Copas Buletin Kaffah, No. 344 (15 Dzulqa’dah 1445 H/24 Mei 2024 M)
semarak.co-Sejumlah kampus negeri menaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) hingga berlipat-lipat. Bahkan ada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memberlakukan uang pangkal untuk masuk perkuliahan. Keputusan ini bisa memupus impian banyak anak muda yang semula ingin kuliah di PTN.
Kampus negeri yang dulu dikenal lebih terjangkau dibanding kampus swasta, kini biayanya malah makin melambung. Sejumlah mahasiswa kampus negeri juga terancam tidak bisa melanjutkan perkuliahan karena merasa tidak mampu mengikuti kenaikan uang kuliah.
Menghadapi kritikan dari berbagai pihak, juga demo dari mahasiswa, Pemerintah melalui Kemendikbudristek memberikan tanggapan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA.
Liberalisasi Dunia Pendidikan
Kenaikan biaya UKT adalah salah satu dampak liberalisasi perguruan tinggi negeri di tanah air, terutama sejak tahun 2000, melalui UU Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN-BHMN). Dengan pemberlakuan UU PTN-BHMN, negara bukan menambah, tetapi justru memangkas anggaran biaya pendidikan tinggi.
Lalu untuk menutupi kekurangannya, PTN dan kampus diberi otonomi seluas-luasnya untuk mencari sumber dana sendiri. Jalan pintas pun ditempuh, di antaranya melalui regulasi penerimaan mahasiswa baru dengan menerapkan biaya tinggi, termasuk membuka jalur mandiri bagi calon mahasiswa yang mampu membayar mahal.
Pemerintah makin lepas tangan dalam membiayai pendidikan warganya. Ini terlihat dari kecilnya anggaran pendidikan yang hanya 20 persen dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan. Salah satunya adalah Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Jauh dari cukup untuk membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia.
Inilah kebijakan zalim yang merampas hak banyak rakyat Indonesia untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri. Kebijakan ini juga akan mengancam kualitas SDM rakyat dan sulit bersaing di dunia internasional. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2021, hanya ada 8,31 % penduduk Indonesia dengan pendidikan di level S1 hingga S3.
Menurut Presiden Jokowi, di Vietnam dan Malaysia rasio lulusan S2 dan S3 terhadap penduduk produktifnya lima kali lipat dari Indonesia. Di Tanah Air, berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk bekerja didominasi oleh lulusan SD ke bawah. Jumlahnya mencapai 51,49 juta orang atau menyumbang 36,82% dari total penduduk bekerja di Tanah Air. Cita-cita menuju Indonesia emas sepertinya jadi bikin cemas.
Kewajiban dan Kebutuhan
Islam adalah satu-satunya sistem kehidupan yang begitu kuat mendorong umatnya untuk meraih ilmu. Frasa ulul albab, yakni orang-orang yang mengerahkan akalnya untuk berpikir cemerlang sehingga tertuntun pada keimanan, diulang sampai 16 kali di dalam Kitabullah. Allah SWT juga memuji orang-orang berilmu melalui firman-Nya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahatahu atas apa yang kalian kerjakan (TQS al-Mujadilah [58]: 11).
Kewajiban meraih ilmu di antaranya ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Meraih ilmu itu wajib atas setiap Muslim (HR Ibnu Majah).
Dengan begitu pendidikan dalam Islam bukan pilihan apalagi kebutuhan tersier, tapi pokok bahkan fardhu. Islam menetapkan dua tujuan pendidikan;
Pertama, mendidik setiap Muslim supaya menguasai ilmu-ilmu agama yang memang wajib untuk dirinya (fardhu ’ain), seperti ilmu akidah, fikih ibadah, dsb.
Kedua, mencetak pakar dalam bidang tsaqâfah/ilmu-ilmu agama yang dibutuhkan umat, seperti ahli fikih, ahli tafsir, ahli hadis, dsb. Dalam hal ini hukumnya fardhu kifayah. Jika jumlah ulama dalam bidang ini telah mencukupi kebutuhan umat secara keseluruhan, maka gugurlah kewajiban tersebut. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi kaum Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali, supaya mereka itu dapat menjaga diri mereka (TQS at-Taubah [9]: 122).
Termasuk dalam fardhu kifayah ini adalah mencetak pakar sains dan teknologi yang dibutuhkan umat. Para ulama bersepakat akan hukum ini. Di antaranya dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn. Keberadaan ahli di bidang kedokteran, farmasi, kimia, nuklir, dsb. vital bagi umat.
Jika jumlahnya belum mencukupi, maka berdosalah kaum muslimin secara keseluruhan. Dalil bahwa kaum Muslim membutuhkan pakar di bidang sains dan teknologi adalah kebijakan Nabi saw. yang pernah mengutus Urwah bin Mas’ud dan Ghilan bin Salamah ra. untuk mempelajari cara membuat dababah (sejenis alat perang zaman dulu) dan manjanik (pelontar batu besar).
Dengan demikian pendidikan dalam Islam merupakan kewajiban sekaligus kebutuhan bagi umat. Pendidikan telah diwajibkan oleh syariah juga kebutuhan vital untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan kaum Muslim, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Karena itu pendidikan dalam Islam bukanlah kebutuhan tersier atau kepentingan orang-orang kaya saja.
Pembiayaan Pendidikan
Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai salah satu sumber utama pembiayaan pendidikan. Di sejumlah negara kapitalis, pendidikan bisa gratis hingga perguruan tinggi karena Pemerintah memungut pajak yang tinggi dari rakyat. Namun, ada juga yang tidak sepenuhnya gratis sehingga rakyat harus membayar mahal untuk bisa masuk perguruan tinggi.
Bahkan di Amerika Serikat banyak mahasiswa terjerat utang karena pinjaman dari bank (student loan) untuk biaya kuliah. Majalah ekonomi Forbes, pada tahun 2019, melaporkan ada 44 juta mahasiswa perguruan tinggi terjerat utang dengan total nilainya 1,5 triliun dolar. Di dalam Islam, negara tidak boleh membebani rakyat dengan pajak, termasuk untuk membiayai pendidikan warganya.
Pasalnya, Islam sudah menetapkan sumber pembiayaan pendidikan sesuai dengan hukum syariah. Sumber ini bisa berasal dari sejumlah pihak: Pertama, warga secara mandiri. Artinya, individu rakyat membiayai dirinya untuk bisa mendapatkan pendidikan. Harta yang dikeluarkan untuk meraih ilmu akan menjadi pahala besar. Nabi saw. bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ
Siapa saja yang menempuh jalan untuk meraih ilmu, maka Allah memudahkan bagi dirinya jalan menuju surga (HR Ahmad).
Kedua, infak atau donasi serta wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, baik sarana dan prasarana maupun biaya hidup para guru dan para pelajar. Islam mendorong sesama Muslim untuk menolong mereka yang membutuhkan. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
Siapa saja yang melepaskan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah akan melepaskan dari dirinya satu kesusahan pada Hari Kiamat. Siapa saja yang memudahkan urusan orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat (HR Muslim).
Ketiga, pembiayaan dari negara. Bagian inilah yang terbesar. Syariah Islam mewajibkan negara untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan; pembangunan infrastruktur, menggaji pegawai dan tenaga pengajar, termasuk asrama dan kebutuhan hidup para pelajar. Nabi saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam/Khalifah itu pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim)
Karena itu syariah Islam menetapkan bahwa negara memiliki sejumlah pemasukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum seperti tambang minerba dan migas. Negara dalam Islam juga masih mendapat pemasukan dari kharaj, jizyah, infak dan sedekah, dsb.
Seluruhnya bisa dialokasikan oleh Khalifah untuk kemaslahatan umat, termasuk membiayai pendidikan. Wahai kaum Muslim, sejarah telah memperlihatkan kejayaan pendidikan Islam dari berbagai aspeknya, khususnya sepanjang era Kekhilafahan Islam. Islam bukan saja menghasilkan para ulama dalam ilmu agama, tapi juga para ilmuwan yang karyanya dikagumi dan menginspirasi dunia Barat hingga sekarang.
Dunia Islam pada masa Kekhilafahan Islam juga sarat bukan saja dengan lembaga-lembaga pendidikan, tetapi perpustakaan umum yang penuh dengan karya para ulama dan ilmuwan. Sebagai contoh saja, perpustakaan Darul Hikam di Kairo berisi 2 juta judul buku, sedangkan Perpustakaan Gereja Canterbury (terbilang paling lengkap pada abad ke-14) hanya miliki 1,8 ribu judul buku.
Kejayaan ini terwujud karena umat dan negara setia menjalankan syariah Islam. Termasuk menyelenggarakan pendidikan sebagai pelayanan untuk umat seluas-luasnya hingga jenjang yang tinggi. Khilafah Islam akan menjadikan umat ini sebagai kekuatan adidaya dan tidak bergantung apalagi ditekan oleh negara-negara lain seperti saat ini. Semua hanya bisa terwujud jika umat mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
WalLâhu a’lam.
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ يُبَاهِي بِهِ الْعُلَمَاءَ، أَوْ يُمَارِي بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ يَصْرِفُ أَعْيُنَ النَّاسِ إِلَيْهِ تَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Siapa saja yang meraih ilmu hanya untuk bersaing dengan para ulama, atau untuk berdebat dengan orang bodoh, atau supaya dipandang manusia, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka. (HR al-Hakim).
sumber: WAGroup Himpunan Aktifis Masjid Indonesia (HAMI) (postJumat24/5/2024/amindyusuf)