Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar diskusi tekait ‘Pemilu dan Pilkada 2024: Reaslistiskah?’ pada Minggu (7/2/2021).
semarak.co-Wakil Ketua LHKP PP Muhammadiyah Ridho al-Hamdi dengan tegas mengatakan Pemilu Serentak 2024 tidak realistis untuk dilaksanakan. Sebab ia mengatakan dosis terhadap demokrasi terlalu tinggi.
“Jadi apakah realistis? Tidak, karena dosisnya terlalu tinggi. Kelelahan tidak hanya dihadapi penyelenggara, partai politik, karena tidak ada evaluasi kaderisasi dari pemilihan karena 2024 bertumpuk dan masyarakat lelah dan melihat ini tidak jadi baik,” kata Ridho seperti dilansir @geloranews, pada Minggu 7 Februari 2021.
Ridho yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengatakan, “Kita hindari karena demokrasi tidak akan optimal ini. Kalau dosis demokrasi Pilkada borongan, dosis jadi berlebih kemudian publik lelah berdampak terhadap ketidakpercayaan publik.”
Ridho kemudian membuka pelaksanaan Pemilu 2019 di mana banyak petugas KPPS meninggal dunia. Ini menjadi catatan serius terhadap keseriusan bagaimana pemerintah melaksanakan Pemilu.
“Berkaca Pemilu Serentak 2019 di mana data yang dipaparkan IDI poinnya banyak korban kelelahan penyelenggara di tingkat bawah, sehingga rekrutmen KPPU tidak menjadi perhatian serius. Beban berat, gaji rendah, ini berdampak pada anggaran besar, sehingga kesehatan psikis menjadi pertimbangan,” ucap dia.
Selain itu juga merujuk data dari indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh freedom house, Ridho menyebut indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan tiap tahunnya.
Indeks demokrasi dari Freedom House sejak 2014, kutip dia, Indonesia melemah pada kebebasan sipil. Pada 2006 sempat membaik meski presidennya dari militer, tapi puncak keserentakan terjadi pada 2014-2019.
“Kita lihat setelah Prabowo Jokowi sampai pascapemilu sampai detik ini dampak psikososial ke bawah masih terjadi bahkan di Sulsel ada kejadian makam dipindah karena beda pilihan,” tutur Ridho.
Maka dari itu, Ridho mengatakan sebaiknya Pemilu Serentak 2024 tidak digelar. Meski hal itu berdampak baik terhadap efisiensi anggaran, tapi tidak terhadap dampak sosial dan psikologis masyarakat.
“Poinnya Pemilu Pilkada grosir sangat tidak mungkin karena dosisnya tinggi, demokrasi kita jadi tidak stabil tapi ekstrem. Harus kita hindari agar kesehatan demokrasi NKRI tak kelebihan dosis, kita tidak lanjutkan serentak supaya kita bisa evaluasi,” tutup dia
Sementara Ahli hukum tata negara Refly Harun berkomentar terkait polemik Pilkada Serentak 2024 yang dinilai menguntungkan PDIP dan koalisi pemerintahan. Refly mengatakan dirinya sependapat dengan Ketua Bapilu Andi Arief yang menuding PDIP adalah parpol yang gila kuasa.
PDIP, nilai Refly, terlalu banyak menggunakan dalih untuk berkuasa, termasuk di Pilkada Serentak 2024. “Yang paling tidak benar ialah membiarkan suatu daerah di pimpin kepala daerah yang bukan mandat rakyat,” ujar Refly Harun seperti dikutip GenPI.co dari kanal YouTube-nya Jumat (2021/02/12 18:37).
Pemimpin daerah yang masa jabatannya habis pada 2022/2023, terang dia, akan digantikan pejabat sementara (Pjs). Pejabat sementara itu tentu bukanlah mandat dari rakyat, melainkan hasil dari penunjukkan Kemendagri. “Belum lagi potensi pejabat sementara ini untuk dimanfaatkan dalam proses pemenangan partai tertentu,” katanya.
Polemik Pilkada Serentak 2024 ini juga sepertinya akan berakhir dengan keputusan yang sama. Sebab, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah ikut turun tangan untuk menyetop peluang revisi Pilkada Serentak tersebut.
Adapun Partai Golkar, PKB, dan Nasdem yang pada awalnya ingin normalisasi Pilkada 2022/2023 akhirnya berbalik badan untuk ikut-ikutan mendukung Pilkada Serentak 2024 itu. (net/smr)
sumber: WAGroup FILOSOFI KADAL (JUJUR) post (Sabtu (13/2/2021)/Keluarga Alumni HMI MPO