Pentas Teater Boneka di Salihara, Teks Amongraga dari Serat Centhini Gambarkan Moksa

Pentas teater grup Komunitas Sakatoya berjudul Amongraga dari Program Musim Seni Salihara Berseni Kembali, di Teater Salihara, Sabtu-Minggu (27-28/8/2022). Foto: heryanto/semarak.co

Amongraga adalah pertunjukan teater boneka kolaborasi Komunitas Sakatoya dan Ugo Untoro. Karya ini menggunakan menggunakan teks Amongraga dari Serat Centhini untuk dikembangkan menjadi dialog, alur cerita, penentuan tokoh karakter, dan kebutuhan artistik.

semarak.co-Pentas Teater Amongraga merupakan rangkaian dari Program Musim Seni Salihara Berseni Kembali, pada Sabtu-Minggu (27-28/8/2022), pukul 16.00 dan 20.00 WIB di Teater Salihara, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Adapun acara lainnya berupa pameran boneka dengan terbagi atas wujud boneka asli dan sebagian lagi wayang kulit yang berlangsung dari

Bacaan Lainnya

Amongraga mengisahkan perjalanan pelarian salah satu anak penguasa Kerajaan Giri setelah mengalami kekalahan perang dari Kerajaan Mataram. Dalam pelariannya, Amongraga melakukan semadi di dalam goa.

Usai melakukan semadi, Amongraga justru mendapat banyak murid dan berita itu terdengar oleh penguasa Kerajaan Mataram. Raja Mataram yang tidak senang dengan berita tersebut, pada akhirnya menghukum Amongraga.

Adegan dimulai suatu malam di Desa Wanamarta ada pesta meriah yang dirayakan seluruh warga desa. Bunyi music, tarian rakyat, juga tawa tak lepas dari para warga di malam itu. Aneka makanan dan minuman juga menjadi bagian dari pesta yang sampai mabuk. Tak ada kesedihan malam itu bahkan seluruh warga menikmati secara jamu sinom. Jamu sinom memiliki arti sirep tanpa nampa.

Di dalam Bahasa Indonesia bermakna diam (meninggal/tidur/moksa) tanpa meminta apa-apa. Rasa manis yang terkandung di dalam jamu sinom ini secara keseluruhan melambangkan bahwa manusia dilahirkan dengan fitrah yang suci dan harus kembali kepada Tuhan harus dengan keadaan yang suci atau fitrah juga.

Beranjak dari pesta malam inilah perjalanan Amongraga dimulai. Di siang yang teriknya membakar ubun-ubun, dalam tirakat puasa di hari itu, mereka menemukan sebuah lembah yang sangat indah. Di sana tertanam berbagai macam tanaman buah yang menggiurkan.

Ada mata air yang sungguh menyegarkan juga. Ki jamal dan Ki Jamil lahap menyantap buah berwarna merah segar itu. Satu, dua, tiga, dan seterusnya. Ada bulir air yang menetes dari buah yang mereka gigit. Di terik yang begitu menyengat, mereka melahap dengan tergesa.

Namun tidak demikian dengan Amongraga. Ia sanksi dengan apa yang ia lihat. Dalam hati ia percaya bahwa ini mustahil terjadi. Di tengah lembah yang sepi ini, tak mungkin ada berbagai tanaman buah tanpa ada y ang menanamnya.

Perjalanan Amongraga, Ki Jamal, dan Ki Jamil melewati hutan-hutan telah berhari-hari. Lalu mereka menemukan pohon besar yang tampak wingit. Amongraga pun memutuskan untuk bermunajat di bawah pohon itu. Dalam munajatnya terbersit bayangan dua saudaranya serta rumah masa kecil yang mereka tinggali bersama.

Jelas tampak bahagia. Lalu tiba-tiba ada suara dahsyat yang datang dari awang-awang. Menyusul kemudian sesosok makhluk yang tak jelas wujudnya mengaku sebagai makhluk sakti mandraguna. Mampu memutas balik waktu. Maka ditawarinya Amonraga untuk kembali ke masa Ketika ia masih bersama dua saudaranya.

Tentu dengan syarat yang mesti dipenuhi. Amongraga, Ki Jamal, dan Ki Jamil melewati sungai, gunung, dan rimba di perjalannya. Lalu sampailah mereka di suatu gua yang wingit. Amongraga pun memutuskan untuk bermunjat di sana. Di gua itu tepat tujuh hari, Amongraga bermunajat. Duduk bersila dan memejamkan mata.

Pada hari terakhir munajatnya, ia khusyuk tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitarnya. Dalam munjatnya berkali-kali ia ditemui peri yang malih rupa jadi Tembangraras. Amongraga memasrahkan diri. Ia sendiri masuk ke dalam bronjong anyaman bambu. Setelahnya, ke dalam dasar Samudra di laut selatan ia harus diceburkan.

Tak berselang lama, bronjong anyaman bambu yang tadi berisi tubuh Amongraga kembali dari dasar Samudara, meloncat terbang hingga ke tanah. Namun taka da tubuh Amongraga di dalamnya. Seketika ada suara menggelegar. Kini dalam wujud badan halus, Amongraga kembali mencari. Kembali melakukan kembaran demi menuntaskan apa yang ia ucap menjadi sebuah janji.

Kekuatan visual yang menjembatani komunikasi penonton dengan pertunjukkan menjadikan pertunjukkan tanpa dialog ini indah enak dinikmati. Imaji penonton bahkan melompat jauh kepada bentuk spiritual berupa makrifat yang dilakukan karakter Amongraga usai menyentuh batinnya.

Utamanya saat adegan meninggalnya Amongraga dalam kerangkeng dibalut cahaya biru dan asap dari gunsmoke membuat imaji terasa di dunia lain. Tingkat spiritual ini memang sudah dibina oleh sutradara BM Anggana seperti adegan semadi tadi.

Kemudian kemunculannya tokoh-tokoh jahat dan bentuk doa-doa. Lebih indah lagi Ketika endingnya terdengar suara adzan yang tidak tuntas sebagai penanda meninggalnya Amongraga secara moksa alias terbang ke langit.

Profil Penampil

Komunitas Sakatoya adalah kolektif seni yang bergerak di wilayah manajemen produksi kesenian dan produksi karya teater. Semenjak 2018, karya-karya teater Sakatoya berfokus pada isu ekologi dengan berpijak pada dramaturgi keterlibatan penonton. Karya-karya teater yang sudah dipentaskan antara lain: Octagon Syndrome (2018), Cosmicpollution (2018), Pesta Boneka (2019), dll.

Pada 2021, Sakatoya berkolaborasi  secara virtual bersama kelompok teater dari Inggris, Zoo Co dalam pentas Care Krisis yang merupakan salah satu proyek terpilih program Connecting Through Culture Grant 20/21 British Council. Di tahun yang sama Sakatoya terlibat menjadi pengarah Artistik dan Program Public untuk Pameran Arsip Game of The Archive di Biennale Jogja XVI-Equator (2021).

Amongraga di dalam bronjong anyaman bambu memasrahkan diri ke dalam dasar Samudra di laut selatan ia harus diceburkan. Foto: heryanto/semarak.co

Tim Produksi:

Sutradara                                                       : BM Anggana

Seniman Boneka dan Penasihat Artistik           : Ugo Untoro

Pimpinan Produksi                                       : MR Ridho

Penulis naskah                                              : Gilang Alamsyah

Aktor (puppeteer)                                         : Ninda Filasputri, Galuh Putri Satyarini, Gilang Alamsyah, Isna Nugraha, pranayonu, Ahmad Abdushomad, Jenar Kidjing

Penyanyi/Penata Lagu                                 : Floretti Vera

Manajer Panggung                                        : Riski Aulia

Penata Musik                                                 : Jenar Kidjing

Penata Cahaya                                               : Muhammad Ibnu Shohib

Penata suara                                                  : Alan Daru Wicaksana

Penata set                                                       : Ika Yudhi Kasran

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *