Oleh Sutoyo Abadi *
semarak.co-Pertemuan para Menteri Luar Negeri G20 atau G20 Foreign Ministers Meeting (FMM) diselenggarakan di Bali 7-8 Juli 2022 mengangkat tema Membangun dunia yang lebih damai, stabil, dan sejahtera bersama”. Pertemuan ini menjadi forum strategis untuk membahas upaya pemulihan global.
G20 FMM akan terdiri dari dua sesi. Sesi pertama mengenai penguatan multilateralisme membahas langkah bersama bagi penguatan kolaborasi global dan membangun rasa saling percaya antar-negara yang menjadi enabling environment bagi stabilitas, perdamaian, dan pembangunan dunia.
Sesi kedua mengenai krisis Pangan dan Energi, lanjut Ferry, membahas langkah-langkah strategis untuk menanggulangi krisis kerawanan pangan, kekurangan pupuk, dan kenaikan harga komoditas global. Rangkaian pertemuan G20 di bawah Presidensi Indonesia telah dimulai 1 Desember 2021 dan puncakmua, pada KTT Bali, tanggal 15-16 November 2022.
Mengamati proses selama ini sejak Presiden melakukan kunjungan kerja ke Ukraina dan Rusia. Selanjutnya peran Ketua G. 20 dalam proses pertemuan para Menteri Luar Negeri G. 20 . Nampak sekali Indonesia mengalami kesulitan persiapan, gagap, keteteran dan kering pengalaman sebagai diplomat kaliber dunia.
Indonesia membutuhkan seorang diplomat brilian sekaliber Bung Karno, bukan diplomat ecek-ecek yg cuma pinter basa basi seperti yang kita saksikan selama ini. Sudah jelas, masalah ekonomi itu tidak lepas dari masalah geopolitics dan perang yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Tidak mungkin pertemuan Menteri luar negeri atau Presiden G-20 hanya membahas urusan ekonomi dan mengesampingkan urusan politik.
Itu hanya gagasan bodoh dan konyol
Wajah pertemuan Menteri luar negeri G-20 di Bali terbukti gagal besar, tidak lebih seperti sirkus, sinetron, hanya kumpul-kumpul, basa basi, dan photo photo selfi. Tidak menghasilkan apa-apa yg signifikan atau memiliki hasil yang berarti.
Karena Indonesia tidak memiliki proposal rencana perdamaian, atau peta jalan negosiasi yang kongkrit dan komprehensif yang menghasilkan gencatan senjata, atau untuk mengakhiri perang di Ukraina yang bisa diterima oleh Rusia, Ukraina, USA, NARO dan Uni Eropa.
Presiden Vladimir Putin sering berpidato bahwa perang di Ukraina akan berakhir ketika semua tujuan terpenuhi. Jadi tidak mungkin negara yg sedang dan memiliki tujuan militer, tujuan politik, tujuan teritorial, dan tujuan ekonomi akan berhenti perang, hanya dengan himbauan dari negara lain.
Menjadi Presiden G-20, Indonesia terlalu naif untuk mengambil gagasan dan posisi untuk hanya mendorong semua pihak untuk mengakhiri perang dalam diplomasi internasional tetapi tidak memiliki proposal rencana perdamaian yang dapat diperdebatkan secara terbuka atau dalam sesi tertutup oleh mereka. pihak yang terlibat dalam perang.
Semestinya Indonesia sebelum pelaksanaan pertemuan para Menteri Luar Negeri dari G. 20 harus sudah mendapatkan gambaran tuntutan komprehensif rencana perdamaian dari Rusia (apa syarat Rusia ingin mengakhiri perang )–Ukraina (apa ingin mengairi perang dan AS, NATO , Uni Eropa apa yang diinginkan dari negara tersebut untuk mengakhiri perang Rusia dan Ukraina.
Sesulit apapun tuntutan masing-masing negara, harus tetap diketahui dulu tuntutan mereka, kemudian diperdebatkan ketika pertemuan Menteri Luar G-20 itu dilakukan, baik secara terbuka atau sesi tertutup.
Kemudian dicarikan kompromi dari masing-masing negara. “Itu sikap dan tindakan minimal yang harus diambil Indonesia sebagai Presiden G-20. Bukan cuma kebiasaan ngoceh menghimbau, berdasarkan moralitas dan kebaikan bersama.”
Perang tidak mengakui moralitas dan tidak juga, kebaikan bersama. Perang mengakui kepentingan. Melakukan yang terbaik saja tidak cukup. Sebagai ketua G. 20 harus bisa membuat proposal rencana perdamaian yang komprehensif yang dapat diperdebatkan secara terbuka atau dalam sesi tertutup untuk mengakhiri perang di Ukraina yang dapat diterima setidaknya oleh Rusia, Ukraina, Amerika Serikat dan NATO.
Tanpa memiliki proposal rencana perdamaian hanyalah lelucon besar. Bila Indonesia sebagai Presiden G-20 tidak belajar dan mengubah sikap, setelah pertemuan para Menteri Luar Negeri G.20, maka KTT G-20 di Bali mendatang hasilnya akan sama, tidak berarti, kegagalan besar, hanya kumpul – kumpul, basa basi dan photo photo. Apalagi kalau Presiden Putin datang akan ada boikot dari kepala negara AS dan Uni Eropa.
*)Koordator Kajian Politik Merah Putih
sumber: keuangannews.id/09/07/2022 10:32 PM di WAGroup Dakwah Islam & Kesehatan2 (postRabu13/7/2022/)