Pemerintah mengambil alih sebagai pengelola Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII) dari Yayasan Harapan Kita milik keluarga Presiden ke-II Soeharto yang sudah 44 tahun mengelola TMII. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) meminta Yayasan Harapan Kita menyerahkan laporan pengelolaan kepada Kementerian Sekretariat Negara.
semarak.co-Kewajiban itu tertera dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan TMII. Dimana Kementerian Sekretariat Negara (kemensetneg) langsung memasang plang di depan pintu masuk TMII dengan tulisan Perpres No 19 Tahun 2021.
Dalam aturan itu, pemerintah mengambil alih pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita yang didirikan mendiang istri Presiden ke-2 RI Soeharto, Tien Soeharto. Perpres itu pada 31 Maret dan berlaku terhitung 1 April 2021. Dengan berlakunya aturan itu, Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1977, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, pihaknya pun memberi waktu masa transisi selama kurang lebih tiga bulan kepada yayasan itu untuk menyerahkan berbagai laporan terkait pengelolaan TMII selama ini.
“Yayasan Harapan Kita sudah hampir 44 tahun mengelola milik negara ini dan kami berkewajiban melakukan penataan, memberi manfaat luas ke masyarakat dan memberi kontribusi terhadap keuangan negara,” kata Praktikno Rabu (7/4/2021) seperti dilansir barisan.co.
Intinya, lanjut Praktikno, penguasaan dan pengelolaan TMII dilakukan Kemensesneg dan berarti berhenti pula pengelolaan yang selama ini dilakukan Yayasan Harapan Kita. Pratikno menjelaskan, dalam pengambilalihan tersebut pihaknya akan membentuk tim transisi sebagai pengelola pengganti dari Yayasan Harapan Kita.
Tim ini terdiri dari berbagai Kementerian dan Lembaga, juga pihak LSM. Ia memastikan para pekerja dan staf yang telah bekerja di TMII akan bekerja seperti biasa selama masa transisi ini. Jam operasional kawasan TMII pun tak akan mengalami perubahan.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang meminta pengambilalihan aset ke negara tak berhenti hanya di TMII sambil menyindir aset yang ada di kawasan Puncak, Bogor. Menurut Junimart, masih ada aset-aset lain serupa TMII yang dikuasai dan dikelola secara pribadi oleh keluarga Soeharto sejak era Orde Baru.
“Kita berharap juga ada aset-aset lain, yang mungkin masih ada dan saya tahu masih ada aset yang dialihfungsikan ke perseorangan dan saya harap tidak berhenti,” kata Junimart kepada wartawan, Rabu (7/4/2021) seperti dikutip cnnindonesia.com.
Politisi PDI Perjuangan ini membeberkan beberapa aset yang harus juga diambil alih seperti yang berada di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, dan Pulau Kalimantan. Namun, dia tidak menjelaskan secara rinci aset-aset tersebut.
“Kita tahulah ada di daerah Puncak, di gunung apa itu, enggak pahamlah kita. Kita minta supaya itu dikembalikan ke negara. Ada juga di Kalimantan, ada itu,” ucap Junimart yang anggota Fraksi PDIP, yaitu partai pengusung Presiden Jokowi.
Seharusnya pihak yang menguasai aset negara mengembalikan secara kesadaran pribadi sehingga tidak menunggu adanya gugatan. “Secara etika Pancasila, sebaiknya sebelum pemerintah bertindak sesuai kewenangan dan hak pemerintah itu sendiri, pihak yang menguasai aset negara agar dikembalikan jangan sampai ada gugatan,” tuturnya.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi meneken Perpres Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan TMII. Dalam aturan itu, pemerintah mengambil alih pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita. Yayasan Harapan Kita merupakan organisasi yang didirikan mendiang istri Presiden Soeharto, Tien Soeharto yang mengelola TMII sejak 1977.
Pratikno mengatakan Yayasan Harapan Kita mesti menyerahkan kembali hak pengelolaan TMII kepada negara. Pihaknya pun memberi waktu masa transisi selama kurang lebih tiga bulan kepada yayasan itu untuk menyerahkan berbagai laporan terkait pengelolaan TMII selama ini.
Sejarah TMII
TMII merupakan salah satu lokasi wisata favorit di Jakarta. Ratusan ribu orang mengunjungi TMII pada hari raya Lebaran 2018. Jumlah pengunjung turun pada hari-hari biasa, tapi akan meningkat lagi memasuki akhir pekan dan libur panjang. Mereka menjejaki Indonesia mini ini. Aneka wujud kebudayaan dari 34 provinsi tersaji di sini.
Mengutip laman barisan.co, Menurut Pemberton dalam The Heritage Theatre: Globalisation and Cultural Heritage (2011) yang dinukil Halbertsma, Siti Hartinah atau biasa dipanggil Ibu Tien Soeharto, memperoleh gagasan itu setelah berkunjung ke Thai-in-Miniature di Thailand dan Disneyland di Amerika Serikat.
Menurut Suradi H.P. dkk., dalam Sejarah Taman Mini Indonesia Indah, paska kunjungan tersebut, Tien Soeharto menginginkan agar di Indonesia terdapat suatu objek wisata yang mampu menggambarkan kebesaran dan keindahan tanah air Indonesia dalam bentuk mini di atas sebidang tanah yang cukup luas.
Meski berlabel mini, pembangunan TMII memerlukan biaya besar. Kira-kira Rp10,5 miliar. Karena itu, YHK memerlukan bantuan selain Pemda Jakarta. Tien mengakui hal tersebut di hadapan gubernur se-Indonesia di Istana Negara 30 Januari 1971.
Tien Soeharto berbicara di depan para istri gubernur dari seluruh provinsi di Indonesia. Forum ini terselenggara atas permintaan Tien sendiri dan tentu saja direstui suaminya. Kepada mereka, Tien meminta dukungan. Para istri diimbau untuk melobi suami mereka agar berpartisipasi dalam proyek miniatur Indonesia.
Antara lain dengan membangun rumah-rumah adat khas daerah masing-masing, menyajikan pelbagai hasil kerajinan daerah hingga urun dana. Dana yang dibutuhkan untuk proyek tersebut berkisar antara 100 juta hingga USD300 juta (dengan kurs sekitar Rp200 saat itu), meskipun sudah dibantah Tien yang hanya menyebut angka Rp10 miliar.
Dana sebesar itu membuat sejumlah pejabat atau politikus lain kesal. Soeharto tega merogoh uang negara hanya untuk memenuhi hasrat istrinya. Itu pemborosan ketika negara masih memiliki kebutuhan lain yang jauh lebih mendesak untuk dibiayai.
Selain itu, pihak-pihak yang kontra menilai janggal pertemuan dengan istri-istri gubernur pada Desember 1971, terlebih ketika Tien tampil ke muka sebagai ibu negara sekaligus Ketua Yayasan Harapan Kita, sebuah yayasan swasta milik Keluarga Cendana.
Pelibatan gubernur dan daerah tingkat I yang turut mengeluarkan dana dalam pembangunan proyek ini dirasa cukup aneh. Mengingat inisiatif pembangunan berasal dari yayasan swasta, bukan lembaga pemerintah. (net/smr)
sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO (post Rabu 7/4/2021)