Pilkada Langsung-Serentak: Kendala Serius Keberdaulatan Negara

Grafis kotak suara pada Pilpres atau Pemilu yang serentak dengan Pilkada. Foto: ist

Oleh Agus Wahid *)

semarak.co-Secara teoritik, pilkada langsug menghasilkan pemimpin yang kredibel, mumpuni, memiliki keunggulan komparatif-kompetitif. Semua itu diharapkan akan membawa kemajuan daerah dan manfaat bagi warganya. Itulah idealnya.

Bacaan Lainnya

Apakah, idealitas hasil pilkada langsung tercapai? Ada yang tercapai. Tapi, ada pula yang sebaliknya. Semua itu tervalidasi oleh perjalanan pemerintahan kepala daerah (gubernur, bupati dan atau walikota) hasil pilkada selama ini.

Sebagian memang berhasil menunjukkan kinerja dan dedikasi terbaiknya, sehingga mampu membawa kemajuan daerah dan manfaat bagi warganya. Sebagian lagi justru merusak kepentingan daerah dan warganya. Bahkan, posisinya sebagai kepala daerah hanya mengantarkannya ke “pesantren”.

Hidup dalam penjara selama waktu tertentu. Sesuai amar putusan pengadilan terkait masa hukumannya. Lalu, apakah perhelatan pilkada langsung dan serentak ini juga akan membawa dua ragam hasil itu? Kecenderungannya tak akan jauh beda.

Indikatornya sudah terlihat secara dini. Pertama, proses penjaringan calon kepala daerah lebih banyak ditentukan oleh faktor kesiapan “amunisi”, bukan menimbang kualitas, integritas dan moralitasnya. Faktor amunisi mengakibatkan diabaikannya calon-calon kepala daerah yang memiliki sejumlah keunggulan komparatif-kompetitif.

Kedua, partai politik menentukan “mahar” bagi sang kandidat. Meski ada sebagian partai politik menyatakan tanpa mahar, tapi – in practicum – tercium juga aroma mahar itu. Minimal, kompensasi balas budi pasca kemenangannya. Dan ketiga, adanya prinsip “harus menang”.

Prinsip ini mengandung konsekuensi logis: menghalalkan segala cara. Semua itu menimbulkan pertanyaan tersendiri, bagaimana mungkin hasil pilkada akan sesuai keranga keoritik dan idealitas itu? Sulit. Zamannya memang sudah “edan”. Jika tak diikuti, ora keduman (ga kebagian).

Konsekuensinya, harus mengikuti irama zaman edan ini. Namun demikian, semua ini juga tergantung kekuatan personal sang figur. Jika ia begitu powerful dalam berbagai karakter, partai justru yang lebih proaktif mendekatinya.

Dan hal ini pun terdapat sampel yang kongkret, di antaranya Anies Baswedan, calon Gubernur Jakarta yang siap maju dalam pilkada periode kedua: 2024 – 2029. Ada hal krusial yang sangat strategis dari pilkada langsung serentak pada 2024 ini.

Yaitu, bagaimana hasil pilkada langsung ini mampu menjadi aktor penguat bagi visi “Menuju Indonesia Emas 2045”. Tertulis secara jelas, visi pertamanya tentang negara berdaulat, di darat, laut dan udara. Berdaulat secara teritorial dan energi.

Dengan mengacu visi “Menuju Indonesia Emas 2024” itu, maka ada konsekuensi roda pemerintahan yang harus seirama antara Pusat dan Daerah. Keduanya tak selayaknya berjalan masing-masing sesuai janji politiknya. Tapi, ada kerangka besar yang sejalan dengan visi besar kenegaraan ke depan.

Dan implimentasinya per 2025 sampai dua puluh tahun ke depan sebagai rencana jangka panjang nasional (RJPN), yang sesungguhnya mirip dengan model garis-garis besar haluan negara (GBHN) zaman Orde Baru.

Sekali lagi, sebuah konsekuensi dari rumusan RJPN adalah Pusat dan Daerah sama-sama harus committed menjaga kepentingan teritorial wilayah dari ancaman dalam dan luar. Sejengkal pun tanah NKRI tak boleh “tercangkul” (dikuasai) orang dalam ataupun asing.

Manifestasi sikap politik dan kebijakannya adalah haruslah ketegasan menghadapi siapapun yang berpotensi mengganggu kedaulatan wilayah NKRI ini. Maka, Pemerintah Pusat harus memberikan komando yang jelas untuk menghantam gerakan separatis yang ada di mana pun.

Sementara, Pemerintah Daerah memback up atau bahu-membahu dengan tindakan Pemerintah Pusat. Begitu juga, Pusat dan Daerah harus bertindak tegas kepada elemen manapun yang – secara implisit – membangun negara dalam negara.

Kebersamaan dan sinergisitas Pusat dan Daerah juga harus menampak jelas bagaimana menghadapi agenda eksploitase dan eksplorasi sumber daya alam yang jelas mengancam kedaulatan energi, bahkan geoekonomi dan geopolitik.

Dalam hal ini Pusat dan Daerah haruslah seiring tindakan dan kebijakan pembangunannya untuk melawan hegemoni kekuatan para eksploitatir dan eksplorator itu. Refleksinya, Pusat harulah mengembalikan kewenangannya kepada daerah untuk megelola sumber dayanya, baik sebagai manusia, atau sumber daya alam.

Dalam kaitan ini UU Omnibus Law layak ditinjau ulang, bahkan perlu dicabut. Karena, memang jelas-jelas merampas hak dan wewenang otonomi daerah dan berpotensi menginjak-injak warga negara di sekitar megaproyek stretagisnya.

Sekali lagi, atas nama menyongsong Indonesia Emas 2045, para pimpinan partai politik di seluruh level punya peran penentu, apakah akan memandang sebelah mata visi besar menuju 2045 itu, atau committed mewujudkan visi besar itu, yang – tahab awalnya – menciptakan keberdulatan negara dalam arti luas.

Jika memang committed, maka sikap politik para elitis partai adalah menseleksi kandidat kepala daerah yang benar-benar berintegritas, bermoral tinggi dan diharapkan memiliki kapabilitas yang mumpuni.

Serupa tindakannya, para elitis partai juga harus bersikap tegas untuk tidak memberikan peluang kepada kandidat yang telah terdeteksi secara dini sebagai bagian penghancur negeri ini. Minimal, menjauhkan diri dari koalisi bersama partai boneka penguasa saat ini. Sterilisasi kader dan atau menolak koalisi bersama partai boneka sungguh penting.

Sikap dan tindakan politik ini akan menjadi filter awal untuk tidak memberikan peran yang bakal memberikan kontribusi besar bagi kepentingan asing (aseng). Harus dilakukan “pemblokiran” politik bagi partai boneka rezim. Guna mencegah kehancuran negara. At least, mengganggu visi besar tahab pertama keberdaulatan negara.

Dengan pemikiran tersebut di atas, Prabowo yang mendapat jatah berkuasa saat ini harus memberikan komando utama, memprakarsai penopangan kandidat daerah yang pro negara yang berdaulat penuh, Topangan itu diwujudkan pada sikap yang lebih mengedepankan kader pro integritas kenegaraan, bukan kepada sang “brutus” (pengkhianat).

Karenanya, rekomendasi partai yang dipimpinnya sebaiknya kepada calon-calon kepala daerah yang pro eksistensi negara. Topangan Prabowo juga perlu diperlihatkan dengan tegas: menolak politik cawe-cawe rezim Jokowi, yang pasti akan menguntungkan kelurganya (politik dinasti) yang sedang dibangun.

Inilah konsekeunsi logis dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045 tahab awal. Jika tahab awal tak dimulai atau gagal, maka visi besar kedua dan ketiga (berkemajuan dan berkelanjutan) tak akan pernah terealisasi. Hanyalah famorgana.

Karena itu, pilkada langsung dan serentak pada 2024 ini memiliki makna strategis. Apakah hanya menjalankan rutinitas? Jika ini landasan politiknya, maka Indonesia ke depan akan semakin jauh dari cita-cita Emas itu. Karena itu, tak ada opsi lain, kecuali satu: harus serius.

Pilkada langsung kali ini harus berintegritas, berkualitas, tak boleh lagi ada kata kecurangan terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Seluruh elemen penyelenggara harus sesikap ideologisya. Bukan lagi mengedepankan pragmatisme dan aji mumpung (carpedium).

Bekasi, 28 Juli 2024

*) Analis Politik

 

sumber: WAGroup WAGroup PRAMARIN (postMinggu28/7/2024/aguswahid)

Pos terkait