Perppu Ciptaker Panen Kritikan, Ferry Koto Kecewa sebagai Pemilih Jokowi, Wakil Ketua MPR Syarief: Melemahnya Institusi Negara

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan saat ditemui awak media di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Jumat (16/9/2022). Foto: internet

Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan mengkritik terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) 30 Desember 2022 berbarengan dengan pencabutan pemberlakukan PPKM atas pandemi Covid-19.

semarak.co-Perppu ini menjadi kejutan di akhir tahun yang perlu mendapatkan atensi publik. Dengan keluarnya Perpu ini, semakin jelas menunjukkan bandul kekuasaaan legislasi bergeser sangat jauh menjadi sangat eksekutif tendensi (executive heavy).

Bacaan Lainnya

Setelah menyisakan banyak kontroversi dan demo besar-besaran dalam proses perumusannya, sampai kemudian adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan UU Cipta Kerja adalah konstitusional bersyarat dan mesti diperbaiki 2 tahun setelah Putusan MK itu dibacakan.

Padahal, lanjut Syarief, landasan dan amanat utama reformasi adalah menegakkan keseimbangan kekuasaan dalam menjalankan roda bernegara. “Saya mengkritik keras terbitnya Perpu Cipta Kerja ini. Seharusnya pemerintah dan DPR melaksanakan amanat Putusan MK dengan konsisten dan konsekuen, merumuskan dan menyepakati kembali pembentukan UU Cipta Kerja yang dinyatakan konstitusional bersyarat,” ujar Syarief.

Perbaikan ini dilaksanakan dalam jangka 2 tahun yang diputuskan MK. Bukan malah pemerintah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu. Tidak ada hal-ihwal kegentingan memaksa yang menjadi dasar terbitnya Perpu.

“Konsekuensi negara hukum adalah segala rupa kebijakan harus mendasarkan adanya indikator yang terukur dan legalistic,” papar Syarief dilansir msn.com Minggu, 1 Januari 2023 15:31 WIB dari tribunnews.com.

Jika merujuk pada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga kategori kegentingan yang memaksa, yakni pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.

Oleh karena itu, Syarief meminta pemerintah untuk sangat berhati-hati dalam menerbitkan Perpu. Subjektifitas presiden jangan diartikan bahwa presiden dapat dengan mudah menerbitkan Perpu tanpa landasan yang terukur dan dapat dipertanggung jawabkan.

Maka itu, jika mendasarkan kegentingan memaksa pada pandemi covid dan perang Rusia – Ukraina, maka alasan ini sangatlah lemah. Kalau begitu, apakah berarti semua dinamika yang terjadi di tingkat global dapat menjadi landasan pembentukan Perpu? Akan ada berapa banyak Perppu yang nantinya akan diterbitkan presiden jika cara berpikir ini dilazimkan?

“Apakah republik ini akan diatur hanya dengan Perpu nantinya? Saya menilai terbitnya Perpu Cipta Kerja adalah kemunduran negara demokrasi. Demokrasi menegaskan kedaulatan dan partisipasi publik seluas-luasnya dalam pembentukan legislasi,” kecam Syarief dari Fraksi Partai Demokrat.

Jika hak legislasi rakyat ini dicabut dengan mudahnya menerbitkan Perpu, nilai Syareif, ini tentu sebuah tragedi. Praktik seperti ini hanya akan mewartakan monopoli kekuasaan lembaga kepresidenan. Tragedi buruk dalam cara kita bernegara.

“Karena itu, saya meminta khususnya kepada DPR untuk sangat berhati-hati dalam menilai kelayakan Perpu ini menjadi undang-undang pada masa sidang berikutnya,” tutup Syarief yang mantan Menteri Koperasi (Menkop) dan UKM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Di bagian lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras langkah Presiden Jokowi dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

“Walaupun draf resmi Perppu ini belum dapat diakses oleh publik, produk hukum ini membatalkan Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat,” demikian rilis Badan Pekerja KontraS yang menjadi pesan berantai di media sosial teruta media sosial Whatsapp (WA), pada Rabu (30/12/2022).

Dilanjutkan dalam tulisan rilis Kontras ini, “Langkah ini jelas sewenang-wenang serta bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki adanya pembagian kekuasaan serta dibarengi dengan mekanisme check and balances.”

“Kami melihat diterbitkannya Perppu terhadap UU Cipta Kerja ini merupakan pembangkangan terhadap putusan MK yang memandatkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan,” imbuh rilis Kontras lagi.

Lebih lanjut, Perppu ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak menyetujui perintah MK agar membuat suatu regulasi sesuai dengan prinsip meaningful participation, terlebih berkaitan dengan regulasi yang memiliki dampak luas bagi masyarakat.

Produk hukum yang diterbitkan Presiden ini menihilkan peran MK sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif dan perannya sebagai guardian of constitution. Penerbitan Perppu terkait UU Cipta Kerja sebenarnya juga tidak bersesuaian dengan ucapan pemerintah sendiri di Februari 2022 lalu lewat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang menyampaikan akan mematuhi putusan MK.

Selain inkonsisten, praktik negara hukum yang baik pun kembali tercoreng lewat gejala otoritarian semacam ini. Bukan hanya meneruskan pola pembuatan regulasi yang tidak partisipatif, pemerintah makin menunjukkan kesewenang-wenangannya lewat berbagai bentuk pemaksaan kehendak agenda pemerintah walaupun hal tersebut menerabas ketentuan perundang-undangan.

Dalam aspek substansial, kami juga menilai bahwa syarat diterbitkannya Perppu yakni harus berdasar hal ihwal kegentingan yang memaksa, sama sekali tidak terpenuhi. Saat ini, tidak ada gejolak/desakan dari publik agar Presiden mengeluarkan Perppu terkait dengan UU Cipta Kerja.

Bahkan sebaliknya, saat tahap pembahasan hingga pengesahan UU tersebut, penolakan justru sangat masif di berbagai daerah di Indonesia. Sejak awal, proses pembuatan Omnibus Law memang carut marut dan serampangan, sebab tidak melibatkan publik secara maksimal dan memiliki banyak muatan yang problematis.

Saat masyarakat meminta agar Presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU ini, Presiden justru mempersilahkan pihak-pihak yang tidak setuju agar menguji di MK. Sayangnya, saat MK telah memutuskan bahwa UU ini inkonstitusional, pemerintah justru membangkangi putusan tersebut.

Selain itu, alasan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto terkait ancaman global dan stagflasi sangat tidak relevan. Hal ini kami nilai sebagai akal-akalan pemerintah semata demi memuluskan agenda pemerintahan, utamanya dalam memuluskan pembangunan dan investasi.

Langkah penerbitan Perppu ini juga kembali menegaskan bahwa nilai-nilai demokrasi kian ambruk ditandai dengan sentralisasi kekuasaan Presiden. Hal ini sekaligus menandai Indonesia kian dekat pada negara otoritarian sebagaimana yang terjadi pada orde baru.

Atas dasar uraian di atas, kami mendesak berbagai pihak:

Pertama, Presiden untuk membatalkan Perppu No. 2 Tahun 2022 terkait UU Cipta Kerja dan tunduk pada putusan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020;

Kedua, DPR RI untuk tidak menyetujui langkah Presiden dalam menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022 terkait UU Cipta Kerja.

Diketahui pula, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) yang diterbitkan Presiden Jokowi. Jumat (30/12/2022) masih jadi polemik. Sejumlah pengamat dan pakar hukum telah menyampaikan kritikan tajam terkait hal itu.

Salah satunya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menilai bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap konstitusi.

Hal senada disampaikan pemerhati sosial dan politik yang juga aktivis koperasi Ferry Koto. Melalui cuitannya di akun twitter @ferrykoto, dia mengkritik keras kebijakan Jokowi itu sebagai pelanggaran konstitusi. Dia juga heran Perppu tersebut belum bisa diakses oleh publik padahal sudah diberlakukan.

“Pemerintahan suka2, seenak udelnya mengurus negara. Dipikir nenek moyangnya yg punya negara ini. Perppu itu mulai berlaku sejak tanggal ditandatangani Presiden. Karena ia belaku, maka sudah seharusnya tersedia untuk diakses publik. Rusak negara ini sudah,” tulisnya, dikutip fajar.co.id pada Sabtu (31/12/2022).

“Perlawanan publik selama ini dinilai lemah, sementara DPR RI-nya kebanyakan berisi orang-orang yang mulutnya sudah terkunci. Sehingga @jokowi menunjukan sifat otoritariannya dengan terang benderang, bahkan konstitusi pun dilanggar. Sebagai pemilih Jokowi, sy kecewa. Tak patut lagi dibela,” demikian Ferry melanjutkan.

Seperti dilansir fajar.co.id – Sabtu, 31 Desember 2022 22:39 PM, Ferry menambahkan, “Inkonstitusional itu artinya bertentangan dgn konstitusi. Penyebab UU Cipatker Inkonstitusional diantaranya CACAT FORMIL dalam pembentukannya. Perintah Mahkamah konstitusi jelas memperbaiki pembentukannya. Perintah MK adalah perintah konstitusional, dilanggar oleh Presiden.”

“Kemudian, tidak ada satupun kondisi genting yg memaksa, sehingga perlu keluarnya Perppu. Kecuali Presiden menilai, Pemerintah dan DPR RI tiba2 jadi hilang akal semua, sehingga tdk mampu memperbaiki seperti perintah MK dalam putusannya. Mungkin itu genting,” tandasnya, menanggapi pertanyaan netizen.

Sementara itu, media massa di luar Indonesia juga menyoroti penerbitan aturan tersebut dengan menggarisbawahi komentar beberapa pakar hukum yang mengatakan aturan itu merupakan upaya pemerintah untuk melewati pembahasan di parlemen terkait UU Ciptaker. (net/faj/tbc/msn/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *