Oleh Ahmad Khozinudin *)
semarak.co-Kendati baru diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tapi sejatinya apa yang disampaikan KPU berupa pengumuman hasil Pemilu 2024 ini bukanlah hal yang baru. Bukan hal baru, karena hasil kemenangan Prabowo Gibran sudah banyak dibahas oleh lembaga quick count.
Juga prediksi KPU akan mengumumkan hasil yang tidak jauh beda dengan hasil lembaga quick count, termasuk hal yang sudah diprediksi. Soal PPP dan PSI tidak lolos parlemen, itu tak terlalu penting dibahas.
PPP memang sudah mengalami pembusukan dari dalam dengan berbagai friksi dan pergantian Ketua umum yang tak normal melalui Munaslub. Secara eksternal, citra PPP sebagai partai Islam juga sudah luntur. Jadi wajar kalau tidak lolos ke Senayan.
Adapun PSI, tampaknya sengaja ditumbalkan. Kalau dipaksakan lolos akan menggangu proses pengumuman pemenangan Prabowo Gibran. PSI sementara dijadikan bandul penyeimbang, seolah Pemilu fair karena PSI yang dipimpin putra Jokowi juga tidak lolos.
Padahal, rencana operasi pelolosan PSI ketahuan publik. Kenaikan data Sirekap PSI yang nyaris 4%, menambah kecurigaan publik dan reaksi keras publik. Jadi, skenario pelolosan PSI sengaja dibatalkan. Adapun NasDem, sudah terlihat lagi watak aslinya yang pragmatis.
Surya Paloh langsung berpidato atas nama NasDem menyatakan menerima hasil Pemilu dan mengucapkan selamat kepada Prabowo Gibran. NasDem hanya mendorong proses ke MK dan meragukan proses hak angket.
Satu langkah politik yang sejak jauh hari sudah terbaca ketika Surya Paloh menemui Jokowi di istana, padahal belum ada pengumuman hasil Pemilu oleh KPU. NasDem tidak terlalu meratapi kekalahan Anies, bisa dipahami karena dua alasan.
Pertama, Anies bukan kader NasDem. Jadi tak signifikan bagi NasDem terlalu ‘Die Hard’ membela kekalahan Anies dalam Pilpres 2024 ini. Kedua, Anies telah dimanfaatkan secara baik untuk mendongkrak elektabilitas NasDem.
Terbukti, suara NasDem naik, jadi misi sudah selesai. Adapun kemenangan Anies, itu bonus saja kalau terjadi. Suara NasDem pada Pemilu 2024 ini 14.660.516 suara (9,65%), naik 0,60% dari suara NasDem pada Pemilu 2019 lalu yang hanya 9,05%.
Efek memboyong Anies menjadi Capres, ini juga sukses mengerek suara partai pengusung lainnya, yakni PKB dan PKS. Pada Pemilu 2019, suara PKB 9,69% dan PKS 8,21%. Sekarang pada Pemilu 2024, suara PKB naik 0,92% menjadi 10,61%. Suara PKS naik 0,21% menjadi 8,42%.
Jadi, apa yang akan terjadi di MK hanyalah deklarasi kekalahan Anies dan Cak Imin sekaligus melegitimasi kecurangan Pemilu 2024. Jika PDIP menempuh upaya yang sama ke MK, maka itu sama saja deklarasi kekalahan Ganjar Mahfud dan sekaligus melegitimasi kecurangan Pemilu 2024.
Setelah itu, tidak ada lagi Pemilu curang karena sudah dibuktikan di MK dan Prabowo Gibran tetap menjadi pemenangnya. Proses ke MK hanyalah deklarasi kekalahan dan upaya melegitimasi kecurangan. Persis, seperti yang berulangkali penulis ungkap dalam sejumlah artikel.
Ini seperti Dejavu politik, repetisi politik seperti yang terjadi di Pemilu 2019. Saat itu, Prabowo menyebut Pilpres curang, dia gugat ke MK dan kalah. Akhirnya, Pilpres menjadi legitimate. Prabowo, tidak bisa lagi menuduh Pilpres curang, karena sudah dibuktikan di MK tidak ada kecurangan. Kalau tidaj curang, Prabowo tidak kalah.
Hanya tinggal satu, apakah umat setelah kalah akan kembali dikhianati seperti pada Pilpres 2019? Saat itu setelah kalah di MK, Prabowo justru merapat ke kubu pemenang. Hidangan nasi goreng telah mengubah karakter macan Asia menjadi kucing Persia.
Apakah pengkhianatan itu akan terjadi juga di Pemilu 2024 ini? Sederhana saja, para politisi dan partai itu pragmatis. Mereka tidak segan meninggalkan rakyat demi tujuan kekuasaan, sebagaimana Prabowo dulu pernah melakukan itu pada tahun 2019.
Bedanya, dulu Prabowo yang menjadi korban kecurangan, tahun 2024 ini, Prabowo yang diuntungkan oleh adanya kecurangan. NasDem saja sudah kebelet merapat, dengan datangnya Surya Paloh ke istana.
Hari ini, kubu 01 hanya NasDem yang secara mandiri (tanpa PKS dan PKB) langsung menyatakan menerima hasil Pemilu dan memberikan ucapan selamat kepada Prabowo Gibran. Padahal, pada saat yang sama, Anies dan Cak Imin mendeklarasikan banyaknya proses yang bermasalah dalam Pemilu, sebagai tanggapan atas pengumuman KPU.
NasDem telah mengambil manuver untuk kepentingan Parpolnya sendiri, dengan meninggalkan Anies, PKS, dan PKB. PKB sendiri tidak lama lagi juga akan mengambil langkah serupa. Dua menteri PKB sudah sowan ke Jokowi. Jokowi sudah titip salam kepada Cak Imin.
Itu artinya, manuver PKB tidak akan jauh beda dengan NasDem. Memang inilah problem berjuang via demokrasi. Umat tidak memiliki kendali dalam menentukan keputusan politik dalam perjuangan. Umat hanya dimanfaatkan suaranya di TPS dan aksi demonstrasi.
Sementara keputusan politik, apakah akan menerima hasil Pemilu atau tidak, akan ajukan hak angket atau tidak, akan membawa perkara ke MK atau tidak, itu semua ada pada otoritas parpol dan elit politik. Pertimbangannya juga kepentingan politik, bukan menjalankan aspirasi umat.
Umat tidak pernah diajak berunding oleh parpol untuk menetapkan pilihan politik, apakah akan menerima hasil Pemilu atau tidak, akan ajukan hak angket atau tidak, akan membawa perkara ke MK atau tidak. Dalam urusan strategis ini, umat ditinggalkan.
Umat hanya disuruh demo dan suaranya dimasukan ke TPS. Parpol dan elit, hanya memanfaatkan dukungan umat untuk tujuan kekuasaan mereka. Kalau mendengar aspirasi umat, tentunya saat ini parpol tidak akan menerima hasil Pemilu, bahkan segera melakukan konsolidasi untuk menggulirkan hak angket.
Bukan malah mendelegitimasi wacana angket dan segera menyatakan menerima hasil Pemilu, seperti yang dilakukan NasDem. Sudah saatnya umat memikirkan jalan perubahan yang terlepas dari kendali parpol dan elit, lepas dari belenggu oligarki. Sudah saatnya, umat meneladani Rasulullah saw. dalam memperjuangkan Islam hingga sampai ke tampuk kekuasaan.
Allahu Akbar
*) Sastrawan Politik
sumber: Saling berbagi info (postKamis21/3/2024/rmuhammadadisurya)