Istana belakangan ini menjadi sorotan terkait pelbagai pernyataannya yang intinya meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah. Pernyataan itu termasuk keluar dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
semarak.co-Presiden Jokowi meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah dan mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik. Ini senada Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung yang mengambahkan, pemerintah membutuhkan kritik yang pedas dan keras dari pers sebagai sebagai jamu.
Mengutip CNNIndonesia.com (Rabu, 10/02/2021 11:32 WIB), Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun berpendapat bahwa pernyataan Jokowi dan pihak Istana yang minta dikritik menunjukkan praktik politik berwajah ganda dari kekuasaan.
Ubed menilai di satu sisi Jokowi menunjukkan pesan yang positif untuk bersedia mendapat kritik. Di sisi lain, menunjukkan tindakan kontradiktif dengan terus menangkap atau menghantam para aktivis yang lantang mengkritik kekuasaan.
“Ada semacam politik wajah ganda kekuasaan, dia munafik kekuasaan, kekuasaan berwajah munafik. Satu sisi menyatakan sesuatu yang positif. Tapi praktek yang terjadi bertolak belakang. Bisa dikritik, tapi buzzer beroperasi untuk melakukan teror yang melemparkan kritik,” kata Ubed.
Ketika Jokowi minta publik aktif mengkritik, Ubed mengatakan warga terus dibayangi oleh ulah para pendengung (buzzer) yang menjadi pembela pemerintah maupun ancaman Undang-undang Nomor 11 Tahun Nomor 2008 (UU ITE).
Alhasil, sudah banyak orang-orang kritis terhadap pemerintah yang terjerat pada dua instrumen tersebut. Publik masih teringat kritikan yang dilontarkan jurnalis Dandi Dwi Laksono.
Kritiknya lewat media sosial pribadinya membuat Dandi ditangkap polisi pada September 2019. Kemudian, musisi Ananda Badudu ditangkap dengan tuduhan penggalangan dan penyaluran dana aksi mahasiswa 23-24 September 2019.
Saat itu sedang ramai demo penolakan pelbagai RUU kontroversial jadi undang-undang jelang akhir DPR periode 2014-2019, termasuk RKUHP. “Makanya ini ya sama saja, membuka ruang kritik, ya terlambat. Mestinya dulu waktu baru berkuasa, bilang kritiklah saya sekeras-kerasnya,” ungkapnya.
Di sisi lain, Ubed turut berpandangan Jokowi takut citranya rusak dan terus dicap sebagai pemimpin yang otoriter. Sebab, selama ini Jokowi kerap kali dinilai sebagai pemimpin yang otoriter dengan penggunaan pelbagai instrumen kekuasaan yang represif untuk membungkam para pengkritiknya.
Menurutnya Jokowi selama ini dikenal sebagai pemimpin yang terus menerus menjaga citra positifnya sebagai presiden. Bila ada citra buruk, lanjut Ubed, maka mantan Wali Kota Solo akan bereaksi keras untuk memulihkan citra positifnya di mata publik.
Ubed mencontohkan Jokowi pernah marah ketika para menteri tak becus dalam menangani virus Corona pertengahan tahun 2020. Dalam rapat kabinet di Istana Negara, 18 Juni 2020.
Kepada para menteri, dalam menyikapi situasi krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Corona. “Kalau ada citra negatif dia selalu marah itu. Dulu pernah marah-marah kan sama menteri, nah dia takut citranya buruk. Makanya dia marah-marah,” kata Ubed.
Seharusnya pemerintah tak menggunakan cara-cara represif untuk menekan para pengkritiknya beberapa waktu belakangan. Ia menilai cara-cara represif yang kerap dilakukan justru keliru dan stabilitas politik tak akan tercapai.
Ia menilai langkah represif yang dilakukan pemerintah justru membuat demokrasi di Indonesia semakin menurun. Hal itu berimplikasi membuat investor akan sulit untuk masuk ke Indonesia. “Langkah-langkah penangkapan itu buruk. Implikasinya iklim demokrasi jadi buruk, Investasi enggak akan datang,” kata Ubed.
Pengamat Komunikasi Politik Anang Sudjoko menilai pernyataan Jokowi meminta kritik dari masyarakat semata-mata untuk meredam para pengkritik yang menilai kondisi pemerintahan saat ini kurang berjalan baik.
“Khawatir saya apa yang disampaikan pak Jokowi untuk meredam kondisi saat ini banyak yang mengkritik kepemimpinan Jokowi yang gak baik. Publik terlanjur banyak berpandangan bila jalannya pemerintahan kurang berjalan baik. Baik dari sisi pengelolaan keuangan negara hingga berjalannya cabinet,” nilai Anang, terpisah.
Meski demikian, Anang tak mengetahui apakah langkah tersebut nantinya akan efektif untuk meredam para pengkritik. Sebab, ia berkaca pada kasus terdahulu masih banyak para aktivis dan demonstran yang mengalami tindakan represif dari para aparat saat menyuarakan pendapat atau mengkritik pemerintah.
“Pesan komunikasi publik oleh presiden sebenarnya enggak bisa dipegang, misalnya dia pernah katakan kalau jadi presiden enggak ada banjir di Jakarta, ketika jadi presiden berubah lagi. Antara apa yang dikatakan berbeda lagi,” tuntasnya. (net/smr)
sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO