Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar sudah tepat, karena kebijakan ini sudah diatur dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Namun problemnya sampai saat ini pemerintah belum menerbitkan PP (Peraturan Pemerintah), sehingga UU tersebut belum bisa dilaksanakan
semarak.co -Jika opsi berikutnya adalah darurat sipil, ini dinilai banyak kalangan sangat aneh. Kaidah darurat sipil diatur dalam Perpu 23 Tahun 1959, yang sebenarnya lahir untuk memenuhi ketentuan pasal 12 UUD 1945. Situasi yang dihadapi dalam darurat sipil adalah kondisi keamanan umum, sehingga pendekatannya adalah militeristik.
Yang diatur dalam Perpu itu jika terjadi darurat sipil adalah kewenangan penyadapan, penggeledahan, penyitaan dan tindakan lain yang terkait keamanan. Tentu ini jauh api dari panggang, jika kita menangani virus dengan pendekatan demikian.
Seharusnya, dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar, presiden mengambil opsi karantina wilayah sebagaimana diatur dalam pasal 53 UU Karantina Kesehatan. Ini instrumen yang lebih tepat menghadapi Covid-19, karena menggunakan pendekatan medis.
Jangan sampai Pemerintah terlihat takut dengan konsekuensi karantina wilayah di pasal 55, lantas mencari solusi lain dengan menerapkan darurat sipil. Kewajiban pemerintah untuk menanggung kebutuhan dasar orang diwilayah karantina sebagaimana diatur dalam pasal tersebut adalah konsekuensi logis yang seharusnya diambil pemerintah.
Jika sebelumnya Presiden menyampaikan siap membantu China untuk menghadapi Corona, tentunya akan lebih siap lagi untuk membantu rakyatnya yang sedang terkena wabah Corona.
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan pengamat politik Ubedilah Badrun mempertanyakan langkah Jokowi yang malah menyinggung darurat sipil ketimbang karantina wilayah.
“Kenapa Jokowi tak mau menyebutkan kebijakan karantina wilayah, tetapi memilih pembatasan sosial berskala besar dan pilihan darurat sipil? Tentu ini memunculkan analisis kritis,” kata Ubedilah dalam siaran tertulisnya, Senin (30/3/2020).
Penguasa darurat sipil bisa menyuruh aparat untuk menggeledah tempat sekalipun pihak pemilik tempat tidak bersedia. Penguasa darurat sipil berhak menyita semua barang yang diduga mengganggu keamanan, hingga memeriksa badan dan pakaian tiap orang yang dicurigai. Serta, penguasa darurat sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.
Penguasa darurat sipil berhak mengetahui semua berita dan percakapan telepon, melarang pemakaian kode hingga bahasa selain bahasa Indonesia, membatasi penggunaan alat telekomunikasi, dan menghancurkan alat telekomunikasi.
Pernyataan juru bicara presiden, Fadjroel Rachman, mengenai tahapan baru perang melawan Corona seolah hanya memunculkan dua opsi, yaitu pembatasan sosial berskala besar dan darurat dipil.
Menurut Ubedilah, ada logika dasar kebijakan yang lompat, yaitu dari dasar UU Nomor 6 tahun 2018 lompat ke Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya. “Karantina Wilayah tidak disebutkan sama sekali. Ini mirip memotong tangkai berduri dari pohon bunga mawar pake gergaji besar. Tentu ini keliru,” katanya.
Dengan hanya menyinggung pembatasan sosial berskala besar dan darurat sipil, Ubedilah menilai Presiden Jokowi terkesan lari dari tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara jika kebijakannya karantina wilayah.
Padahal, kata Ubedilah, dalam kondisi wabah yang terus meluas, pasal yang digunakan menurut UU Nomor 6 tahun 2018, setelah kebijakan pembatasan sosial berskala besar adalah karantina wilayah, tidak lompat ke darurat sipil.
Ia menuturkan, karantina wilayah terdapat pada Bab VII bagian ketiga tentang Karantina Wilayah pada Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018.
“Saya heran jika pasal yang disediakan oleh undang-undang ini diabaikan oleh pemerintah. Pengabaian pada perintah undang-undang bisa termasuk pelanggaran konstitusi,” ujarnya.
Selain itu, Ubedilah menilai juga berbahaya jika langsung darurat sipil. Sebab, Perpu Nomor 23 Tahun 1959 yang mencantumkan frasa darurat sipil itu merupakan aturan lama yang sempat akan diubah setelah reformasi 1998. Isinya, Ubedilah menyebutkan, memungkinkan kekuasaan menafsirkan secara subyektif otoriterian dan kebebasan sipil dipastikan akan terganggu dalam skala nasional.
Pasal 17 dalam perpu tersebut menyebutkan hak penguasa darurat sipil yang sangat otoriter, di antaranya kontrol terhadap semua alat komunikasi dan pemberitaan. “Jadi informasi dari Fadjroel Rachman itu keliru, lompat dari pembatasan sosial berskala besar ke darurat sipil. Harusnya karantina wilayah, bukan darurat sipil,” ucapnya
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Hibnu Nugroho meminta pemerintah untuk tidak menerapkan darurat sipil dalam rangka pengendalian penularan Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19.
“Saya kira istilah darurat sipil perlu diluruskan, enggak tepat itu. Kalau darurat sipil itu nanti menyangkut tentang keamanan negara,” kata Hibnu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengan, Selasa (31/3/2020).
Hal itu terkait dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebutkan bahwa penerapan pembatasan sosial berkala besar untuk mengendalikan penularan COVID-19 perlu didampingi dengan kebijakan darurat sipil.
Menurut dia, permasalahan yang terjadi saat ini bukan masalah keamanan negara, melainkan kepatuhan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pencegahan penularan COVID-19. Dengan demikian, penggunaan istilah darurat sipil harus diluruskan.
“Oleh karena itu, saya kira perlu dengan tindakan-tindakan persuasif yang terus dilakukan untuk tertib karena inikan menyangkut kebiasaan. Jika permasalahan tersebut dikaitkan dengan sanksi hukum pidana, bisa tambah berat dan menambah narapidana,” ulasnya.
Sekarang saja yang namanya LP (lembaga pemasyarakatan), nilai dia, sudah overload. “Kalau sanksi hukum untuk mengarahkan ke ketertiban itu berupa denda, tidak masalah. Akan tetapi, kalau pidana kurungan, itu terlalu jauh kalau sampai diterapkan,” katanya.
Menurut Hibnu, saat sekarang yang dibutuhkan adalan tindakan semua pihak untuk saling mengingatkan dan koordinasi dalam rangka pencegahan untuk menjaga ketertiban. “Ini kondisi global, bukan kondisi nasional sehingga perlu sama-sama memerangi COVID-19,” katanya.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah secepatnya menyelesaikan dasar hukum pemberlakukan darurat sipil sebagai pendamping dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar dalam menghadapi penyebaran COVID-19.
“Mendorong Pemerintah secepatnya menyelesaikan dasar hukum pemberlakuan Darurat Sipil, baik itu berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres), agar ada kesamaan tata cara pemberlakuannya di setiap daerah,” kata Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (31/3/2020).
Dia meminta Pemerintah Daerah sebelum memberlakukan Darurat Sipil di tempatnya, harus terlebih dahulu berkoordinasi atau berkonsultasi dengan Pemerintah Pusat mengenai tata laksana Darurat Sipil. Langkah itu menurut dia agar tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan.
Politisi Partai Golkar itu menilai, bagi daerah yang sudah melaksanakan karantina wilayah, tetap memperhatikan arahan Pemerintah Pusat yang sedang menggodok PP tentang Karantina Wilayah. “Hal itu agar Pemda dalam mengambil kebijakan Karantina Wilayah tidak bertentangan dengan kebijakan dari Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Selain itu dia juga mendukung adanya beberapa daerah yang sudah menerapkan karantina wilayah dan pemerintah pusat tidak akan menerapkan kebijakan “lockdown” tetapi berencana menerapkan kebijakan darurat sipil.
Kebijakan tersebut menurut dia, sebagai pemotong mata rantai penyebaran COVID-19 dengan tetap mempertimbangkan kepentingan masyarakat, baik kepentingan logistik dan pangan tetap tersedia agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat yang dapat menyebabkan kepanikan.
“Saya mendorong pemerintah khususnya Kementerian Perdagangan untuk duduk bersama dengan beberapa Asosiasi seperti Asosiasi logistik Indonesia, Asosiasi pengusaha ritel Indonesia, dalam rangka mempersiapkan semua kebutuhan masyarakat termasuk persoalan izin distribusi dan jaminan keamanan distribusi,” katanya.
Bamsoet juga meminta masyarakat untuk dapat secara bersama mendukung pemerintah melawan COVID-19 dengan mendengarkan instruksi yang disampaikan seperti menjaga jarak atau “physical distancing”, tetap berdiam diri di rumah, menggunakan masker, serta menjaga kebersihan diri.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai rencana penerapan darurat sipil untuk menghadapi penyebaran virus corona atau Covid-19 sangat berlebihan. Ia menilai, status darurat sipil tidak diperlukan sama sekali dalam situasi saat ini. “Kita sudah punya UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana, Itu cukup,” kata Bivitri saat dihubungi di Jakarta, Senin, 30 Maret 2020.
Saat ini, kata Bivitri, yang dibutuhkan adalah aksi nyata untuk menjalankan kedua UU tersebut, Kedua UU ini belum diterapkan secara maksimal. Sebab sampai sekarang, belum ada Peraturan Pemerintah (PP) dan penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Meski demikian, Bivitri mengatakan ketentuan darurat sipil yang ada dalam Perpu 23 Tahun 1959 sangat berbeda konteksnya dengan wabah virus corona saat ini. Menurut dia, aturan darurat dikeluarkan tahun 1959 untuk memberantas sejumlah pemberontakan di daerah, di masa itu.
Sehingga, tindakan-tindakan “penguasa darurat sipil” tersebut diarahkan untuk menjaga keamanan. Mulai dari menyadap, membubarkan kerumunan, hingga menghentikan jalur komunikasi. “Kita kan nggak perlu itu, kita mau mengenyahkan virus, bukan pemberontak,” kata dia.
Ketimbang darurat sipil, Bivitri menilai hal yang diperlukan saat ini adalah pembatasan sosial berskala besar dan karantina wilayah. Selain itu, dengan menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan, pendekatan yang digunakan adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, bukan pendekatan keamanan ataupun tindakan represif.
Sebelumnya Presiden Jokowi sudah bersiap menetapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dalam menghadapi penyebaran virus corona. Jokowi pun meminta para menterinya menyusun aturan pelaksanaan kebijakan ini agar bisa diterapkan di daerah.
“Dalam menjalankan kebijakan pembatasan sosial skala besar, agar segera disiapkan aturan pelaksanaan yang lebih jelas. Sebagai panduan bagi provinsi, kabupaten atau kota sehingga mereka bisa kerja,” kata Jokowi saat membuka rapat terbatas membahas laporan Gugus Tugas Penanganan Corona lewat video conference, Senin (30/3/2020).
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan bahwa pembatasan sosial skala besar itu merupakan babak baru dalam perang Indonesia melawan corona. Kebijakan ini juga bersamaan dengan perintah physical distancing yang diminta Jokowi agar dilakukan lebih tegas, disiplin, dan efektif.
Jokowi bahkan mengatakan kebijakan ini perlu didampingi oleh kebijakan darurat sipil. “Tadi sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” kata Jokowi.
Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa penerapan pembatasan sosial berkala besar untuk mengendalikan penularan COVID-19 perlu didampingi dengan kebijakan darurat sipil.
“Saya minta pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi, sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” katanya saat menyampaikan pengantar dalam rapat terbatas mengenai penanggulangan COVID-19 yang diselenggarakan melalui konferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (30/3/2020).
Presiden mengemukakan perlunya penyiapan peraturan yang lebih jelas sebagai panduan bagi pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota guna mendukung penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dalam upaya mengendalikan penularan COVID-19.
Presiden memandang perlu penyiapan peraturan yang lebih jelas sebagai panduan bagi pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota guna mendukung penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dalam upaya mengendalikan penularan COVID-19.
“Saya ingatkan kebijakan kekarantinaan kesehatan, termasuk karantina wilayah, adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah daerah,” kata Presiden.
Langkah Jokowi itu pun terdengar sampai Arab Saudi. Di mana ada Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab langsung angkat bicara. Habib sampai mengeluarkan maklumat yang kemudian beredar secara pesan berantai di media sosial (medsos) whatsapp (WA).
Maklumat itu berbunyi, yaitu #RezimJokovid2019 dengan DARURAT SIPIL tidak lagi menjadikan wabah corona sebagai ancaman, tapi justru menjadikan rakyat sebagai ancaman. Ayo lakukan pembangkangan sosial secara nasional, jangan lagi taati kehendak rezim zalim !!!
Ayo semua Kepala Daerah di zona merah wabah corona, baik Gubernur mau pun Bupati/Walikota hingga Camat & Lurah/Kades bahkan Kadus & RT/RW, segeralah lockdown wilayah masing-masing, untuk keselamatan jiwa rakyat. (net/lin)
sumber: helmiadamchannel.com (tempo.co)/WA Group KAHMI Nasional/