Oleh Mustolih Siradj *)
semarak.co-Komisi VIII dan Kementerian Agama akhirnya menyepakati biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) regular Rp93,4 juta/ per jamaah dengan komposisi Rp56 juta akan dibayar jemaah, selebihnya Rp37 juta dibebankan kepada nilai manfaat yang dikelola BPKH.
Jika diakumulasi dengan jumlah jemaah 219.463 maka maka total nilai manfaat yang harus digelontorkan Rp8,2 trilyun. Bila diprosentasekan 60% dibayar jemaah 40% dibebankan kepada nilai manfaat. Perlu dicatat, nantinya jemaah haji regular hanya akan membayar Rp21 juta karena sudah membayar uang setoran awal pada saat mendaftar ada Rp25.
Jika mencermati postur BPIH 2024 Masehi/1445 Hijriyah porsi penggunaan dana dari nilai manfaat terus dikurangi secara gradual sebagai upaya rasionalisasi dan penyehatan atas keberlangsungan dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Hal ini berkonsekwensi beban biaya yang harus ditanggung jemaah akan terus naik.
Selama ini ada ketimpangan yang sangat tajam dalam tata helola keuangan haji antara dana distribusi nilai manfaat kepada jemaah haji yang berangkat pada tahun berjalan dengan nilai manfaat yang diterima jemaah haji yang masih antre.
Padahal setiap jemaah regular sama-sama membayar setoran awal Rp. 25 juta. Saat ini terdapat 5,2 juta jemaah yang sudah mendaftar dengan akumulasi dana yang dihimpun Rp. 165 trilyun yang dikleola BPKH yang diinvestasikan keberbagai skema investasi.
Jika melihat data pada rentang sejak BPKH didirikan 2017 sampai 2023 nilai manfaat yang diberikan kepada per jemaah haji yang berangkat rinciannya Rp26,90 juta (2017), Rp33,72 (2018), Rp33,92 (2019), Rp57,91 juta (2022), Rp40, 23 juta (2023).
Bandingkan dengan distribusi nilai manfaat yang diterima jemaah haji tunggu yang jumlahnya 5,2 juta orang rata-rata hanya menerima dikisaran Rp118 ribu – Rp490 ribu per orang dalam setiap tahunnya.
Sehingga jika ditotal dalam rentang tahun 2017 -2023 jemaah haji tunggu per orang rata-rata hanya memperoleh penambahan nilai manfaat Rp1,8 juta yang didistribusikan BPKH melalui akun virtual atau rata-rata berkisar 20 % dari total nilai manfaat, sedang 80 % diberikan kepada jemaah haji yang berangkat pada setiap tahun.
Oleh sebab itu, mengingat dana yang diterima jemaah haji yang berangkat pada tahun berjalan dari nilai manfaat begitu besar, maka wajar bila kemudian ada yang menyebut sebagai subsidi dengan sistem sangat mirip skema pozi (ponzi sceam).
Dimana 5,2 jemaah haji tunggu dana hasil kelolaanya dari BPKH yang berasal dari uang pendaftaran ‘dipaksa’ menanggung subsidi kepada 221 (tahun depan 2041) ribu jemaah haji yang berangkat pada tahun berjalan.
Jika diteruskan fromat subsidi terebut maka akan tergerus dan habis hanya untuk subsidi maksimal sampai tahun 2027. Nilai manfaat yang diperoleh BPKH dari 2018-2022 berkisar Rp. 6 trilyun sampai Rp. 10 trilyun. Praktik ini tentu sangat tidak sehat bagi kelangsungan dana haji dan bisa menjadi bom waktu.
Karena hak jemaah haji tunggu sangat dirugikan, terlebih bagi mereka yang antri sampai 40 hingga 60 tahun mendatang apakah jika saatnya nanti mereka berangkat ke tanah suci masih akan menikmati subsidi nilai yang sama dengan yang sekarang diberikan?
Padahal ada bayang-bayang ancaman inflasi, depresiasi mata uang serta komponen biaya haji yang diprediksi akannaik terus? Ironisnya besaran pembagian nilai manfaat tidak memiliki payung hukum yang jelas sehingga jemaah haji tunggu dirugikan.
Oleh sebab itu, tata kelola keuangan haji harus terus diperbaiki dengan cara merasionalisasi dan menyeimbangkan pembagian nilai manfaat yang adil dan proporsional antara jemaah haji yang berangkat dengan jemaah haji yang akan berangkat pada tahun-tahun berikutnya.
Formula BPIH yang telah disepakati Komisi VIII dan Kemenag dalam rangka menjaga keseimbangan, kesehatan serta kelangsungan dana haji. Pada saat yang sama kebijakan ini sebagai upaya serius menyelamatkan tata kelola dana haji dari jebakan sistem ponzi.
Ciputat, 28 November 2023
*) Ketua Komnas Haji/Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta