International Monetary Fund (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan terkontraksi 1,5% untuk proyeksi Oktober 2020. Prediksi ini lebih buruk dari proyeksi IMF per Juni 2020 yang waktu itu hanya menyentuh kontraksi 0,3%.
semarak.co-Sementara itu, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan terkontraksi 4,4% selama 2020. Meski demikian angka ini membaik dari proyeksi IMF Juni 2020 yang menyatakan kontraksi 4,9%.
Economic Counsellor and Director of Research IMF Gita Gopinath mengatakan, di tengah penurunan pertumbuhan ini, semua negara perlu mewaspadai dampaknya pada dunia usaha.
IMF menyatakan berbagai kebijakan berbagai negara berhasil mengurangi potensi kebangkrutan, tapi COVID-19 menyebabkan perusahaan tidak bisa bergerak sebaik masa sebelum pandemi.
“Dan lebih banyak lagi jutaan pekerjaan yang terpapar risiko semakin lama krisis ini berjalan,” ucap Gita dalam keterangan di Jakarta secara virtual, Kamis (15/10/2020).
IMF juga memperkirakan utang (gross debt) pemerintah Indonesia naik menjadi 38,47% PDB pada 2020. Memburuk dari posisi 2019 yang hanya 30,49%. Rasio utang terhadap PDB Indonesia diperkirakan akan terus naik menjadi 41,82% PDB pada 2021.
Prediksi IMF untuk 2020 ini lebih tinggi dari perkiraan Kementerian Keuangan. Dalam diskusi virtual, Jumat (2/10/2020), Kepala BKF Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menyatakan rasio utang Indonesia pada 2020 akan berkisar 37,6% PDB dan menjadi 41,09% PDB di 2021.
Dia mengatakan peningkatan utang berbagai negara tidak bisa dihindari lantaran perlambatan ekonomi yang terjadi. Di sisi lain efek buruknya diperkirakan masih akan tertahan karena tren suku bunga rendah yang terjadi dalam beberapa waktu ke depan.
Meski demikian, IMF menyarankan agar tiap negara menggenjot penerimaannya yang notabene bergantung pada dunia usaha. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga posisi utang suatu negara tetap dapat dikelola secara berkelanjutan.
“Untuk memastikan utang berada dalam jalur yang berkelanjutan, pemerintah perlu meningkatkan pajak mereka dan memastikan perusahaan membayar dengan porsi yang adil selama mengeliminasi pengeluaran yang tidak perlu,” cetus Gita.
Sementara Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per akhir Agustus 2020 tercatat US$ 413,4 miliar atau sekitar Rp6.101,8 triliun dengan kurs saat ini. Nilai tersebut naik 5,7% dibandingkan posisi periode yang sama tahun sebelumnya year on year (yoy).
Mengutip keterangan tertulis Bank Indonesia (BI), Kamis (15/10/2020), ULN terdiri dari pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 203 miliar dolar plus swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 210,4 miliar. Pertumbuhan ULN pada Agustus lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar 4,2 persen yoy.
“Peningkatan ULN disebabkan transaksi penarikan neto, baik pemerintah maupun swasta. Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi pada peningkatan nilai ULN berdenominasi rupiah,” tulis keterangan BI.
Sementara ULN pemerintah saja pada akhir Agustus 2020 tercatat sebesar US$ 200,1 miliar atau tumbuh 3,4% yoy, lebih tinggi dibandingpertumbuhan Juli 2020 sebesar 2,3% yoy.
Perkembangan ini terutama didorong penarikan sebagian komitmen pinjaman dari lembaga multilateral yang memberikan dukungan kepada Indonesia untuk menangani pandemi Covid-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
ULN Pemerintah dikelola secara terukur dan berhati-hati untuk mendukung belanja prioritas yaitu sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (23,7% dari total ULN pemerintah), sektor konstruksi (16,5%), sektor jasa pendidikan (16,5%), dan sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (11,8%), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (11,6%.
ULN swasta juga mengalami peningkatan. Pertumbuhan ULN swasta pada Agustus 2020 tercatat 7,9 persen yoy, meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada Juli 2020 sebesar 6,2 persen yoy.
Perkembangan ini dipengaruhi pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan (PBLK) dan ULN lembaga keuangan (LK) masing-masing sebesar 10,3 persen yoy dan 0,4 persen yoy. Sebagian besar penarikan ULN swasta pada Agustus 2020 digunakan untuk membiayai kegiatan investasi perusahaan.
Beberapa sektor dengan pangsa ULN terbesar, yakni mencapai 77,5 persen dari total ULN swasta, adalah sektor jasa keuangan & asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas & udara dingin (LGA), sektor pertambangan & penggalian, dan sektor industri pengolahan.
Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Agustus 2020 sebesar 38,5 persen, relatif stabil dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 38,2 persen. Struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang dengan pangsa 89% dari total ULN.
Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan pemerintah terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan ULN, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
“Peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menyokong pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” sebut keterangan BI.
Sebelumnya diberitakan, Lembaga konsultan dan riset, TMF Group menyebut Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara paling kompleks untuk ber-bisnis. Hal tersebut berdasarkan Indeks Kompleksitas Bisnis Global (GBCI) periode Juni 2020.
Laporan TMF Group mengungkapkan lanskap bisnis internasional lebih kompleks dari sebelumnya. “COVID-19 telah menambahkan permasalahan ekonomi dan sosial yang signifikan,” ungkap CEO TMF Group Mark Weil, dalam keterangan resmi Jumat (16/10/2020).
Lembaga konsultan dan riset yang berbasis di Belanda itu menganalisis 250 kriteria dari 77 negara untuk menentukan GBCI tahun ini. Meliputi administrasi bisnis, waktu yang diperlukan untuk memulai bisnis, perubahan dalam undang-undang perpajakan, kebijakan seputar upah dan manfaat, hingga tantangan membuka rekening bank.
Indonesia meraih peringkat sebagai tempat paling kompleks untuk berbisnis dalam laporan tahun ini. Selain Indonesia, negara yang masuk dalam peringkat lima besar tempat paling kompleks untuk berbisnis, yakni Brasil, Argentina, Bolivia, dan Yunani.
Tahun lalu, Yunani menempati posisi pertama, tetapi negara itu telah melakukan beberapa perbaikan, sehingga peringkatnya turun tahun ini. Sebaliknya, TMF Group juga membuat ranking negara dengan kompleksitas berbisnis paling rendah.
Posisi pertama ditempati oleh Curacao, sebuah negara otonom di Belanda. Disusul oleh Amerika Serikat, Jamaika, Denmark, dan Kepulauan Virgin Britania Raya. TMF Group mengatakan salah satu faktor kompleksitas bisnis berkelanjutan yang dihadapi perusahaan multinasional adalah memenuhi peraturan internasional dan lokal.
Tren internasional mendorong standardisasi global, tetapi pada praktiknya sejumlah aturan lokal tetap ditemui oleh perusahaan. Bahkan jauh lebih kompleks di beberapa negara.
Kemudian, banyak negara, terutama di Asia Pasifik dan AS, mengharuskan setidaknya satu direktur perusahaan menjadi penduduk lokal. Selain itu, 68 persen memiliki aturan yang membatasi perekrutan pekerja asing.
Permasalahan aturan domestik juga menjadi kendala perusahaan multinasional membuka bisnis mereka, termasuk perubahan legislatif yang harus dipatuhi oleh perusahaan multinasional.
Yunani, misalnya, ada sekitar 70 undang-undang perpajakan baru yang diberlakukan setiap tahun. Perusahaan yang ingin beroperasi di Yunani dipaksa untuk mematuhi perubahan aturan tersebut.
“Selain itu, banyak pemerintah mengambil tindakan reaktif untuk melindungi ekonomi mereka akibat dari pandemi COVID-19 dan membentuk peraturan baru untuk mendukung bisnis lokal,” tulis TMF Group.
Sejumlah negara juga masih berpegang pada adat istiadat dan praktik yang berakar pada tradisi, sehingga menambah lapisan kompleksitas. Misalnya, 43% masih mengharuskan dokumen ditandai dengan stempel, potongan, atau segel agar mengikat secara hukum.
Tetapi, pemberlakuan aturan ini sudah turun dibandingkan tahun lalu sebanyak 49 persen negara. Argentina, Malaysia, dan Hong Kong telah menghapus persyaratan itu.
Namun, sejumlah negara mulai mengurangi kompleksitas bisnis. Misalnya, Tiongkok dapat mengenakan pajak perusahaan yang lebih rendah daripada ketentuan nasional untuk menarik investasi. Sebanyak enam provinsi di Tiongkok mengenakan pajak perusahaan sebesar 15% daripada tarif nasional tetap sebesar 25%.
TMF Group mengatakan faktor yang meningkatkan kemudahan berbisnis adalah tingkat adopsi teknologi. Hasil riset menunjukkan jumlah negara yang memungkinkan proses bisnis menjadi digital dan dilakukan secara online bertambah.
Digitalisasi ini berhasil mengurangi birokrasi dan beban bisnis. Salah satu perwujudan efisiensi melalui digitalisasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk memulai bisni. Di beberapa negara, seperti Argentina dan Venezuela, dibutuhkan waktu rata-rata lebih dari tiga bulan. Sedangkan di Curacao hanya butuh waktu sehari memulai bisnis.
“Memahami kompleksitas bisnis internasional sangat penting, terlebih lagi selama masa-masa sulit ini. Negara yang kompleks dapat membatasi kesuksesan bisnis atau dapat menghambat investasi. Di sisi lain, kesederhanaan operasi dapat mendorong investasi di negara yang tadinya tidak kompetitif,” ujarnya. (net/pos/smr)