Hamlet, adalah karakter/tokoh yang dinasibkan hidupnya oleh William Shakespeare, penulis dan dramawan besar Inggris sebagai seorang pemuda yang mengalami goncangan dalam kehidupannya di mana bapaknya mati diracun pamannya sendiri.
Semarak.co – Lalu adik kandung dari bapaknya serta mengawini ibunya yang memang memiliki andil dalam intrik perebutan kekuasaan di dalam istana, di mana bapaknya Hamlet sebagai raja.
Di tangan Heiner Muller, penulis dan dramawan Jerman, naskah Hamlet, Pangeran Denmark itu ditafsirkan menjadi Hamlet Machine.
Inilah alasan Kelompok Teater Kami memilih Hamlet Machine yang dipentaskan di gedung Teater Kecil komplek Taman Ismail Marzuki (TIM) kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa-Rabu malam (29-30/7/2025).
Karya pemikiran Heiner Muller sebagai karya pemanggungannya yang terbaru pada tahun 2025 ini dengan tajuk “menjadi HAMLET yang belum menjadi” disutradarai Harris Priadie Bah. Pemanggungan ini menjadi khas dan unik dengan konsep pemanggungan yang Harris istilahkan sebagai Tafsir Bebas.
Menarik sekali tafsir yang dikerjakan HPBah, sapaan akrab Harris Priadie, selain bentuknya yang realis imajinatif juga penghadiran tokoh-tokoh/karakter yang sejatinya tidak ada dalam naskah “Hamlet Machine”nya Muller ini.
Seperti tokoh Gertrude dan ibu Ophelia. Pemanggungan ini didukung sejumlah pemain inti atau utama selain para pendukung. Ribka Maulina Salibia sebagai Gertrude, Ratna sebagai Ophelia, Piala Dewi Lolita sebagai Horatio,
Lalu Esti Haryani sebagai Ibu Ophelia, Ragil Biru Sholin Sidiq sebagai hantu bapaknya Hamlet dan Korlap Demo serta Harris Priadie Bah sebagai Hamlet.
Dari jalannya pertunjukkan yang diwarnai berbagai celutuk komedi membuat penonton tertawa segar, seperti kritik terhadap pemerintah atas kondisi seniman yang tidak diberdayakan sebagai seniman.
Sekaligus Harris seolah ingin jujur pada kesenimanannya yang menyindir mau menerima apa yang dimaui pemerintah. Di mana karya seniman tidak lagi an sich sebagai artistik kesenian karena berbagai pertimbangan atau untuk dikatakan asal bisa pentas.
Yang menarik misalnya adegan demo yang dikemas komedian sehingga tidak vulgar yang membuat pertunjukkan seperti murahan. Harris yang dosen di London School Public Relation (LSPR) tampil langsung sebagai pemeran utama menunjukkan sebagai sebuah pertanggungjawaban atas apa yang dikaryakannya.
Lebih dari itu, Harris pun berhasil mempertahankan ciri khas dari setiap pentas Kelompok Teater Kami hingga malam pementasan itu. Misalnya kemasan cara berdialog yang sulit untuk dipakai oleh grup teater kebanyakan. Apalagi teater festivalan atau Festival Teater Jakarta (FTJ) yang ikut kena sentil Harris. Selamat dan teruslah berkarya Kelompok Teater Kami. Bravo. (hms/smr)