Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menyampaikan kritik atas pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menyebut bahwa kondisi Jakarta saat ini amburadul sejak masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan.
semarak.co-Fadli Zon menilai bahwa Jakarta sebenarnya tidak Amburadul, justru saat ini yang amburadul adalah negara Indonesia, terutama terkait masalah resesi ekonomi. Untuk itu, ia meminta agar berbagai pihak yang menilai DKI Jakarta amburadul dapat melihat lebih objektif.
“Perlu obyektif dan jujur, yang amburadul itu Indonesia. Terutama pengelolaan ekonomi dari utang hingga resesi, penanganan kesehatan dan pandemi dan seterusnya,” tulis Fadli Zon dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari akun Twitter pribadinya @fadlizon Kamis (/11/12/2020).
Selain itu, lanjut Fadli, menyebut Jakarta sebagai kota amburadul sungguh sangat tidak tepat karena justru DKI Jakarta hingga kini mengalami banyak kemajuan bahkan mencatat berbagai prestasi baik secara nasional maupun internasional. “Kalau soal Jakarta, lumayan banyak kemajuan apalagi diganjar banyak penghargaan,” imbuhnya.
Dalam cuitan lainnya, Fadli Zon juga memberikan komentar terhadap cuitan Tengku Zulkarnain @ustadtengkuzul yang menyinggung soal gambaran kondisi Jakarta di era 1950 menurut Arteria Dahlan lebih baik dari kondisi Jakarta saat ini.
“Tahun 1950an kalau lihat gambar, majalah dan cerita, ya masih berantakan. Jalanan becek, toilet langsung ke sungai, got banyak kotoran manusia. Bioskop kumuh harus bawa koran untuk duduk klu nonton. Jakarta yang bagus mungkin mereka yg tinggal di Istana,” terangnya.
Diketahui sebelumnya, Megawati mengungkapkan bahwa Jakarta seharusnya menjadi Kota Mahasiswa atau City of Intellectual seperti dirumuskan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Namun, hanya Semarang, Solo dan Surabaya yang menjadi city of intellectual versi UNJ.
Ia pun menyebut bahwa hal tersebut diakibatkan kondisi Jakarta saat ini yang sangat amburadul. Megawati membahas hal tersebut saat berbicara dalam acara Dialog Kebangsaan: Pembudayaan Pancasila dan Peneguhan Kebangsaan Indonesia di Era Milenial yang disiarkan secara daring, Selasa (10/11/2020).
“Persoalannya, sekarang saya bilang Jakarta ini menjadi amburadul, karena apa, ini tadi seharusnya city of intellect ini dapat dilakukan tata kotanya, masterplan-nya, dan lain sebagainya. Siapakah yang buat hal ini, tentunya para akademisi, insinyur, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya,” tambahnya.
Direktur Indonesia Future Studies (INFUS) Gde Siriana Yusuf menilai pernyataan Megawati itu tidak berdasar. Sebab menurutnya, alasan yang digunakan Megawati menilai Jakarta Amburadul hanya berdasarkan hasil riset yang dipimpin Ketua Senat dan Guru Besar UNJ Hafid Abbas.
“Padahal definisi kota intelektual bisa macam-macam. Dunia internasional banyak yang mendefinisikan, setelah melakukan penilaian atas kota-kota intelektual di dunia,” ujar Gde Sirianan Yusuf saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (13/11/2020).
Beberapa definisi dari kota intelektual yang ada pada sejumlah negara di dunia disebutkan Gde Siriana. Misalnya, ada yang mendefinisikan kota dengan banyaknya intelektual, kota literasi dan narasi besar.
“Atau kota yang memiliki banyak public intellectual artinya masyarakat intelektual yang berpartisipasi aktif dalam pembuatan kebijakan publik,” sambungnya.
Aktivis Bandung Intiative ini memberikan contoh kota intelektual yang ada di didunia. Salah satunya Kota Edinburgh, Skotlandia yang sejak abad 18 hingga 19 terkenal sebagai kota intelektual kelas dunia karena banyak tokoh intelektual dunia lahir atau berkarya di kota itu.
Mereka menghasilkan ide-ide baru di bidang ekonomi, geologi, kimia, dan filosofi yang memulai revolusi industri, dan mengubah cara kita memandang dunia. “Mereka antara lain Adam Smith, David Hume, James Hutton, William dan John Hunter,” bebernya.
Contoh kota intelektual lainnya yang disebutkan Gde Siriana adalah kota Makkah dan Madinah. Dia mengutip hasil disertasi Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra untuk Columbia University tahun 1992.
“Azyumardi Azra menyebutkan, Makkah dan Madinah (Haramain) memainkan peran penting sebagai pusat persebaran gagasan reformasi Islam sejak abad ke-17. Banyak ulama, sufi, pemikir, filsuf, dan sejarawan yang saling bertukar informasi dan ilmu di sana, termasuk benih-benih pemikiran anti-kolonialisme,” kutipnya.
Tapi jika melihat definisi kota intelektual yang dipaparkan UNJ, yaitu kota mahasiswa yang tolak ukurnya adalah murahnya makanan dan biaya hidup di kota dan rendah kriminalitas, menurut Gde Siriana adalah suatu yang berbeda dengan definisi kota intelektual pada umumnya di dunia.
“Jangankan Jakarta, barangkali kota Edinburgh, Makkah atau Madinah pun tidak akan masuk sebagai kota intelektual, jika tolak ukurnya biaya hidup di kota-kota tersebut relatif mahal,” ungkapnya.
Oleh karena itu, pernyataan Megawati yang menyebut DKI Jakarta amburadul dan justru memberikan penghargaan City of Intellectual kepada Kota Semarang, Solo dan Surabaya, tidak memiliki dasar pemikiran yang tepat. Justru lebih bersifat politis.
“Ketum PDIP Megawati membandingkan kota Jakarta dengan kota Semarang dalam kriteria kota intelektual yang dibuat tim UNJ, saya pikir intelektualitas para intelektual yang hidup di Jakarta tidak bisa dilihat dari kriteria tim UNJ tersebut,” tuturnya.
Sehingga, kualitas award kota intelektual menjadi bias atau bahkan absurd ketika kita gagal dalam mendefinisikan makna intelektual itu sendiri dan karena itu juga salah dalam menetapkan kriteria-kriterianya,” demikian Gde Siriana Yusuf. (net/smr)
sumber: rmol.id (Jumat 13/11/2020) di WA Group Keluarga Alumni HMI MPO/pikiranrakyat-tasikmalaya.com