Penulis Fakhrudin Sujarwo, S.Sos *
semarak.co-Indonesia pernah mengalami swasembada pangan pada era kediktatoran ala orde baru. Harus diakui perhatian pemerintahan Sang Jenderal besar terhadap ketahanan pangan negeri ini justru sangat tinggi pada waktu itu. Kecerdasan Presiden Soeharto untuk fokus pada perlindungan dan pemberdayaan sektor pertanian, perkebunan, peternakan serta kelautan adalah keunggulan kepemimpinannya.
Padahal latar belakang Soeharto adalah militer murni bukan teknokrat intelektual atau akademisi. Tidak heran kini rakyat justru seolah terromantisasi kejayaan pangan di masa lalu. Alhasil ketika frustasi akan segala kesulitan hidup membayangi yang ada adalah munculnya kalimat, “PIYE KABARE? PENAK JAMANKU THO…”
Gambar-gambar poster berisi kalimat tanya menggelitik dihiasi wajah sumringahnya presiden Indonesia kedua Soeharto, entah mengapa dalam beberapa waktu terakhir muncul di sejumlah tempat dan medium bahkan di dinding-dinding truk.
Boleh jadi, meski tidak mewakili keseluruhan rakyat, inilah gambaran karakter kalangan bawah yang kerap mudah dilanda romantisasi masa lalu. Ketika harapan bahwa reformasi adalah gerbang menuju kesejahteraan, ternyata hanya fatamorgana mereka merindukan kembali kondisi masa-masa sebelumnya.
Kini orde baru dianggap memberikan nostalgia atau kenangan indah terkait enak dan mudahnya kehidupan ekonomi dimasa saat itu. Bahwa era tersebut segala harga dan bahan pangan begitu murah dan mudah didapat. Bahwa pekerjaan bukanlah masalah karena sepertinya mudah didapatkan.
Juga bahwa suasana aman dan kondusif adalah keseharian yang begitu alami berjalan. Sah-sah saja jika banyak orang kemudian berpikir pragmatif dan melupakan kebebasan semu yang berlangsung pada masa itu. Namun faktanya memang pada masa rezim otoriter ala orde baru itulah swasembada pangan tercipta.
Puncak swasembada pangan terjadi pada tahun 1984 melalui pengakuan organnisasi pangan pertanian PBB. Selanjutnya berturut-turut terjadi pada 1985, 1986, 1988 dan 1993. Kini setelah 16 tahun reformasi, ketika masa demokrasi telah tergelar rakyat seolah hanya menjadi penonton kemajuan dan kemakmuran sejumlah kelompok masyarakat.
Bukan menjadi pemain yangn turut mengecap kenikmatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan ekonomi seolah semakin lebar bukannya menyempit. Industrialisasi pertanian dan perikanan serta kelautan seolah hanya menjadi jargon pembangunan semata tanpa terciptanya realita.
Profesi petani dan nelayanpun semakin terpinggirkan dan ditinggalkan. Sebagai negara dengan luas lahan pertanian sangat luas, dengan tingkat kesuburan tanah yang tinggi dan iklim tropis yang mendukung, kini Indonesia adalah negara penggemar impor segala kebutuhan pangan.
Padahal jumlah sarjana pertanian pun tidak kurang jumlahnya. Bahkan jumlah mahasiswa dan sarjana pertanian Indonesia adalah yang terbanyak di dunia. Potensi besar kelautan dimasa sekitar 70% spesies ikan ada dilautan Indonesia pun seolah tertelantarkan. Sungguh membuat bingung logika.
Swasembada dan ketahanan pangan seolah tinggal kenangan dan terus jadi harapan. Indonesia sangat dikenal sebagai negara agraris dan maritim dengan lahan pertanian dan samudera yang luas disertai struktur tanah yang sangat subur serta ikim yang sangat mendukung.
Kondisi ini seharusnya mendorong pemerintah membuat dasar kebijakan pembangunan berbasis green economy alias pertanian dan blue economy atau kelautan. Profesi petani, peternak dan nelayan atau pelaut selazimnya mendapat fokus perhatian dan dukungan besar untuk memaksimalkan potensi dua sektor itu.
Namun fakta yang terlihat sekarang Indonesia adalah negara agraris dan maritim yang paling hobi mengimpor berbagai produk pangan. Mulai dari beras, daging, ikan, garam, pupuk, bawang, singkong, jagung hingga kedelai. *
Referensi: George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media/metrotvnews.com/
sumber: sman1sambungmacan.sch.id/2014/12 08.32 WIB di google.co.id