu selalu lebih tinggi pertumbuhaan pembiayaan dari produktif secara nasional.
Apalagi kalau kita melihat dari sisi NPF, lanjut Wahyu, di konsumer selalu lebih rendah dari NPF produktif. Sehingga kita optimis market akad Hawalah masihi sangat besar, tapi bukan lantas BNI Syariah mengabaikan untuk membesarkan dari sisi produktifnya. Maka itu, terlihata kita mengembangkan berbagai produk untuk di produktif.
“Misalnya, produk musyarakah mutanaqisah. Ini hanya dikembangkan untuk konsumer di pembiayaan rumah yang menggantikan murabaha pada asuransi suka-suka, tapi sekarang kita kembangkan juga produtifnya untuk musyarakah mutanaqisah itu,” tutupnya. (lin)