Oleh Prof. Henri Subiakto *)
semarak.co-Sejak mantan Ketua KPK Agus Rahardjo membuka pengalaman pribadinya yang diintervensi Jokowi di saat menangani kasus e KTP hingga kemudian pengakuan Agus tidak pernah jadi laporan adanya fitnah atau pencemaran nama baik.
Bahkan tidak ada bantahan resmi dari pihak jokowi, maka kesan Jokowi hobi cawe-cawe tehadap hukum jadi sangat kuat melekat belakangan Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP juga bicara ke publik bahwa dulu sempat ada kriminalisasi terhadap Anies Baswedan adalah perintah Jokowi.
Nampaknya amunisi menyerang Jokowi sudah mulai di tembakkan. Tak hanya itu, PDIP kemudian bahkan memecat mantan presiden ke 7 tersebut dari keanggotaan partai. Tentu apa yang dilakukan PDIP itu dimaknai sangat menyakitkan Jokowi.
Kemudian balasannya sekarang Hasto ditersangkakan KPK. Kasus Harun Masiku yang sejak 2019 buron karena terlibat menyuap komisioner KPU, diangkat kembali hingga menyeret sekjen PDIP sebagai tersangka pelaku obstraction of justice menghalang-halangi penegakkan hukum.
Inilah kasus hukum yang sangat kental dengan nuansa politik. Pada saat PDIP masih jadi bagian dari lingkar kekuasaan, kasus Harun Masiku seperti gelap tak berkembang, tapi kemudian saat PDIP berseteru dengan Jokowi, kasus Harun Masiku dibuka Kembali dan Hasto langsung jadi tersangka.
Maka ramailah di publik, hukum dianggap telah dijadikan sebagai alat politik. Penegakkan hukum diwarnai oleh kepentingan politik penguasa. Tentu itu terkait bukan hanya karena KPK tak lagi sebagai lembaga independent dan sudah menjadi bagian dari eksekutif.
Tapi publik juga tahu bahwa Ketua KPK yang baru, Komjen Pol Setyo Budiyanto adalah anak buah Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang juga merupakan pejabat pilihan Pak Jokowi. Maka public pun lalu melihat bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah perseteruan terbuka antara PDIP melawan Jokowi.
Dua kekuatan politik yang dulunya bersatu sekarang berlawanan. Mereka saling membuka kelemahan dan aib masing-masing. Banyak hal yang awalnya publik tidak tahu, ada konspirasi yang tersembunyi di antara mereka, sekarang publik bisa menjadi tahu karena dibuka sendiri oleh pelakunya.
Konflik PDIP versus Jokowi ini tentu sangat menguntungkan publik dan terutama mereka yang tidak menyukai PDIP maupun Jokowi. Karena kedua kekuatan ini saat berseteru bisa saling menghancurkan dan beresiko buruk pada mereka sendiri dalam jangka panjang.
Ada kemungkinan PDIP akan membongkar kasus-kasus korupsi yang mereka ketahui bahkan termasuk hal-hal yang selama ini di rahasiakan terkait dinasti politik Jokowi dan latar belakang mereka.
Termasuk misalnya legalitas pendidikan jokowi dan Gibran yang selama ini sudah jadi kontroversi bahkan ijazah Jokowi sempat dimasalahkan hingga ke pengadilan. Begitu pula Jokowi dan pendukungnya juga tentu akan melakukan serangan-serangan balik pada tokoh-tokoh PDIP lewat kasus-kasus hukum.
Bagi rakyat, malah bisa menyaksikan drama pertengkaran dan kebusukan dari dua kekuatan yang awalnya bersatu lalu menjadi berseteru. Biarlah itu jadi pelajaran bagi rakyat yang selama ini sering dibohongi.
Sekarang harus terus belajar agar tidak dibodohi oleh politisi yang makin jauh dari etika moralitas saat dinastinya ingin mengangkangi kekuasaan. Becik ketitik olo ketoro. Wong cluthak podo galak, wadine podo kebukak. Orang-orang bermasalah saat bermain keras, aibnya jadi terbuka. Lalu bagaimana nanti akhirnya? Kita lihat saja drama gelap perilaku politisi kita yang jauh dari etika. []
*) guru besar UNAIR
sumber: MERAJUT KEBERSAMAAN DEMI PERUBAHAN YANG LEBIH BAIK UNTUK MASA DEPAN (postRabu8/1/2025/)