Oleh Irfan Ismaya
semarak.co-“Mati syahid di bawah reruntuhan tembok Granada lebih mulia daripada hidup di bawah penindasan kaum kafir,” seru Panglima Musa bin Abi Ghassan dari atas kudanya. Pasukannya yang jumlahnya tak seberapa segera menyambutnya dengan pekikan takbir.
Siapa Panglima Musa bin Abi Ghassan? Ia adalah salah satu mujahid yang berusaha mempertahankan benteng terakhir Islam di Andalusia. Memperjuangkan setiap jengkal Tanah airnya, Granada.
Tak kenal lelah ia menyerukan pada kaum muslimin Granada untuk bangkit menghadapi pasukan Isabel dan Ferdinand. Menjaga nyala api jihad di hati pasukannya yang tinggal tersisa segelintir yang masih bersetia dengan perjuangannya.
Secara sporadis mereka melakukan perlawanan. Sesekali menang, tapi lebih sering kalah. Hingga dalam pertempuran terakhir, Musa bin Abi Ghassan dan pasukannya terdesak ke tepi jurang yang di bawahnya lautan.
Tak ada pilihan, dari pada tertawan dan dimurtadkan, lebih mulia mati syahid. Di hari-hari terakhir perjuangannya disebutkan, bukan kekuatan pasukan Isabel dan Ferdinand yang paling berat yang harus dihadapinya.
Tapi lemahnya sikap Sultan Abu Abdillah Muhammad XII atau yang di Barat dikenal dengan nama Sultan Boabdil dari jeratan para pejabat di sekelilingnya, yang menjadi unsur kekalahan terbesar mempertahankan Granada.
Pemimpin yang lemah ini terus menerus dirongrong dengan bujukan halus, tipu muslihat, hingga jebakan para pejabat istana. Mereka dengan segala siasat meyakinkan sultan bahwa menyerahkan Granada adalah langkah terbaik untuk menyelamatkan rakyat yang tersisa.
Mereka meyakinkan telah mendapat jaminan dari Isabel dan Ferdinand kalau Muslimin Granada tetap dapat hidup dan memeluk keyakinannya tanpa diusik. Salah satu negosiator perjanjian itu seorang menteri yang bernama Ibnu Kamasyah. Secara agresif ia terus menekan sultan.
Sejarah mencatat, menteri ini akhirnya murtad demi jabatan yang diiming-imingi akan diberikan oleh Isabel dan Ferdinand. Sultan yang pada dasarnya lemah semakin parah karena jauh dari ulama. Ia tak mendengar seruan para mujahid seperti Panglima Musa bin Abi Ghassan.
Hingga terjadilah tragedi memilukan yang membuatnya dikenang sebagai pecundang. Ia serahkan kunci gerbang kota Granada dengan tangannya sendiri pada Isabel dan Ferdinand.
Kabar itu segera menyebar. Di hari yang sama, Eropa berpesta. Salib besar yang terbuat dari perak segera ditancapkan di atas istana Al Hambra. Sultan dan keluarganya diusir dari istana.
Sampai sekarang lokasi peristiwa tragis itu masih bisa disaksikan. Sebuah bukit yang diberi nama “The Last Moor’s Sigh”. Tempat di mana sultan memandang istana Al Hambra untuk terakhir kalinya dari atas kudanya dengan tetesan air mata.
Hingga ibunya mengeluarkan perkataan yang terkenal, “Jangan kau tangisi seperti perempuan untuk sesuatu yang tidak bisa kau pertahankan seperti laki-laki.”
Innalillahi wa innailaihi rojiun.
Bukan tak mungkin cerita akan berbeda seandainya pemimpin terakhir Granada adalah sultan yang kuat, dikelilingi para ulama yang terus meniupkan ruh jihad. Barangkali tragedi memilukan itu tak perlu kita saksikan.
Hari ini, untuk kesekian kalinya negeri ini menghelat pemilihan para pemimpinnya. Salah pilih akan berakibat fatal dengan hadirnya pemimpin lemah yang mudah terjerat tipu daya pejabat di sekitarnya.
Tragedi Andalusia adalah pelajaran berharga. Pemimpin lemah terbukti membuat porak poranda. Islam tak akan lenyap dari muka bumi. Namun, tak ada jaminan Islam tidak tersingkir dari negeri ini.
sumber: WAGroup PA Al-Wasliyah P.Brayan (terusan yang dipost Irfan Ismaya, Minggu (14/3/2021)