Politik, Seni Memilih di Antara semua Pilihan yang Salah

Bakal Capres Anies Baswedan pidato politik pada acara Puncak Milad PKS ke-21 di Istora Senayan Jakarta. Foto: internet

Oleh Zico Alviandri *)

semarak.co-Sebuah kertas berisikan soal ujian matematika dibagikan kepada para murid di sebuah kelas. Salah satu pertanyaannya sebagai berikut: Adi memiliki 3 kelereng, sedangkan Rina memiliki 4 kelereng. Bila digabungkan, berapakah jumlah porsi somay yang dimakan Pak Bagas?

Bacaan Lainnya

a. Trapesium | b. Persegi | c. Kubus | d. Bola

Murid yang waras tentu menggerutu melihat soal tersebut. Soalnya saja ngawur, apalagi jawabannya. Tidak ada yang benar satu pun dari pilihan yang tersedia. Mencontreng opsi a, tentu salah karena jawaban yang dikehendaki adalah angka, bukan bangun ruang.

Menjawab d, karena kelereng mirip dengan bola, ya tetap salah. Bagaimana kalau tidak memilih? Bukankah lebih selamat? Harusnya begitu. Tetapi instruksi pada kertas ujian adalah: “Pilihlah salah satu jawaban!”

Lalu bagaimana? Ya semua yang diputuskan oleh para murid akan salah, termasuk tidak menjawab. Maklum, ujian di selenggarakan di sekolah khusus pria. Maka bak metafora itulah berkecimpung di dunia politik.

Setiap pilihan yang dilakukan akan dinilai salah, setidaknya oleh pihak yang berseberangan. Dan ketika hendak bermanuver pun sering bertemu dengan pilihan-pilihan yang semuanya tidak mengenakkan. Eh, atau ada enaknya, seperti keputusan PKS mengusung Bobby Nasution di Pilkada Sumatera Utara?

Menukik ke contoh kasus yang riil itu, saya paham bahwa PKS tidak mencapai suara yang cukup untuk mengusung paslon sendiri. Partai ini terkenal dengan kaderisasi yang baik, namun kelemahannya adalah penokohan yang kurang.

Andai bisa kolaborasi dengan sosok yang cakap, punya elektabilitas, dan didukung umat, tentu akan jadi perpaduan yang apik. Hanya saja hal tersebut tidak terwujud di Sumatera Utara. Ada person yang bisa diusung, tapi sebuah kabar menyatakan bahwa orang itu menjaga jarak dengan PKS.

Tapi apakah harus memilih tokoh simbol dinasti politik? Itu jelas sebuah pilihan yang salah. Apalagi PKS sudah koar-koar menolak dinasti politik. Namun tetap saja tidak tersedia pilihan yang benar, yaitu mengusung sosok yang punya elektabilitas dan didukung umat. Apakah harusnya abstain saja?

Tawaqquf memang sebuah pilihan, tapi lagi-lagi bukan berarti tak ada peluang kelirunya. Karena bagaimana pun juga tak ada salahnya berkolaborasi dengan lawan politik bila kemaslahatan yang dicapai bisa lebih banyak daripada abstain, atau dengan abstain malah kita tidak hadir untuk mengadvokasi umat.

PKS harus siap menelan cibiran. Khalayak tidak akan mau tahu maslahat apa yang dicapai, malah menuding PKS mendapatkan sesuatu dari kesepakatan itu. Mau masuk koalisi kah? Sudah bosan oposisi? Cari jatah menteri?

Bicara koalisi/oposisi, ini juga pilihan yang dua-duanya tidak ada yang benar. Begini, kita sudah berusaha merebut pemerintahan lewat jalan yang konstitusional di pemilu/pilpres kemarin. Dan gagal. Kita harus terima itu.

Dua periode belakangan rasanya urat suara terasa sakit karena kebanyakan berteriak. Oposisi bisa jadi pilihan yang mendingan bila kebijakan yang dibuat orang yang berkuasa itu sekedar salah, bukan berbahaya. Tapi yang terjadi tidak begitu.

PKS pernah punya menteri seperti Anton Apriyantono yang di jamannya Indonesia berhasil swasembada beras. Juga Tifatul Sembiring yang berhasil membendung web perusak generasi sehingga ia dibenci para pecandu maksiat. Lalu PKS oposisi dan kita menyaksikan orang seperti Budi Arie memimpin Menkominfo.

Jud1 0n|ine tidak kunjung diberantas. Serangan cyber bertubi-tubi. Ampuuuun. Kalau begini keadaannya, lebih baik ambil bagian saja – apa pun yang bisa diambil – di pemerintahan ke depan daripada urusan umat diserahkan kepada orang kayak begitu.

Kalau dengan oposisi malah orang berbahaya yang diberi kesempatan, mending berebut kursi dengan berkoalisi. Termasuk ongkos oposisi adalah banyak amal-amal “binaul mujtama’” milik kader PKS yang rontok digebuk penguasa.

Belum lagi umat mudah diadu domba karena berseberangan secara politis dengan pendukung rezim yang mereka juga umat Islam. Kini yang berkuasa adalah orang yang pernah PKS dukung juga, meski tercemar dinasti politik.

Amal “islahul hukumah” yang diikhtiarkan PKS masih jauh dari berhasil, tapi kolaborasi sejenak dengan “mantan segajah” agar bisa lebih leluasa dalam ikhtiar binaul mujtama’ adalah pilihan yang salah yang bisa jadi masih lebih mending daripada oposisi yang terkesan benar tapi mengandung juga kesalahan laten yang bisa jadi lebih besar.

Tapi ada tapinya. PKS harus tetap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang ngawur dan berbahaya. Kelak bila PKS harus ditendang dari koalisi karena terlalu kritis, harus siap diterima sebagai risiko.

Juga risiko kehilangan sebagian pemilih. Untuk hal ini PKS sudah berpengalaman. Badai tahun 2012 lalu membuat bukan cuma simpatisan – apalagi swing voter – bahkan kader pun pergi. Namun PKS tetap bertahan sampai sekarang dan akan terus bertahan selama kaderisasi tetap terjaga.

*) Kolumnis

 

sumber: Himpunan Aktifis Masjid Indonesia (HAMI) / (postMinggu11/8/2024/raadiadi333@g)

Pos terkait