Kabar duka datang dari sastrawan, budayawan, dan wartawan senior Arswendo Atmowiloto yang dikabarkan meninggal dunia pada Jumat sore (19/7/2019), pukul 17.50, di kediamannya di Komplek Kompas, Petukangan, Jakarta Barat.
Kabar mengenai meninggalnya Arswendo Atmowiloto telah di konfirmasi kebenarannya oleh sahabat dekatnya, Erros Djarot. “Iya betul,” kata Erros Djarot saat dikonfirmasi wartawan, Jumat petang (19/7/2019).
Adapun penyebab meninggalnya Arswendo Atmowiloto karena penyakit kanker prostat. Sebelum wafat, Arswendo juga sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Pertamina Pusat, Jakarta.
Arswendo yang punya nama lengkap Paulus Arswendo Atmowiloto lahir di Solo, pada tanggal 26 November 1948. Semasa hidup ia dikenal sebagai sastrawan dan wartawan di berbagai majalah dan koran. Nama Arswendo semakin dikenal luas setelah mendirikan PH dan memproduksi sinetron populer “Keluarga Cemara” hingga “Satu Kakak Tujuh Keponakan”.
Dalam whatsapp (WA) Grup Pengurus PWI Jaya menyebut, saat ini jenazah almarhum Paulus Arswendo Atmowiloto masih disemayamkan di Rumah Duka, Komplek Kompas B-2, Jalan Damai, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan.
Misa Requiem sekaligus pelepasan jenazah akan dilaksanakan di Gereja St. Matius Penginjil, Paroki Bintaro, Pondok Aren, hari Sabtu, 20 Juli 2019, pukul 10.00. Selesai misa, jenazah akan dibawa ke tempat peristirahatan terakhir di Sandiego Hill, Karawang.
Hal itu dibenarkan Tiara melalui acara Apa Kabar Indonesia Malam TV1 saat presenter Caca Anisa wawancara dari sambungan telepon keluarga almarhum itu. Selain membenarkan Arswendo terserang kanker prostat, saat ini disemayamkan di rumah duka dan besok akan dilakukan misa pelepasan jenazah sebelum dibawa ke tempat peristirahatan terakhir di Karawang.
“Kondisi terus menurun sampai akhirnya hari ini, Tuhan sudah berkenan memanggil Bapak untuk masuk ke dalam kerajaan surga bersama Tuhan,” ungkap Tiara di sambungan telepon.
Kemudian Caca menanyakan soal waktu Tiara terakhir bisa berkomunikasi dengan dan atau bertemu almarhum kapan, Tiara menjawab, setiap hari pasti bertemu dan berkomunikasi. Tapi belakangan karena kesadarannya sudah tidak terlalu baik, jadi saya hanya bicara dari hati ke hati lewat tatapan mata, lewat sentuhan,” tutupnya.
Wendo, begitu sapaan akrab almarhum dikenal juga sebagai pengajar senior di London School Publict Relation (LSPR), penulis naskah drama/teater dan aktor panggung. Banyak naskah panggungnya selain scenario film dan sinetron. Wendo juga tercatat sebagai banyak pendiri tabloid.
Namun Tabloid Monitor barangkali yang tak bakal dilupakan sampai akhir hayatnya. Karena dari tabloid itu, Wendo sempat dipenjara selama 5 tahun. Melansir situs sangpencerah.id, November 7, 2016, menyebutkan, apa betul Arswendo lebih populer daripada nabi? Betul. Setidaknya itu menurut hasil polling bertajuk “Kagum 5 Juta” di tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990.
Menurut hasil jajak pendapat itu, yang paling dikagumi pembaca Monitor adalah Soeharto di urutan teratas, disusul BJ Habibie, Soekarno, dan musisi Iwan Fals di tempat ke-4. Arswendo di peringkat 10, sedangkan Nabi Muhammad SAW berada satu tingkat di bawahnya, nomor 11.
Semesta Islam di Indonesia bergolak. Arswendo dituding melecehkan Islam. Pada 17 Oktober 1990, massa datang sporadis, meneriakkan hujatan kepada Arswendo. Para pendemo membakar habis patung Arswendo yang dibuat dari kertas tabloid Monitor dengan iringan teriakan “Allahu Akbar”.
Pada 22 Oktober 1990, massa mengepung kantor Monitor. Mereka melempari kantor, menerobos ruang redaksi, mengaduk-aduk arsip, menghantam komputer, serta menjungkir-balikkan kursi dan meja.
Organisasi-organisasi berbasis angkatan muda Islam, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam dan Pemuda Muhamadiyah, naik darah. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Hasan Basri, menyerukan kecaman.
“Angket yang dimuat Monitor telah menjurus ke hal SARA. Keyakinan adalah hal yang sangat hakiki, tidak boleh dibuat suatu gurauan!” tandasnya. Kyai sejuta umat, Zainuddin MZ, tak tinggal diam, “Adanya kasus Monitor tampaknya mengganggu kerukunan beragama yang selama ini terbina.”
Kalangan Islam moderat ikut menyalahkan Arswendo, termasuk Jalaludin Rakhmat yang sering terlibat di pelbagai aksi. Tokoh Muhammadiyah, Amien Rais, menuding apa yang dilakukan Monitor merupakan pukulan telak yang sangat menghina umat Islam.
Nurcholis Madjid juga gusar, “Saya merasa disepelekan betul!” Arswendo dianggap merusak usahanya membangun toleransi beragama. Cak Nur bukan saja menyarankan Monitor dibredel, tapi juga meminta pemerintah untuk tidak menutup-nutupi jika ada mekanisme di belakang kasus tersebut.
Sebelum lebih runyam, Arswendo minta bantuan Emha Ainun Nadjib. Cak Nun angkat tangan dengan alasan massa bukan hanya dari basisnya di Jawa Timur, tapi juga dari tempat-tempat lain.
Arswendo kelabakan, berlindung ke Kepolisian, dan memohon maaf secara terbuka, “Saya minta maaf. Sedikit pun saya tidak bermaksud menyengsarakan saudara-saudara semua.” Ia juga menyatakan penyesalannya, “Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya sudah tahu. Nyatanya saya bego. Sangat bego. Jahilun.” Penyesalan tidaklah cukup. Arswendo dibui 5 tahun. Monitor pun dilarang terbit. Pada 23 Oktober 1990, SIUPP nomor 194/1984 dicabut oleh Menteri Penerangan . (ant/net/ers)