Permintaa Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin kepada Mahkamah Konstitusi supaya menolak permohonan perbaikan sengketa Penghitungan Hasil Pemilu (PHPU) yang diajukan tim hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dinilai pengamat tidak berdasar.
Pengamat hukum dan politik LIPI Prof Dr Siti Zuhro mengatakan, tim hukum BPN tidak mungkin mengajukan permohonan perbaikan sengketa tanpa dasar yang pasti dan jelas. Siti menilai permintaan TKN kepada MK untuk menolak permohonan perbaikan sengketa PHPU tak perlu dilayani MK.
“Lawyer tak mungkin merevisi kalau tak ada dasar alasan yang pasti. Artinya kalau ada yang dilanggar pihak tergugat pasti disampaikan pada gugatan oleh pihak penggugat. Lawyer yang profesional tidak mungkin menerjang sesuatu yang salah,” ujar Siti, Selasa (11/6).
Sebab menurutnya, Tim BPN sudah mengikuti aturan main dengan mengajukan gugatan ke MK. “BPN sudah mengikuti ranah hukum. Kan katanya gak boleh people power, gak boleh dibawa ke ranah jalanan, diminta untuk dibawa ke MK. Nah ini kan sudah dibawa ke MK,” ujarnya.
Artinya, lanjut dia, kalau ada berbagai pelanggaran harus disampaikan ke MK. Toh nanti akan diuji di persidangan, ada fakta-fakta hukumnya. Jadi jalani saja semua proses di MK. “Baik BPN atau TKN Jangan takut kalah,” papar ilmuwan politik ini.
Ia lantas menyontohkan cawapres pasangan 02 Sandiaga Uno yang langsung mengundurkan diri sebagai Wagub DKI Jakarta begitu maju sebagai bakal calon wapres. ”Dia (Sandiaga) langsung mundur dari wagub, dia mundur juga dari berbagai posisinya di perusahaan-perusahaanya. Ini dilakukan karena ada aturan yang jelas yang melarang itu,” beber Siti.
Siti lantas mengingatkan kepada semua pihak, khususnya penyelengara Pemilu agar kedepannya harus benar-benar professional. ”Ini pembelajaran agar Pemilu-nya jangan main-main. Jadi ke depan nanti, dibuat Pemilu yang benar-benar mengedepankan law enforcement,” pungkas Siti.
Sebelumnya, dalam permohonan perbaikan sengketa, Ketua Tim Hukum BPN Bambang Widjojanto mempersoalkan keberadaan calon Wapres Paslon 01 Ma’ruf Amin ternyata masih tercatat sebagai pejabat di Bank BNI Syariah dan Bank Mandiri Syariah.
“Kami cek berulang kali dan memastikan kalau ini ada pelanggaran yang sangat serius. Nah inilah yang mungkin menjadi salah satu yang paling menarik,” ujar Bambang di gedung MK Jakarta Pusat, Senin (10/6).
Bambang menduga, Ma’ruf Amin diduga telah melanggar Pasal 227 huruf (p) UU Pemilu No.7 Tahun 2017 yang menyebutkan calon presiden dan wapres harus menyertakan surat pernyataan pengunduran diri dari karyawan atau pejabat BUMN.
”Seseorang yang menjadi bakal calon presiden atau wapres harus berhenti sebagai karyawan atau pejabat BUMN. Karena itu paslon nomor urut 01 dapat didiskualifikasi karena diduga melanggar undang undang Pemilu nomor 7 tahun 2017,” tandasnya.
Menurut ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono, perbaikan tersebut tidak dikenal dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi (MK). “Perbaikan permohonan pemohon dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres tidak dimungkinkan untuk dilakukan dan bertentangan dengan hukum acara PHPU Pilpres yang telah ditetapkan dalam UU Pemilu dan Peraturan Mahkamah Konstusi,” kata Bayu ketika dihubungi wartawan, Selasa (11/6).
Bayu memaparkan tiga alasan. Pertama, Pasal 10 ayat (1) Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden telah menyebutkan dengan jelas bahwa dalam hal pemohon mengajukan permohonan kepada M, Panitera mencatat permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).
Adapun Pasal 475 UU 7/2017 tentang Pemilu dan Pasal 6 ayat (1) PMK 4/2018 menyebutkan Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 Hari setelah penetapan perolehan hasil suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.
“Dengan demikian permohonan yang dapat dicatat dalam BRPK yang sesuai jadwal dalam Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal penanganan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum akan dilakukan pada tanggal 11 Juni hanyalah permohonan yang diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 Hari,” ulasnya.
Setelah penetapan perolehan hasil suara Pilpres oleh termohon (KPU) dan bukan permohonan diluar jangka waktu yang telah ditetapan tersebut. Kedua, dari 57 Pasal dalam Peraturan MK 4/2018 tidak terdapat satu pasal/ayat/bagian yang menyebutkan adanya kesempatan bagi pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan.
“Hal itu berbeda dengan sengketa hasil pileg, karena waktu sidangnya berbeda. Sengketa Pilpres diadili dalam 14 hari dan sengketa pileg 30 hari,” Direktur Puskapsi Universitas Jember.
Ketiga, penanganan perkara PHPU Pilpres wajib berpedoman dan terikat kepada tahapan, kegiatan dan jadwal sebagaimana telah diatur dalam Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal penanganan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
“Apa yang dilakukan oleh Pemohon ini semakin menunjukkan ketidakpatuhan mereka kepada hukum acara PHPU Pilpres yang telah ditetapkan. Oleh karenanya tidak lah salah jika disebut selain Permohonan PHPU Pilpres Paslon 02 yang terburuk dalam sejarah PHPU Pilpres di MK juga kepatuhan terhadap hukum acara MK yang terendah dalam sejarah PHPU Pilpres di MK,” katanya.
Tapi mengapa Panitera MK tetap menerima permohonan perbaikan pada Senin (10/6) kemarin? “Sikap panitera MK tersebut lebih terkait menjalankan fungsi pelayanan pengadilan dimana panitera harus melayani segala keperluan pihak yang berperkara,” kilahnya.
Termasuk jika pihak berperkara datang ke MK untuk menyerahkan dokumen perbaikan permohonan. “Keputusan dicatat tidaknya perbaikan permohonan BRPK kembali harus berpedoman pada aturan dalam Peraturan MK,” jawab Bayu. (lin)
sumber: detik.com