Oleh Ch.H. Situmorang *)
semarak.co-Majalah Tempo 2 minggu berturut-turut dalam Opininya (13 dan 20 November 2023) habis-habisan mengkritisi keluarga Istana. Baca saja judul opini Tempo 13 Nov. 2023, halaman 21, berjudul “ Anak Haram Konstitusi” dan edisi 20 Nov. 2023, dengan judul opini “ Tersebab Ambisi Ibu Negara”.
Dalam opini edisi 13 Nv.2023 tersebut, alinea pertama dibuka dengan kalimat “ Gibran Rakabuming Raka kehilangan legitimasi sebagai calon wakil presiden. Perubahan Pasal 169 huruf q, Undang Undang Pemilihan Umum yang membuat ia cukup syarat nenjadi pendamping Prabowo Subianto cacat secara formil.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menilai para hakim kostitusi yang menguji pasal ini melanggar etik dan memiliki konflik kepentingan. Kita rangkaikan dengan opini Majalah Tempo 20 November 2023, dialinea pertama juga “ Ungkapan “di balik pria sukses ada wanita hebat di belakangnya” hari hari ini tampaknya harus dikoreksi.
Mengetahui sepak terjang Ibu Negara Iriana Joko Widodo dalam mendorong anaknya Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden, kalimat itu layak diubah menjadi “di balik dinasti keluarga, ada ibu sebagai sutradaranya”.
Kedua opini Tempo itu, dengan penggalan alinea pertamanya sudah dapat memberikan gambaran kepada kita, betapa pengaruh keluarga itu sangat besar untuk menentukan masa depan perjalanan politik kekuasaan di Indonesia. Bukan di DPR, bukan di MPR, bukan di Kabinet, tetapi satu kalimat “keluarga”.
Kondisi ini sebenarnya sudah menggambarkan bahwa demokrasi yang kita bangun selama ini lupa membentengi soal peran keluarga. Memang ada TAP MPR tentang Larangan KKN, tetapi model KKN sekarang ini sudah bermetamorfosa sedemikian juga, mengisi celah-celah demokrasi yang sudah ditetapkan dalam Konstitusi.
Kita mulai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat “ final dan mengikat” merupakan suatu bentuk Keputusan yang paling tinggi dan bersifat absolut. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan enteng megatakan “kita boleh tidak suka, boleh tidak senang, boleh protes, tetapi keputusan itu tetap berlaku dan diberlakukan”.
Keputusan “final dan mengikat” ibarat pisau bermata dua. Jika keputusan itu adil, dan memberikan kenyamanan bagi masyarakat banyak, maka negara ini semakin tenteram, tetapi jika keputusan itu kontroversial, menabrak rasa keadilan, menyalahi etik dan norma yang berlaku.
Masyarakat menjadi kacau, terbelah, dan konflik berkepanjangan di tengah masyarakat, bahkan bisa menjadi instrumen untuk menggolkan kepentingan penguasa yang sedang berkuasa, seperti yang terjadi sekarang ini. Indonesia memang ingin menjadi negara yang menjunjung Demorasi.
Namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perjalanannya dibentuklah Mahkamah Konstitusi sebagai garda pengawal Konstitusi. Para hakimnya mestinya negarawan, yang harus sudah teruji bebas dari konflik kepentingan.
Oleh karena itu pada diri seorang Hakim itu integritas, martabat, harga diri, jujur, ahli, profesional harus sudah terekam secara digital sewaktu di bahas di DPR untuk menguji para hakim itu. Dalam pelaksanaannya seleksinya sudah jauh melenceng. Kepentingan politik dan kekuasaan lebih mendominasi.
Uraian Majalah Tempo, sungguh dasyat bagaimana jaringan keluarga itu bisa meruntuhkan Mahkamah Konstitusi oleh Ketua Majelis Hakim Anwar Usman, karena adanya keinginan keluarga untuk menggolkan aturan yang memberikan karpet merah untuk Gibran.
Keputusan Majelis kehormata MK, merupakan fakta juridis yang menetapkan Ketua Majelis Hakim Anwar Usman melanggar etik sehingga diberhentikan sebagai Ketua Majleis Hakim, dan tidak boleh turut menyidangkan perkara yang berkaitan dengan Pemilu.
Bagi Anwar Usman menjalankan keputusan keluarga Istana, karena posisi yang bersangkutan sebagai adik ipar Jokowi, untuk meloloskan syarat bagi Gibran yang terhalang dengan sarat umur, sehingga nekat menambahkan norma baru “pernah sebagai kepala daerah” mungkin bukan merupakan suatu beban.
Secara mental mungkin Anwar Usman ini mempunyai nilai sendiri dalam menempatkan dirinya sebagai hakim. Istilah negarawan baginya tidak berlaku. Publik sebenarnya sudah mulai was-was, dengan sepak terjang Anwar Usman yang mengawini adik Presiden, dimintakan mundur sebagai Ketua Majleis Hakim. Anwar tidak peduli dan meyakinkan tidak ada konflik kepentingan.
Tapi hari hari ini fakta hukum membuktikan ada konflik kepetingan. Bagi Anwar Usman seolah sudah pasang badan untuk dicopot dari Ketua MK, dari pada dicopot sebagai adik ipar Presiden, dan keluar dari lingkaran Istana. Begitulah dasyatnya pengaruh kekuasaan.
Orang bisa kehilangan akal sehat. Masyarakat tidak menyangka, Ibu Negara iriana yang berpenampilan kalem, jarang tampil di publik, sederhana, rupanya terpendam keinginan untuk menjadikan anaknya Gibran mejadi Wakil Presiden.
Keinginan itu menurut lingkaran kedua (versi majalah Tempo) kurang bijak, dan sebaiknya mengikuti anak tangga. Selesaikan dulu Walikota Solo, kemudian menclonkan diri sebagai Gubernur, dan seterusnya.
Mungkin saja feeling seorang Ibu terhadap anaknya, merasakan bahwa jika Jokowi tidak lagi jadi Presiden semuanya akan berakhir. Tidak ada lagi yang mau mendengarnya karena sudah kehilangan kekuasaan. Perjalanan kebanyakan Presiden sebelumnya memang seperti itu.
Prabowo membaca suasana batin seorang Ibu Negara dan juga kegundahan Presiden Jokowi jika berakhir sebagai Presiden. Seolah tidak berbekas, bagimana tajamnya rivalitas Prabowo dan Jokowi pada Pilpres 2019, kini Prabowo menjadi pengagum berat dan memuja muji Jokowi bahkan ingin mengandeng anaknya Gibran menjadi Wakil Presiden.
Semua Ketua partai Koalisi Indonesia Maju dipimpin Prabowo, seperti kerbau di cucuk hidungnya mengikuti skenario Gibran sebagai Calon Wakil Presiden. Erick Tohir yang digadang-gadang PAN, kena prank. Lemas seperti ayam sayur.
KPU telah menetapkan nomor hasil undian Calon Presiden dan Wakil Presiden. Anies-Imin Nomor satu, Prabowo –Gibran Nomor dua, Ganjar –Mahfud nomor tiga. Dalam suasana seperti ini dengan kontestasi yang sudah resmi tersebut, status Gibran berlanjut menjadi polemik mempersoalkan legalitas formalnya.
Kondisi tersebut, menurut hasil poling menggerus suara Prabowo. Tapi Prabowo mungkin mempunyai perhitungan lain. Yang penting Presiden Jokowi mendukungnya dengan segala wewenang dan kekuasaan yang ada dibelakangnya.
Mungkin pengalaman dua kali bertanding Prabowo merasakan betul menghadapi jaringan kekuasan Presiden, walapun ia seorang Jenderal dan mantan Kopassus, itu tidak memberikan efek. Sekarang ini beredar analisis di masyarakat.
Ada yang berpendapat bahwa Sikap yang ditunjukkan Prabowo itu adalah strategi untuk memuluskan jalan menjadi Presiden. Jika sudah menjadi Presiden, Prabowo akan punya agendanya sendiri, untuk memperkuat kekuasaannya.
Jika harus melakukan sesuatu terhadap Jokowi atas permintaan dan tekanan elite politik dan masyarakat, demi kekuasaan akan dilakukannya. Posisi Wapres itu akan ditempatkannya sebagamana Presiden Jokowi menempatkan posisi Wakil Presiden Ma’ruf Amin selama ini, atau Wapres Budiono, pada masa Presiden SBY.
Itu tidak sulit bagi Prabowo. Jangan lupa Prabowo Ketua Umum Partai dan mempunyai koalisi partai yang besar. Gibral bukan siapa-siapa hanya anak seorang mantan Presiden. Apakah keluarga Istana, khususnya Ibu Negara Iriana sudah sejauh itu memikirkannya? Jangan lupa, selain Prabowo, Jokowi sudah tidak punya teman. Jokowi sudah kehilangan Ibu Megawati apalagi Surya Paloh.
Cibubur, 21 November 2023
*) Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO (postSelasa21/11/2023/chazalisitumorang)