Oleh Jacob Ereste *)
semarak.co-Ada kecerdasan, ada ketulusan dan ada keangkuhan dalam debat Capres Pemilu 2024 yang terakhir pada 4 Februari 2024. Seperti yang disimpulkan oleh Rocky Gerung, kendati kesimpulan dari berbagai pengamat yang lain mungkin saja lebih banyak dan lebih rumit dari yang dapat Anda simpulkan juga.
Intinya dari debat Capres ini, rakyat memang cuma bisa menonton, memberi penilaian untuk kemudian menentukan atau lebih memantapkan pilihan sikapnya yang telah menjadi ketetapan hati terhadap pilihan idealnya sejak jauh hari sebelumnya.
Jadi debat Capres yang terakhir pada rangkaian proses Pemilu 2024 akan menjadi bahan rujukan penentu akhir bagi rakyat untuk menjatuhkan pilihan terbaiknya atas bisikan hati nurani yang paling tulus, ikhlas, dan percaya.
Bahwa Capres yang menjadi pilihan pada Pemilu 2024 mampu untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat yang harus dan wajib pula untuk ditingkatkan daya kecerdasannya oleh pemerintah agar mampu menghadapi beragam tantangan serta hambatan masa depan yang lebih kompleks dan lebih berat.
Karena itu memasuki saat-saat terakhir memilih calon yang diunggulkan di bilik pemungutan suara, harus dipastikan sosok terbaik yang bisa dipercaya akan mengusung amanah rakyat perlu kembali direnungkan agar pilihan yang dapat dipercaya itu tidak menimbulkan penyesalan yang akan menjadi beban batin kita di kemudian hari.
Sebab jangan sampai kelak harus merasa dikejar-kejar oleh dosa yang seharusnya tidak perlu menambah beban hidup kita. Dalam upaya memilih sosok pemimpin bangsa Indonesia untuk masa depan bagi seluruh warga bangsa Indonesia yang lebih baik, yang lebih mampu mensejahterakan dan dapat lebih mengarah pada keberadaban, adalah tanggung jawab segenap anak bangsa.
Kecuali itu juga merupakan cerminan dari keimanan serta kepribadian setiap orang yang kelak akan mempertanggung jawabkan sikap pilihannya pada Tuhan Yang Maha Esa.
Karena itu tidaklah berlebih bila banyak tokoh agama yang meyakinkan bahwa memilih sosok calon Presiden, calon legislatif maupun calon kepala daerah harus dilakukan jujur dan ikhlas dari bisikan hati nurani sendiri.
Karena pilihan sikap itu merupakan bagian dari cermin keimanan serta keyakinan terhadap segala bentuk kebaikan untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok yang tidak mengedepankan amanah atau kepentingan rakyat.
Jadi kampanye hingga acara debat Capres dan Cawapres perlu dicermati guna melakukan penilaian untuk pertimbangan menentukan sikap pilihan terhadap sosok pemimpin yang akan mengurus negara demi dan untuk kepentingan rakyat.
Bukan demi dan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau kelompoknya semata. Dan menjelang pekan terakhir pelaksanaan Pemilu 2024, kiranya perlu sejenak untuk menjernihkan pikiran serta pandangan guna memantapkan pilihan terbaik terhadap sosok ideal — yang paling mumpuni dan pantas — memimpin bangsa Indonesia yang sangat besar, majemuk dan beragam strata sosial maupun kemampuan daya hidupnya dalam takaran yang layak.
Sebab sejatinya, setiap orang tidak ingin berbahagia di tengah kesengsaraan maupun rasa ketertindasan bagi orang lain. Seperti amanah yang dalam o perjanjian konstitusi negara Indonesia, bahwa kemerdekaan itu adalah hak semua bangsa, kesejahteraan harus dapat dinikmati oleh seluruh, seperti usaha mulia untuk terus mencerdaskan kehidupan rakyat.
Itu semua hanya mungkin diperoleh oleh rakyat yang memiliki sosok pemimpin yang berkualitas mulia — cerdas secara dan cerdas secara spiritual, karena etika dan moralitas harus selalu mendampingi segenap sikap serta cara kerja hingga kebijakan pemimpin yang kita idolakan.
Sebab hanya dengan etika dan moral serta akhlak yang mulia, seorang pemimpin bangsa dapat membimbing rakyat menuju kejayaan yang diidamkan oleh rakyat.
Banten, 6 Februari 2024
Wilayah Jelajah Spiritual Yang Tidak Terjangkau Oleh Kecerdasan Akal Intelektual
Mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW ke langit untuk menerima perintah dari Allah SWT menjalankan sholat dari 50 kali sehari. Namun ketika turun ke langit lapisan bawah, Nabi Muhammad SAW dicegat oleh Nabi Musa yang meminta Nabi Muhammad SAW untuk memohon pengurangan waktu sholat, karena dengan jumlah tersebut dianggapnya akan terlalu memberatkan umat Nabi Muhammad SAW kelak.
Yang menarik, Nabi Muhammad SAW tidak saja setuju terhadap usulan Nabi Musa tapi juga mematuhi usulan Nabi Musa untuk kembali menghadap Allah SWT untuk meminta keringanan terhadap banyaknya waktu sholat. Dan keringan jumlah sholat pun dikurangi, menjadi 10 kali saja dalam sehari dan semalam.
Saat turun kembali ke langit dibawahnya, Nabi Musa kembali mencegat Nabi Muhammad SAW untuk menanyakan hasil permohonannya kepada Allah SWT ikhwal jumlah sholat, tapi ternyata jumlah waktu sholat yang diberikan keringanan oleh Allah SWT sebanyak 10 kali dalam sehari semalam itu, masih dianggap berat.
Jumlah 10 kali sholat dalam sehari dan semalam ini pun masih dianggap berat bagi Nabi Musa untuk dilakukan oleh Umat Muhammad. Maka itu, Nabi Musa kembali mengusulkan untuk meminta kembali keringanan, hingga akhirnya dipenuhi sebanyak 5 kali sholat wajib itu dalam sehari semalam bagi umat Islam.
Seperi sholat wajib yang sekarang dilakukan oleh umat Islam. Meskipun dalam realitasnya masih juga banyak umat Islam yang sepenuhnya mampu menunaikan ibadah sholat wajib itu seperti yang telah mendapat keringanan atas usulan Nabi Musa ini.
Jadi peristiwa Isra dan mi’raj yang hanya pada satu malam ini — 27 Rajab 621 Masehi perintah Allah SWT untuk umat Islam menunaikan kewajiban sholat wajib 5 kali sehari semalam. Adapun isra dan mi’raj itu sendiri merupakan dua bentuk perjalanan.
Pertama dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Al Aqsha di Yerusalem pada malam hari bersama Malaikat Jibril dengan menggunakan Buraq. Catatan tersahih dari peristiwa spiritual ini ada dalam Surat Al-Isra ayat 1. Dan mi’raj sendiri adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Yerusalem naik ke langit yang ketujuh, Sidratul Muntaha dan Mustawa.
Lalu Nabi Muhammad SAW menerima perintah Allah SWT itu untuk menunaikan sholat wajib lima waktu seperti yang ditekuni oleh umat Islam di mana pun adanya sekarang. Dalam perjalanan pulang — pada malam hari itu juga — Nabi Muhammad SAW transit dahulu di Baitul Maqdis, baru kemudian melanjutkan perjalanan menuju Mekkah.
Dalam perjalan fisik dan perjalan batin ini sering menjadi mimpi kaum spiritual untuk semakin dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam hitungan para ahli matematika dan mekanika, peristiwa Isra dan Mi’raj itu jika dikalkulasi dengan kecepatan cahaya pun tetap akan memerlukan waktu yang cukup lama.
Setidaknya, dari Mekkah ke Yerusalem saja, jika ditempuh melalui jalan darat — ketika itu — pasti memerlukan waktu yang lama. Apalagi kemudian masih harus dilanjutkan ke langit yang ke tujuh. Sungguh tidak mungkin terjangkau oleh akal, karena memang dimensinya berada pada wilayah spiritual.
Banten, 27 Januari 2024
*) penulis adalah Kolumnis