Sutradara teater kawakan Edian Munaedi menceritakan, dinamika grup Teater Stasiun yang diwarnai semacam senioritas saat berlangsung di ruang latihan. Pemain yang lama, misalnya, merasa perlu untuk mengajari pemain baru bergabung. Ini terjadi pada proses pertunjukan sebelumnya, Repertoar Sabun Colek (2012).
Edian mengambil pendekatan yang hangat untuk menangani masalah ini. Kenapa masalah? Sebab Edian merasa terganggu penyutradaraannya ketika interupsi hadir dalam bentuk ‘satu aktor mengajari aktor lain.’ Terutama ketika interupsi tersebut berlangsung di ruang latihan. Edian biasanya berbicara dari hati ke hati kepada aktor seperti itu. Secara terbuka saja, Edian mengatakan kepadanya bahwa perdebatan seharusnya berada di luar ruang latihan.
Resistensi di antara para aktor barangkali hal yang lumrah terjadi pada kelompok teater. Begitu pula dengan Teater Stasiun. Satu aktor membantah aktor lainnya. Meskipun menurut Edian, resistensi seperti ini tidak produktif.
“Sebenarnya lebih memperlihatkan perilaku aktor yang tidak mau saling mendengar pendapat rekan kreatifnya.”
Tetapi pada proses pertunjukan Memori Disorder, yang akan dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Minggu (28/1) besok, resistensi seperti itu telah banyak berkurang. Meskipun sebenarnya ada faktor lain yang ikut mempengaruhi, seperti jarak proses yang menempuh waktu kurang lebih satu tahun. Edian mengamati, antusiasme para aktor tereduksi oleh panjangnya proses kreatif.
Tanpa terkecuali, reduksi tensi kreatif ini juga terjadi pada Edian sebagai sutradara. Joind Bayuwinanda, aktor yang belakangan bergabung dalam latihan Memori Disorder, sempat melancarkan rasa penasarannya ketika Edian tidak banyak memberikan masukan-masukan terhadap permainan aktor.
Ditambah lagi dengan kondisi lingkungan kreatif Teater Stasiun, dimana Edian merasa kurang memiliki teman diskusi yang intens yang bisa hadir tepat pada waktunya ketika proses kreatif sedang menghangat. Sementara usulan-usulan yang datang di penghujung proses kreatif tidak mendapatkan waktu yang memadai untuk memberikan sumbangan yang signifikan pada perubahan bentuk pertunjukan. Di samping adanya usulan lain bahwa Edian juga didorong untuk tetap menampilkan ciri khas Teater Stasiun pada pertunjukan ini.
Menurut Edian, menempatkan masukan-masukan itu pada titik-titik yang cocok bersandingan dengan beberapa hal yang dia pertahankan, seperti irama pertunjukan secara keseluruhan. Joind Bayuwinanda, satu dari tiga actor yang berperan dalam pentas Memori Disorder karya/sutradara Edian menyetujui langkah Edian. Menurut Joind, jika semua ide ditampung secara bulat tanpa penyaringan, maka Edian akan kehilangan dirinya. Sementara itu, sejak awal langkah kreatif berangkat dari bentuk teater realis yang kemudian mengalami perkembangan-perkembangan.
Diskusi di ruang latihan Memori Disorder terpancing juga untuk membicarakan dunia psikis manusia. Lebih spesifik tentang berbagai gangguan jiwa, seperti kelainan seks, orang yang fobia knalpot, panic disorder, dan lain-lain. “Disorder itu bukan penyakit ‘kan?” tanya Anto Malaya, pendamping proses kreatif Teater Stasiun, pada sebuah kesempatan latihan di bulan Desember 2017.
Edian dan Anto saling menceritakan referensi dari fakta yang paling dekat. Ada seorang anak yang terganggu melihat bentuk-bentuk bulatan yang massif. Ibu seorang teman merasa risih jika tangannya sedikit kotor. Teman yang lain lagi ngeri dengan impresi remahan kerupuk yang berceceran. Pembicaraan berlangsung seputar manusia yang takut, ngeri dan jijik.
“Tapi gue belum merasakan tekanan kesunyian dari tokoh Bram atau keseluruhan pengadeganan sejauh ini,” kritik Anto.
Tetapi Joind memang merasa seluruh potensi keaktorannya pada proses ini belum keluar secara maksimal. “Ibarat handphone, batrenya baru keiisi dua garis, padahal gue aktor ya…” demikian Joind mengkritik dirinya sendiri.
Joind mensinyalir dibutuhkannya ruang khusus, seperti studio, untuk meladeni proses kreatif Teater Stasiun kali ini dimana pada kenyataannya mereka berlatih di Gelanggang Remaja Jakarta Barat yang mesti berdampingan dengan kegiatan olahraga, hajatan perkawinan dan suara-suara dari lingkungan sekitar yang krodit.
Sementara Edian lebih menekankan faktor totalitas yang biasanya dikonkritkan oleh aktor dalam bentuk konsentrasi. “Kamu seperti bercinta saja, Joind, yang penting fokus dan tidak mudah terdistraksi.”
Mengenai apa yang disampaikan pertunjukan Memori Disorder, Edian bersikeras pertunjukan ini tidak membicarakan soal Timor Timur. Timor Timur hanya menjadi bagian dari sejarah kelam kerabat dekatnya. Kerabat dekatnya itu sebenarnya tidak terlalu memusingkan perkara Timor Timur. “Gangguan kejiwaan yang menimpa kerabat dekat saya itu lebih dipicu oleh meninggalnya sang isteri yang mengakibatkan hadirnya kekosongan hidup,” ungkap Edian.
Hanya bagian itu saja yang diambil oleh Edian menjadi basis proses kreatif Memori Disorder. Pada cerita ini, sang isteri dipersonifikasikan lewat sesosok boneka yang menjadi representasi sebuah masa lalu yang kelam dari tokoh bernama Bram (Joind). Selain melalui boneka, kekelaman masa lalu Bram yang berlapis turut direpresentasikan melalui tokoh Bardi (Indra Prasto) dan Merry (Anggun Anggendari).
“Kebutuhanku adalah menampilkan kesunyian yang kacau itu. Bram kesepian karena kehilangan isterinya, maka Bram menjadi disorder. Sehingga penting adegan Bram ketika dia sendiri. Sementara di awal pertunjukan, akan dihadirkan flashes-flashes masa lalu Bram.”
Kesunyian Disorder adalah judul awal dari pertunjukan ini berdasarkan usulan Afrizal Malna. Tapi Edian merasa kurang klik dengan bunyi kata ‘kesunyian’ sebagai judul. Lalu Afrizal meneruskannya dengan usulan menggantinya dengan kata ‘memori.’ Toh, pertunjukan ini memang memainkan memori disamping trauma. “Sebenarnya kasus-kasus individu di Jepang dimana ada pernikahan manusia dengan boneka, itu kan traumatik orang itu karena pengalaman hidupnya,” jelas Edian.
Banyak pengalaman traumatik bersama pasangan hidup atau orang-orang terdekat. Sementara bentuk trauma itu sendiri bisa bervariasi, tidak hanya berwujud teriakan-teriakan. Menurut riset yang dilakukan Edian dan kawan-kawan di sebuah panti wredha, ada seorang ibu yang membawa tas lalu duduk di tikungan jalan, menengok ke berbagai arah. Setiap hari ibu itu melakukannya berulang-ulang.
“Ada apa, Bu?”
“Orang tua saya… Saya menunggu orang tua saya.”
“Memang belum datang?”
“Belum. Janjinya hari ini.”
“Ibu itu tidak menangis. Malahan tersenyum. Dialognya biasa saja,” cerita Edian.
Jadi, ada kasus kerabat dekat, ada kasus orang lain, ada juga kasus hasil pembacaan Edian. Semua itu dititipkan ke tokoh cerita. Hanya saja Edian memang tidak melakukan pemecahan dramatic personae yang jumlahnya banyak. Edian menggabungkan semua referensi itu ke dalam satu titik simpul cerita dan memanggulkannya hanya kepada tiga tokoh cerita.
Lalu, kenapa tokoh-tokoh itu bernama Bram, Bardi dan Merry? “Sebenarnya lebih kepada unsur bunyi saja sih,” jawab Edian. “‘Bram’ itu terdengar lebih melebar, sementara ‘Bardi’ terdengar menukik ke bawah karena ujungnya yang berbunyi ‘di.’ Saya tidak pernah riset nama ‘Bram’ itu artinya apa.” (dendi madiya)
Diskusi Biografi Penciptaan
Sabtu, 27 Januari 2018
Pukul 16.00 WIB
Gedung Kesenian Jakarta.
Pertunjukan Teater
Minggu, 28 Januari 2018
Pukul 14.00 WIB (Pelajar)
Pukul 20.00 WIB (Umum)
Karya & Sutradara: Edian Munaedi
Staff Produksi:
Pimpinan Produksi: Nega Yoselina Banuampu
Stage Manager : Doni Lazuardi
Keuangan : Trisfahilda
Penata Lighting : Mamet SLasov
Penata Musik : Budi Sadewo
Penata Bunyi : Sentanu
Penata Kostum,
MakeUp &
Disain Grafis : Anggun Anggendari
Penata Videografi: Daeng Haris & Silmi Rahmadi
Penata Artistik,
Pembuat Boneka &
Topeng : Edmun