Polri Siapkan Rompi Wartawan Liputan Demo, Ketua PWI: Dilindungi UU Kok Ditangkap

Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana secara simbolis menyerahkan rompi khusus untuk wartawan yang meliput aksi demo penolakan Omnibus Law di Monas, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Foto: internet

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat menyayangkan tindakan kekerasan oleh pihak kepolisian terhadap para jurnalis yang meliput unjuk rasa menolak Undang Undang (UU) Cipta Kerja. Padahal, wartawan dalam menjalankan tugas dan peranan profesinya dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

semarak.co– Ketua Umum PWI Pusat Atal S. Depari mengatakan, UU Pers berlaku secara nasional untuk seluruh warga negara Indonesia (WNI), bukan hanya untuk pers itu sendiri. Dengan begitu, semua pihak, termasuk petugas kepolisian juga harus menghormati ketentuan-ketentuan dalam UU Pers.

Bacaan Lainnya

“Wartawan tidak boleh mengalami intimidasi dan kekerasan saat meliput suatu peristiwa, termasuk demonstrasi. Sebab, kerja pers dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Karenanya kekerasan kepada wartawan sangat disayangkan,” ujar Atal dalam rilis Humas PWI, Sabtu (10/10/2020).

UU Pers berlaku secara nasional untuk seluruh warga negara Indonesia, lanjut Atal, bukan hanya untuk pers itu sendiri. Dengan begitu, semua pihak, termasuk aparat Kepolisian harus menghormati itu juga.

Atal meyakini, pers bekerja dengan kode etik jurnalistik. Baik kode etik jurnalistik organisasi maupun kode etik jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers. Karena itu, ada ancaman pidana kepada mereka yang menghalang-halangi, mengintimidasi fungsi dan kerja pers.

“Perbuatan tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan kriminal dan diancam hukuman pidana dua tahun penjara,” kata Atal dalam rilis yang di share pada WA Group Guyub PWI Jaya, Minggu (11/10/2020).

Menghalang-halangi tugas dan kerja jurnalis di lapangan seperti, merampas dan merusak alat-alat kerja apalagi menganiaya atau sampai menghilangkan jurnalis itu sendiri sangat bertentangan dengan perundang-undangan.

“Pihak manapun yang menghambat dan menghalang-halangi fungsi dan kerja pers dianggap sebagai perbuatan kriminal dan diancam hukuman pidana dua tahun penjara,” paparnya.

Tindakan seperti itu, kata dia, terlarang jika wartawan yang meliput sudah menunjukkan identitas dirinya dan melakukan tugas sesuai kode etik seharusnya mereka dijamin dan dilindungi secara hukum.

Perbuatan oknum polisi yang merusak dan merampas alat kerja wartawan termasuk suatu pelanggaran berat. “Perbuatan para oknum polisi itu bukan saja mengancam kelangsungan kemerdekaan pers tapi juga merupakan tindakan yang merusak sendi-sendi demokrasi. Tegasnya, ini merupakan pelanggaran sangat serius,” ujarnya.

“Dalam Peraturan Dewan Pers diatur terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugasnya, alat-alat kerja tidak boleh dirusak, dirampas, dan kepada wartawan yang bersangkutan tidak boleh dianiaya dan apalagi sampai dibunuh,” jelas Atal.

Untuk itu, PWI Pusat meminta Kepala Polri Jenderal Idham Azis mengusut tuntas dan segera melakukan langkah hukum terhadap oknum polisi yang sudah menghambat, menghalangi tugas wartawan dengan melakukan perusakan, perampasan, dan penganiayaan kepada wartawan yang meliput unjuk rasa UU Cipta Kerja.

“Termasuk memberikan sanksi kepada oknum petugas yang sengaja menghambat kemerdekaan pers secara terang-terangan tersebut,” kata Atal.

Sekjen PWI Pusat Mirza Zulhadi menambahkan, kekerasan terhadap wartawan yang meliput unjuk rasa UU Cipta Kerja bukan hanya terjadi di Jakarta. Berdasarkan laporan dari PWI-PWI di daerah hal yang sama juga terjadi di Medan, Lampung, Bandung, dan beberapa provinsi lain.

“Kami mengimbau pimpinan Polri memberikan pembinaan, pelatihan, dan pendidikan kepada polisi yang bertugas di lapangan bagaimana seharusnya menghadapi pers. Sehingga mereka paham bagaimana menghadapi pers di lapangan dan tidak main hakim sendiri yang merusak sendi-sendi demokrasi,” tutup Mirza.

Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad mengatakan, intimidasi kepada wartawan bertentangan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Wartawan, katanya, memiliki hak untuk menjalankan lerja jurnalistik. “Penangkapan wartawan sangat bertentangan dengan hukum dan HAM. Terlebih ini dilakukan oleh (oknum) Polisi. Seharusnya Polisi bisa membedakan mana wartawan dan mana peserta demo,” jelasnya.

Oleh sebab itu, dia menekankan agar polisi melakukan evaluasi dalam mengamankan kegiatan aksi. Jangan sampai, kata dia, wartawan yang dilindungi undang-undang justru menjadi korban. “Wartawan yang ditangkap harus segera dibebaskan dan polisi perlu melakukan evaluasi,” tutur Suparji.

Menyusul kasus yang menimpa Ponco Sulaksono seorang jurnalis media online merahputih.co yang diamankan di Polda Metro Jaya, Jumat (9/10/2020) saat ini sudah dipulangkan dan bersama keluarganya.

“Kondisi Ponco saat ini sehat dan sudah bersama keluarga. Terima kasih atas perhatian semua pihak,” ujar Pimpinan Redaksi merahputih.com, Thomas Kukuh, Sabtu (10/10/2020). Namun demikian, Thomas menyesalkan adanya dugaan aksi kekerasan dan intimidasi yang dialami para jurnalis saat melakukan tugas jurnalistiknya.

Pasal 4 UU Pers mengatur bahwa pers nasional berhak mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. Sedangkan Pasal 18 yang mengatur bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik akan diancam pidana maksimal dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp500 juta.

“Kita semua berharap aparat kepolisian memahami tugas jurnalis terutama saat ada bentrokan terjadi. Penahanan dan intimidasi pada jurnalis tidak dibenarkan,” kecamnya.

Mabes Polri menyebut situasi kacau (demo) membuat sejumlah wartawan mendapatkan tindakan represif dari anggota kepolisian saat meliput aksi demonstrasi tolak UU Ciptaker.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan, Polri juga menyebut telah memberikan imbauan agar antara anggota kepolisian dengan wartawan harus saling bekerjasama di lapangan. Namun tidak selalu demikian praktiknya di lapangan.

“Kami seharusnya menjunjung dan melindungi wartawan tapi karena situasinya chaos (kacau) dan anarkis anggota juga melindungi dirinya sendiri. Kami harus saling kerja sama saja di lapangan, kalau ketemu anggota unjukin identitas yang jelas nanti bisa diberitahu kalau teman-teman mencari berita,” kata Argo.

Dia mengingatkan wartawan di lapangan harus komunikasi dan memiliki identitas yang jelas agar dilihat anggota kepolisian. “Sampaikan saja di sana bahwa saya seorang wartawan, saya ingin meliput. Dengan begitu aparat kepolisian yang bertugas di lapangan dapat dengan mudah membedakan mana wartawan dan mana lagi pendemo,” ujar Argo.

Pengurus PWI menyambangi Mabes Polri, Senin (12/10/2020. Tujuannya membahas keselamatan wartawan saat meliput aksi demonstrasi di lapangan, serta mencegah terjadinya kekerasan terhadap para wartawan oleh aparat ke depannya.

Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana membagikan rompi khusus bagi para jurnalis untuk membedakan antara massa demonstran dengan wartawan yang bertugas meliput aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja.

“Pemberian rompi bagi wartawan itu untuk membedakan rekan pers dengan para pendemo maupun kelompok lainnya saat aksi unjuk rasa. Hal itu dilakukan melihat pengalaman yang lalu rekan-rekan pers ikut diamankan petugas keamanan,” kata Irjen Pol Nana, saat penyerahan rompi secara simbolis di Kawasan Silang Monas, Jakarta Pusat, Selasa (13/10/2020).

Kapolda mengatakan, pihaknya telah memberitahu kepada anggotanya di lapangan mengenai pers yang akan mengenakan rompi sehingga tidak terjadi penangkapan terhadap kalangan wartawan.

“Kita siapkan 1.000 rompi untuk rekan pers. Pastinya biar kelihatan pers berbeda dengan aparat dan pendemo. Tentunya tetap pakai identitas diri, dan rompi ini bisa dipakai setiap kali ada aksi,” ujar Nana.

Kendati demikian, pihaknya tetap mengimbau kepada para jurnalis yang meliput aksi unjuk rasa harus tetap menjaga jarak aman antara kelompok pendemo, terlebih di saat sudah terjadi kericuhan.

Pada pertemuan itu, disepakati bahwa Polri akan kembali mensosialisasikan ke aparat di lapangan bahwa kerja wartawan dilindungi Undang-undang dan tidak boleh mengalami kekerasan serta intimidasi.

Meskipun sebenarnya hal ini sudah seringkali diinstruksikan ke aparat di lapangan. “Artinya Polri juga wajib melindungi wartawan yang bekerja saat meliput aksi demonstrasi di lapangan,” kata Argo.

Menurut Argo, pihaknya juga meminta wartawan di lapangan dilengkapi dengan tanda pengenal dan kartu identitas yang jelas. “Karenanya ke depan kami akan membuat rompi khusus bagi wartawan di lapangan, agar dapat dikenali petugas. Sehingga tidak terjadi kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan,” ujar Argo.

Untuk penyediaan rompi bagi wartawan ini, kata Argo, akan dimulai nantinya bagi para wartawan di Mapolda Metro Jaya dan susul kota-kota besar di Indonesia. “Selanjutnya secara bertahap di seluruh wartawan di semua Polda,” kata Argo.

Sementara itu Ketua PWI Atal S Depari mengatakan bahwa pada dasarnya Polri juga sepakat bahwa kinerja wartawan di lapangan adalah dilindungi Undang-undang serta dijamin tidak mengalami kekerasan.

Namun katanya di saat atau momen tertentu yang rusuh atau chaos saat aksi demonstrasi, keberadaan wartawan sangat menentukan untuk terhindar dari lapangan. “Dalam teknis peliputan di lapangan saat aksi demonstrasi, wartawan idealnya berada di belakang aparat, agar terhindar dari kekerasan,” kata Atal.

Atau paling tidak, kata Atal, posisi wartawan adalah di samping antara aparat dan pendemo yang berhadapan. “Jadi cerdaslah mengambil posisi. Jangan memaksakan diri menerobos ke depan, karena itu berpotensi mendapat kekerasan,” kata Atal.

Terkait rencana Polri yang akan menyediakan rompi khusus bagi wartawan yang meliput di lapangan, Atal sangat mendukungnya. “Karena dengan begitu, aparat mengetahui bahwa seseorang itu adalah wartawan, dan bukan ancaman bagi mereka. Sehingga wartawan terhindar dari kekerasan,” kata Atal. (smr)

 

sumber: faktual.net di WA Group Guyub PWI Jaya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *