Opini oleh Margarito Kamis: Prabowo dan Sandi Membanggakan

Margarito Kamis, pakar hukum Tata Negara. foto: internet fajar

Oleh: Margarito Kamis (*)

PAK Prabowo dan Pak Sandi, sejauh ini, tak mendekat, untuk misalnya, meminta bantuan kepala daerah bahu-membahu dengan dirinya memenangkan pilpres. Ini berbeda, sangat, dengan Pak Jokowi. Kepala daerah, dengan pertimbangan khas mereka mendekat, dan secara terbuka hendak bahu-membahu dengan Pak Jokowi dalam pilpres ini.

Menariknya Pak Prabowo, teridentifikasi sangat ditakuti. Ia ditakuti, sejauh ini, bukan karena mantan tentara, tetapi karena ia, dimana-mana, dan kemanapun menjumpai rakyat, selalu bergemuruh.

Antusias, bergairah, berhasrat, itulah yang dipancarkan rakyat setiap kali Pak Prabowo jumpa mereka. Itu yang mendorong seorang kawan memberanikan diri menyatakan Pak Prabowo dan Pak Sandi, secara objektif, sejauh ini, telah memenangkan pilpres.

Jelas

Tak pernah mengolok-olok orang, apalagi merendahkan orang, termasuk lawannya dalam pilpres ini, menjadi penanda paling mengagumkan dari Prabowo dan Sandi. Kedua capres dan cawapres ini, mengekspresikan keprihatinan otentiknya terhadap keadaan hidup petani, nelayan, guru honorer dan petugas kesehatan.

Napas keduanya tertakdir, sejauh ini, membuat anak-anak cukup gizi, agar kelak tumbuh menjadi manusia cerdas. Selalu, dimanapun, keduanya begitu lugas menampilkan keseriusannya, kelak setelah menggenggam kekuasaan, memastikan rakyat terlepas, dalam waktu cepat, dari lilitan rumit harga-harga pupuk, dana kesehatan, dan lainnya yang merupakan hasil salah urus.

Sangat terbuka, keduanya menyatakan kehendaknya untuk, pada kesempatan pertama,  membereskan kehidupan hukum. Hukum, kata Sandi, anak muda nan rupawan ini, tak bakal mereka gunakan memukul lawan.

Tak bakal, kata Sandi, hukum digunakan untuk melindungi kawan. Ini jelas berkelas. Pernyataan ini, sungguh, dengan alasan apapun, harus dinilai sangat berani.

Berani, karena sejarah para tiran dunia, dulu hingga sekarang, tak pernah tak mengandalkan hukum dalam memelihara kekuasaannya. Hukum adalah senjata utama para tiran, paling mematikan, dan membinasakan siapa saja yang sekadar mengeritik dengan keras.

Tiran, seperti Tiberius Lucius di Romawi kuno, yang begitu tamak, memperjualbelikan hukum hingga ke hal yang tidak senonoh. Pedang tajam atau pedang tumpul yang akan digunakan dalam pelaksanaan hukuman mati, oleh Tiberius, tergantung sepenuhnya pada besaran uang yang dibayarkan oleh orang yang hendak dihukum mati itu.

Keduanya sangat jelas dengan pernyataan di atas, mengambil jarak dari kebencian dan dendam, dalam menggunakan hukum. Perbedaan haluan politik, terlihat jelas, tak bakal bertengger dihati dan kepala mereka, untuk dijadikan panduan pelaksanaan hukum. Cukup beralasan untuk menegaskan betapa tak bakal ada hukum seperti hukum yang menimpa Habib Rizieq.

Menggembirakan, keduanya mengetahui kehidupan rumit dunia hukum. Menata isi hukum, apa yang sering disebut reformasi hukum, jelas bagus dan penting. Tapi itu bagian terkecil, dan termudah.

Hal tersulit dalam dunia hukum adalah mengurus penegak hukum, menjadikan mereka manusia yang tahu adab berhukum. Itu, sekali lagi, merupakan perkara tersulit dalam dunia hukum.

Tetapi justru dititik tersulit itulah, keduanya memiliki keberanian memasuki dan memecahkanya. Apa itu? Ya soal insentif, gaji. Meminta orang bekerja jujur, sungguh-sungguh di tengah himpitan hidup, akibat hal yang berada di luar kendali mereka, jelas sama dengan membinasakan orang itu. Sama juga dengan membawa mereka ke dalam alam peras-memeras, korupsi yang terus berkecamuk dan menggila.

Membanggakan tipikal orang besar, orang yang tahu romantika perjuangan,  memanusiakan manusia, yang tahu kesuksesan adalah kemampuan mengenal sisi manis dari kegagalan, mengubah dan menjadikannya kekuatan, Prabowo- Sandi tak tenggelam, menyibukan diri menanggapi kritik keras, hoax yang dialamatkan langsung kepada keduanya. Fokus, fokus dan fokus muncul menandai perjalanan mereka sejauh ini.

Uang dan duren yang diberikan kepada keduanya, di sejumlah tempat yang dikunjungi, menandai keduanya ada dihati rakyat. Para pemberi ini jelas berkelas. Mereka jelas memiliki adab tinggi.

Mengapa? Tradisi kotor pemilu atau pemilihan sejak zaman Romawi kuno adalah para calon orang besar menebar, menyebarkan hadiah barang, jabatan, uang, pesta dan lainnya. Para pemberi uang dan duren kepada Pak Prabowo dan Sandi, jelas membalikkan praktik kotor itu. Ini hebat.

Fakta ini, dalam batas tertentu, merupakan buah manis dari keberanian Prabowo secara lugas menyatakan dirinya akan didedikasikan sepenuhnya sebagai alat rakyat. Cukup berani, Prabowo menyatakan betapa mati akan menjemput siapapun, dan kelak bila waktunya tiba, jelas tidak bakal bawa harta ke alam akhirat. Ma-sya Allah.

Ingatlah kematian, karena itulah hal paling pasti dalam hidup ini. Ingatlah kematian agar dikau tak teracuni hiruk-pikuk manipulatif dunia, yang sangat menggoda ini. Dikau datang tanpa apa-apa, dan kelak kembalipun tak membawa apa-apa. Kekuasaan adalah pusat malapetaka, bila keliru, entah karena apa, mendedikasikannya.

Kekuasaan akan bermakna bila darinya mengalir keadilan. Kala keadilan mengalir dari kekuasaan, karena penguasa ingat mati, tahu betapa mati tak membawa apa-apa, maka kekuasaan itu akan menjadi sumbu keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran. Itulah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Sall’Allahu ‘alaihi wa sallam, para khulafa’ ar-rasyidin, dan pemimpin-pemimpin Islam lain sesudah itu.

Sungguh masuk akal, sejauh ini, rakyat membanggakan Pak Prabowo dan Pak Sandi. Mereka berdua, sejauh ini ada dihati rakyat. Masuk akal, karena Pak Prabowo dan Pak Sandi, tak sekalipun terlihat mengada-ada.

Penampilan keduanya ditengah masyarakat selalu apa adanya. Mereka, cukup beralasan diduga, tahu membangun kesan melalui penampilan, tak pernah, dalam sistem politik apapun, menjadi elemen dalam mengurus negara.

Bendera Golkar yang ikut dibawa masyarakat, dalam kampanye Pak Prabowo di Makassar hari ini, nampaknya tidak mengada-ada. Golkar memang ke Jokowi, tetapi sebagian fungsionaris, yunior dan senior, bahkan calegnya kalau tidak seluruhnya, sebagian, ke Pak Prabowo. Itu bagus. Mereka otonom, tidak terbawa arus partai.

Otonomi terhebat diperlihatkan, dimiliki Erwin Aksa, anak muda cerdas dan murah senyum dari Makasar ini. Tipikal orang berkelas, Erwin tidak hanya menyatakan dukungannya kepada Pak Prabowo dan Pak Sandi, karibnya, Erwin juga mengorganisir pengusaha mendukung Pak Prabowo dan Sandi.

Tak berhenti disitu, dan ini membanggakan, Erwin ikut naik ke atas panggung kampanye Pak Prabowo di Makassar.

Lupakanlah survey. Sudah terlalu sering, kata sejumlah pakar, mereka salah. Para polster, kata John Coleman, adalah ujung tombak pengubah, pengarah ekspektasi masyarakat.

Mereka ini, dengan hasil polling atau surveynya, hendak membangun kesan hebat atas sesuatu atau orang yang dijagokan. Itu sebabnya Pak Prabowo tidak memercayai survey-survey itu.

Argumentatif, melengkapi tipikal lain,  seperti lugas, hormat pada lawan, jujur mengakui kebenaran yang datang dari pihak manapun. Tidak mudah jadi orang seperti ini. Ini pekerjaan sulit, pekerjaan orang besar, bukan kerdil.

Terlihat jelas Prabowo, juga Sandi, tak mampu ngeyel, terus sabar dan fokus. Sulit, dengan alasan apapun, untuk tak membanggakan tabiat-tabiat ini.

Tak mengeherankan bila massa telah menyemut, tulis Fajar.co.id, menuju lapangan Karebosi sebelum Pak Prabowo tiba di lapangan ini, lapangan yang pada tahun 1991-1993, ketika bersekolah di sana cukup sering saya datangi untuk sekadar berolahraga.

Menyemut adalah penanda jagoannya membanggakan. Sambutan membanggakan, nampaknya akan menjemput Prabowo di tempat lain dalam kampanye ini. Aamiin

*)Penulis adalah Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar FH. Univ Khairun Ternate

sumber: rmol/WAG KAHMI Cilosari 17 kiriman mohandesharaky/kontensilam.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *