Pemerintah menyasar penurunan angka perkawinan anak perempuan menjadi 8,74 persen pada 2024 dari 11,21% pada 2018. Sementara itu, dalam rentang 10 tahun, prevalensi perkawinan anak perempuan di Indonesia terus menurun dari 14,67 persen menjadi 11,21%.
semarak.co -Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018, prevalensi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun adalah 11,2%. Itu artinya satu dari sembilan perempuan menikah saat masih anak-anak. Sedangkan prevalensi laki-laki usia 20-24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun adalah 1,06% atau satu dari 100 laki-laki menikah saat masih anak-anak.
Deputi Tumbuh Kembang Anak pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lenny N Rosalin mengatakan, perlu kerja ekstra keras yang melibatkan banyak pihak untuk menurunkan angka perkawinan anak.
“Strategi harus mulai dilakukan. Pemerintah akan merangkul semakin banyak pihak dan melakukan komunikasi publik yang baik kepada masyarakat,” kata Lenny dalam bincang media terkait perkawinan anak di auditorium Kementerian PPPA, kawasan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Jumat (7/2/2020).
Selain itu, lanjut Lenny, untuk mencegah perkawinan anak adalah dengan memberikan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi kepada anak sejak dini. “Anak perempuan yang kawin kebanyakan hanya lulusan SD dan SMP. Maka pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi harus diberikan sejak SD,” katanya.
Selain penguatan kepada anak, katanya, penguatan sebagai upaya pencegahan perkawinan anak juga harus dilakukan kepada keluarga, masyarakat, aparat di pengadilan agama dan kantor urusan agama, serta pemerintah daerah.
Selain Lenny, narasumber dalam bincang media yang diadakan Kementerian PPPA dengan tema “Gerak Langkah Bersama dalam Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak Menuju Indonesia Layak Anak” ada Direktur Rumah Kitab Lies Marcus dan Ketua Pengurus Harian Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K Susilo.
Zumrotin mengatakan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi mutlak dilakukan untuk mencegah perkawinan anak, terutama di daerah-daerah yang angka kehamilan di luar perkawinan tinggi.
“Pemahaman anak-anak terkait pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi banyak yang salah. Misalnya, mereka menganggap tidak akan terjadi kehamilan bila hanya berhubungan seksual satu kali,” kata Zumrotin.
“Sosialisasi tentang pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi untuk mencegah perkawinan anak kerap mendapat penolakan dari kelompok masyarakat tertentu karena salah paham. Sebagian menganggap pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi mengajarkan pergaulan bebas,” terangnya.
Karena itu, kata dia, pemberian pemahaman yang benar terkait pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi juga harus dilakukan kepada masyarakat. “Saya pernah ditolak kelompok masyarakat tertentu di salah satu daerah. Akhirnya saya temui mereka, saya jelaskan, dan akhirnya mereka paham,” tuturnya.
Menurut Zumrotin, pencegahan perkawinan anak harus melibatkan banyak pihak. Dia mengaku sudah cukup lama bergerak di lembaga swadaya masyarakat untuk mengampanyekan pencegahan perkawinan anak dan menghadapi banyak kesulitan.
“Namun, setelah bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan lembaga-lembaga lain, kesulitan yang dihadapai lebih mudah dihadapi bersama-sama,” katanya.
Direktur Rumah Kitab Lies Marcus mengatakan penurunan angka perkawinan anak bukan hanya tanggung jawab Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melainkan juga harus didukung kementerian-kementerian lain yang memiliki peran teknis dalam pembangunan.
“Perkawinan anak adalah krisis yang harus diselesaikan oleh multipihak. Pembangunan harus dipandang dengan perspektif gender. Pada 1901, R.A. Kartini sudah pernah membuat tulisan yang memprotes perkawinan anak perempuan salah satu penguasa wilayah di Jawa yang baru berusia 13 tahun,” kutipnya.
Ternyata permasalahan perkawinan anak perempuan, lanjut Lies, masih terjadi di Indonesia pada 2020. Padahal, sudah lebih dari 100 tahun sejak tulisan Kartini itu, Indonesia merdeka, melakukan pembangunan di segala bidang.
Seperti akses pendidikan semakin luas dan tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi, ternyata tidak bisa melepaskan bangsa ini dari perkawinan anak. “Salah satu alasan mengapa anak dikawinkan karena tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SMP,” ujarnya.
Alasannya, kata dia, karena dia tinggal di desa yang jauh dari SMA yang ada di kota. “Itu menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghadirkan sekolah setingkat SMA agar anak-anak di desa bisa melanjutkan sekolah dan tidak buru-buru dikawinkan setelah lulus SMP,” tuturnya. (net/lin)