Penduduk Banyak tanpa Menteri, Perlukah BKKBN Jadi Kementerian?

Ilustrasi jumlah penduduk yang cukup besar di Indonesia. Foto: tribunnews.com di WAGroup BKKBN

Oleh Dr. H. Mustakim, M.Si *)

semarak.co-Ada sindiran yang cukup menukik saat penulis mengikuti Konferensi Kependudukan Tingkat Nasional di Gedung Nusantara V DPR RI pada tahun 2013 silam. Sindiran itu awalnya datang dari utusan Aceh yang kemudian diapresiasi dan disupport oleh seluruh utusan provinsi yang hadir.

Bacaan Lainnya

Sindiran itu menyatakan, “di negeri ini sangat aneh, ikan-ikan di laut punya seorang menteri, sementara penduduk negeri ini yang jumlahnya ratusan juta, dan terbanyak ke-4 di dunia (setelah China, India, dan AS) kok tidak punya menteri?”

Sindiran tersebut beralasan, mengingat sudah cukup lama Kementerian Kependudukan di Indonesia dihilangkan. Di zaman orde baru (orba) pernah ada, tetapi itupun tidak stabil karena selalu timbul tenggelam. Kadang ada, kadang hilang lagi.

Sebenarnya pasca konferensi kependudukan tingkat nasional di gedung DPR tahun 2013 tersebut, penduduk Indonesia nyaris punya harapan baru. Konferensi tersebut menghasilkan salahsatu kesepakatan bahwa siapapun presidennya nanti di 2014 diharapkan bisa menghadirkan kembali Kementerian Kependudukan.

Jika tidak mampu menyatukan tiga urusan pokok kependudukan (fertilitas, mortalitas dan mobilitas) yang sudah terlanjur terpisah kepengurusannya pada lembaga yang berbeda, setidaknya keberadaan institusi yang berkecimpung dalam urusan pengendalian penduduk dan keluarga berencana, dalam hal ini Badan Kependudukan dan Keluarga berencana Nasional (BKKBN), ditingkatkan statusnya menjadi kementerian tersendiri.

Namun, meskipun dalam debat calon presiden (capres) 2014, baik Jokowi maupun Prabowo, menyebut bahwa urusan penduduk adalah hal utama dan penting. Bahkan secara khusus Pak Jokowi bilang “BKKBN keberadaannya harus diperkuat”.

Toh, setelah Presiden Jokowi dilantik, dan pada saat susunan kabinet dan nama-nama menterinya di tahun 2014 diumumkan, nama “kementerian atau menteri kependudukan” tetap saja terlewatkan alias nihil.

Begitupun pada kepemimpinan Presiden Jokowi di periode ke-2 tahun 2019 lalu, urusan kependudukan dan terkhusus BKKBN masih tetap seperti dulu, dikelola secara status quo dengan sebuah badan atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).

Benar, urusan kependudukan, ada ataupun tidak ada menteri kependudukannya, tetap saja bisa berjalan. Dirjen Dukcapil tetap menjalankan urusan-urusan kependudukan yang berkaitan dengan administrasi kependudukan dan catatan sipil.

Dan BKKBN juga tetap jalan dengan urusan Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) atau saat ini istilah KKBPK diganti dengan nama “Bangga Kencana”

Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana

Setidaknya ada dua hal yang perlu mendapat perhatian serius dengan keberadaan urusan kependudukan yang dijalankan saat ini tanpa dipimpin seorang menteri. Pertama, kekuatan suatu institusi dalam bentuk direktorat jenderal (ditjen) dan/atau suatu badan tentu saja sangat berbeda  dengan suatu kementerian.

Perbedaannya antara lain; kementerian dipimpin oleh seorang menteri yang merupakan anggota kabinet dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.  Sementara ditjen bertanggung jawab kepada menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), yang salahsatunya adalah BKKBN bertanggung jawab kepada presiden melalui kementerian tertentu.

Dasar hukum kementerian adalah UUD 1945. Sedangkan dasar hukum LPNK hanyalah Undang-Undang. Kondisi tersebut tentu saja menunjukkan posisi kementerian lebih kuat daripada non kementerian. Seorang menteri bisa langsung “bicara” dengan presiden untuk membahas program-programnya.

Hal ini sangat membantu dalam mempercepat proses pengambilan kebijakan seorang menteri. Tapi seorang Kepala LPNK untuk “bicara” sampai kepada presiden harus melalui dulu seorang menteri. Ini jelas memperlambat proses pengambilan kebijakan karena harus menunggu sang menteri “perantara”-nya bicara dulu dengan presiden.

Penulis berfikir, bagaimana kalau “menteri perantara”-nya sibuk (karena lebih mengutamakan urusan “penting” lainnya). Atau kurang respek dengan program yang disampaikan oleh Kepala LPNK. Atau bisa saja sang “menteri perantara” malah kurang setuju dengan apa yang disampaikan oleh Kepala LPNK?

Kalaupun Kepala LPNK berhasil bicara” dengan “menteri penyalur”-nya, tentu masih harus menunggu sang menteri menghadap dulu ke presiden? Jadi, sungguh birokrasinya memakan waktu sangat lama. Padahal seringkali program-program LPNK pun butuh waktu cepat dalam pengambilan keputusan untuk merealisasikan program-programnya.

Kedua, Beban berat. Urusan program “Bangga Kencana” atau kalau versi UU No. 52 tahun 2009 dikenal dengan istilah KKBPK (Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga), yang mengerjakan tiga hal sekaligus bukanlah pekerjaan ringan. Dari tiga item yang selama ini digarap BKKBN sesungguhnya memiliki beban kerja yang (setiap itemnya) sangat berat.

Item Pembangunan Keluarga, secara ideal memiliki tugas meningkatkan kualitas keluarga di seluruh Indonesia. Bayangkan, berapa banyak jumlah keluarga di Indonesia, sebanyak itu pula garapan “pembangunan keluarga” yang selama ini digarap BKKBN.

Urusan keluarga tentu bukan urusan yang ringan. Jangankan orang lain/lembaga tertentu yang mengurus keluarga, wong satu keluarga saja kadang kepala keluarga dan beberapa anggota keluarganya tidak mampu mempertahankan keluarganya. Sehingga muncul perceraian, ‘broken home’, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perselingkuhan, dll?

Belum lagi BKKBN juga menggarap urusan pengendalian (jumlah) penduduk. Urusan ini juga bukan perkara ringan. Urusan pengendalian penduduk bukan hanya urusan nasional atau lokal daerah tertentu tetapi menyangkut hajat banyak umat manusia se-dunia.

Itulah sebabnya masalah pengendalian penduduk juga menjadi agenda penting organisasi-organisasi level dunia semacam United Nation Population Fund (UNFPA). Apalagi saat ini, di mana angka TFR Nasional sudah 2,18 (BPS) atau 2,14 (BKKBN), pekerjaan “baru” BKKBN yang berkaitan dengan kependudukan adalah menjaga stabilitas angka 2,1 tersebut agar jangan sampai naik dan jangan juga turun.

Jika TFR naik, Indonesia akan kembali pada masa lalu yang kewalahan mengurus penduduk karena adanya ‘baby boom’. Sedangkan jika TFR turun atau merosot tentu dikhawatirkan terjadi depopulasi yang saat ini sudah mengancam beberapa Negara Asia.

Urusan Keluarga Berencana (KB) yang juga digarap BKKBN selama ini, juga bukan hanya sekadar sebagai “alat” pengendalian penduduk bagaimana agar jumlah penduduk bisa terkendali dengan ikut KB, Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) bisa seimbang dengan laju pertumbuhan ekonomi, Total Fertility Rate (TFR) dapat ditekan hingga angka 2,1 (sesuai cita-cita BKKBN).

Tetapi urusan pemenuhan kebutuhan cara/alat/obat kontrasepsi secara teknis pun merupakan urusan yang njlimet. Vasektomi, tubektomi, implan (susuk KB), suntik KB, pil KB, kondom, masing-masing punya persoalan sendiri.

Mulai dari penyediaannya untuk seluruh Pasangan Usia Subur (PUS) se-Indonesia, proses-tenaga-tempat pelayanan pun sampai saat ini belum seluruhnya memadai. Belum lagi urusan kasus-kasus efek samping akibat penggunaan kontrasepsi. Belum lagi kaitannya dengan kesehatan reproduksi, dan bermacam-macam problematika lainnya yang tak terduga.

  • Stunting

Belakangan, selain tugas pokok yang sudah diemban puluhan tahun, BKKBN juga menerima amanah untuk menurunkan angka stunting. Persoalan stunting sempat membuat malu Indonesia karena dicap sebagai salahsatu negera dengan status gizi buruk karena angka stunting nasional berada di atas 20%.

Penanganan stunting pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh keseriusan, butuh kerja sama, butuh anggaran besar, butuh tenaga terlatih, butuh satgas khusus, butuh keluwesan, butuh Tim Pendamping Keluarga (TPK) di tiap desa/kelurahan selain Penyuluh KB dan Institusi Masayarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) yang selama ini sudah dimiliki BKKBN.

Kembali ke “ikan-ikan di laut” yang punya menteri (Menteri Perikanan dan Kelautan).  Dalam UU 52 tahun 2009 jelas-jelas menyebutkan bahwa BKKBN menggarap urusan “Pembangunan Keluarga”. Mengutip Pendataan Keluarga (PK) 21 Tahun 2022, diketahui terdapat sedikitnya 77,7 juta keluarga di Indonesia, dengan populasi sebanyak 277 juta jiwa lebih.

Tentu suatu jumlah yang sungguh luar biasa, yang harus ditangani dan dikendalikan secara cermat, tepat, solutif dan ‘full power’. Kalau boleh penulis simpulkan, selama ini BKKBN merupakan  lembaga ‘kecil’ tapi bebannya sangat berat. Bahkan tidak berlebihan jika penulis katakan lebih berat dari lembaga selevel kementerian sekalipun.

Maka, solusi yang tepat adalah sudah saatnya pemerintah dan DPR mempertimbangkan untuk melakukan perubahan dengan memberikan kekuatan penuh terhadap lembaga ini. Selain beban kerja yang berat, BKKBN juga merupakan badan yang usianya sudah cukup tua (lahir sejak 1970-an) dan telah menorehkan keberhasilan yang sangat besar untuk bangsa ini.

Betapa tidak, lembaga ini di antaranya telah berhasil menurunkan angka TFR dari 5,6 (tahun 1970-an) menjadi 2,18 atau 2,14 saat ini. Belum lagi keberhasilan lain yang ditorehkan. Dan melihat beban kerja yang semakin kompleks, dan meluas, tentunya layak dan sangat lumrah jika lembaga ini diperkuat dan diberi tambahan ‘power’ agar bisa ikut ‘gaspoll’ menuju Indonesia Emas 2024.

Mungkin saja, harapannya, bisa menjadi “Kementerian Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana” agar selaras dengan institusi pengelola program ini yang sudah terbentuk di banyak kabupaten/kota di Indonesia.

Tugas dan fungsinya selaras dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dengan nama/nomenklatur “Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana”. Atau… “Kementerian Kependudukan dan Keluarga Nasional” mengingat garapan utama (core bisnis) BKKBN selama ini adalah kependudukan (pengendalian penduduk) dan keluarga secara umum.

*) Penulis adalah Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya Sulawesi Tenggara

 

sumber: WAGroup Jurnalis BKKBN (postSelasa6/8/2024/sancoyo)

Pos terkait