Percepat Penyelesaian Konflik dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria, Kementerian ATR/BPN Kaji Sumber TORA

Tangkapan layar aplikasi video conference Wamen/Waka ATR/BPN Surya Tjandra (baris paling kiri kedua dari atas) saat diskusi bersama FEM Station IPB University bertajuk Apa Kabar Reforma Agraria? Selasa (21/9/2021) secara daring. Foto: Kementerian ATR/BPN

Reforma Agraria merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

semarak.co-Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam hal ini terus berupaya meningkatkan redistribusi tanah kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan Reforma Agraria.

Bacaan Lainnya

Hal ini disampaikan Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN Surya Tjandra saat diskusi bersama FEM Station IPB University bertajuk Apa Kabar Reforma Agraria? Selasa (21/9/2021) secara daring. Wamen ATR/Waka BPN menyampaikan, pelaksanaan Reforma Agraria dari hasil pelepasan kawasan hutan saat ini menemui berbagai tantangan.

“Ini memang pekerjaan Kementerian ATR/BPN. Tantangannya adalah ketika kami survei kan butuh biaya, biaya ini harus ada dalam anggaran, anggaran harus ada output yang jelas. Ini kalau kita survei belum tentu output-nya cocok, artinya bisa capai sertipikasi,” jelas Surya Tjandra dalam rilis humas melalui WAGroup Mitra ATR/BPN.

Surya Tjandra menjelaskan, dengan terjadinya hal tersebut di lapangan, perlu adanya mekanisme dari internal Kementerian ATR/BPN untuk mengembalikan hasil pelepasan kawasan hutan yang tidak dapat dieksekusi.

Hal ini memerlukan koordinasi dan komunikasi yang baik antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam pelaksanaannya, lanjut dia, Kementerian ATR/BPN juga harus memastikan TORA adalah fresh land sebagaimana yang terdapat pada aturan.

“TORA harus bersih, clean and clear, yang sudah tidak ada penguasaan orang atau yang tidak akan digunakan hutan. Ini kalau kita survei belum tentu output-nya cocok, artinya bisa dicapai sertipikasinya. Harus disurvei, dicek ke lapangan benar tidak bisa dikasih ke masyarakat,” tuturnya.

Setelah TORA dipastikan, Kementerian ATR/BPN akan mencari subjek, dalam hal ini penerima redistribusi tanah yang merata ke seluruh Indonesia. “Ini pekerjaan besar pertama-tama mengumpulkan, mencari tanahnya dulu baru subjeknya.

Dalam penyusunan Reforma Agraria, presiden ingin ada fresh land, tanah yang belum ada orang, belum ada penguasaan, kita cari orang yang butuh, untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan dan akses pada tanah,” kata Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN Surya Tjandra.

Surya Tjandra berharap penataan batas hutan bisa menjadi pintu masuk pelaksanaan Reforma Agraria. “Sejak ada Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), kemudian juga peraturan pelaksananya dari KLHK ada peluang untuk melakukan survei bersama,” paparnya.

Jadi apapun hasilnya mereka terikat dan begitu ada hak sebelum ditetapkan menjadi kawasan harusnya sudah masuk, dilepas tanpa proses yang rumit,” pungkas Surya Tjandra.

Sebelumnya disebutkan Reforma Agraria adalah kebutuhan semua pihak, sehingga dalam upaya mengimplementasikannya, diperlukan kolaborasi bersama antarpemangku kepentingan. Kementerian ATR/BPN terus melakukan penguatan regulasi dan percepatan penyelesaian konflik agraria.

Hal tersebut disampaikan Wamen/Waka ATR/BPN Surya Tjandra dalam Rapat Kerja Petani dalam tema Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria yang diselenggarakan Serikat Petani Indonesia (SPI) secara daring, Selasa (21/9/2021) sepert dirilis humas melalui WAGroup ATR/BPN, Rabu (22/9).

Ia menuturkan sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo dalam melaksanakan Reforma Agraria dan menyelesaikan konflik agraria dibutuhkan hati serta memperhatikan kondisi yang ada di masyarakat.

“Ketika mengambil kebijakan itu harus sejalan dengan kondisi atau berangkat dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dalam konteks itu kita bisa membayangkan hasil indikator keberhasilan dari kerja-kerja kita sekarang dan mulai terbayang identifikasi, inventarisasi, verifikasi dan pemetaannya,” tutur Surya Tjandra.

Upaya percepatan penyelesaian konflik agaria juga dilakukan melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), yang mana sebagai wadah kerja lintas sektor dalam hal penyelesaian konflik agraria.

“Di GTRA kita melakukan terus menerus dialog dan diskusi dengan semua pihak untuk berkoordinasi, mengumpulkan data informasi, bernegosiasi, dan mediasi. Sehingga, aspirasi dan tantangan dari berbagai pihak dapat terserap untuk menemukan solusi dan rekomendasi kebijakan yang sistemik dan berkelanjutan,” ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono mengatakan untuk menyelesaikan TORA yang masuk dalam kawasan hutan, KLHK tetap bersinergi dengan Kementerian ATR/BPN.

Melalui terobosan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) diharapkan dapat memperkuat sinergi dan mempercepat penyelesaian tersebut. “Dalam kaitannya ketentuan hak atas tanah dari kawasan hutan kami tetap bersinergi dengan ATR/BPN,” papar Bambang Hendroyono.

“Tapi kami tidak mau jadi hambatan bagi masyarakat yang punya hak di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, ini menjadi poin kita di UUCK. Kami tetap menghormati kerja bersama ini agar TORA bisa ditemukan pendekatan kerjanya,” kata Sekjen KLHK.

Ketua Umum SPI Henry Saragih berkata perjuangan Reforma Agraria dan kedaulatan pangan menjadi salah satu cita-cita target pemerintah dan telah diakomodir pemerintah sampai saat ini. “Sesungguhnya hampir semua kementerian sekarang ini sudah bekerja bagaimana agar penyelesaian konflik agraria dan penguatan Reforma Agraria ini bisa dilaksanakan,” ujarnya. (ys/jr/ta/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *