Opini Gindha Ansori Wayka: Negara Dilarang Arogan Terhadap Rakyat pada Sengketa Tanah

Proyek PLTS hasil sinergi PT LEN dan Hutama Karya di ruas Tol Trans Sumatera

Opini Gindha Ansori Wayka, Dosen Pendidikan Budaya Anti Korupsi (PBAK) Poltekkes Tanjung Karang dan Koordinator Presidium KPKAD (Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah) Lampung.

Rencana Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) Lampung,  yang mengajak rakyat Lampung untuk mengikuti Tour Jalan Tol Trans Sumatera, keadaan ini akan dapat  menyinggung hati dan perasaan pemilik tanah yang dilalui jalan Tol Trans Sumatera yang belum terima ganti rugi sampai saat ini karena harus tempur di pengadilan bertahun-tahun karena sengketa.

Meski negara sudah membayar tetapi uang ganti ruginya masih transit di Pengadilan Sebagaimana Pasal 42 UU No. 2 Tahun 2012 Tentang  pengadaan tanah untuk kepentingan umum, akan tetapi negara diduga tidak pernah perduli karena arogansi negara yang menganggap sudah membayar lalu rakyat dibiarkan berdarah-darah dan meringis untuk mendapatkan haknya hingga bertahun-tahun (contoh pembebasan Gas Negara PT. PGN Negeri Besar Way Kanan yang tuntas setelah 14 Tahun).

Negara diduga tidak hadir dalam sengketa kepemilikan antarmasyarakat terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana UU No. 2 Tahun 2012, negara hanya hadir di saat ada sengketa penetapan lokasi (Pasal 23 UU No. 2 Tahun 2012) dan sengketa bentuk dan besaran ganti kerugian (Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2012) karena dirinya (negara) sudah menggangap membayar, akan tetapi  belum sampai ke tangan yang berhak karena masih dikonsinyasi di Pengadilan.

Kalau kita memang mendukung Pemerintah harusnya kita bisa memberikan solusi yang baik untuk mengurangi dan menyelesaikan persoalan bangsa. Bukan melakukan hal-hal yang dapat memprovokasi pihak lain yang merasa terciderai haknya.

Pada dasarnya, Pemerintah dapat menerbitkan regulasi dengan menggunakan Pasal   41 Ayat (5) UU No 2 Tahun 2012 yang menjelaskan,  “Tuntutan pihak lain atas Objek Pengadaan Tanah yang telah diserahkan kepada Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab Pihak yang Berhak”.

Dengan menggunakan Pasal   41 Ayat (5) UU No 2 Tahun 2012  ini,  meskipun masih ada sengketa, ganti rugi jalan Tol dapat direlisasikan terlebih dahulu, karena  tanggungjawabnya ada pada yang berhak.

Akan tetapi aparatur sipil kita, khususnya Pengadilan dan Badan Pertanahan Nasional tidak punya keberanian dan kurang progressif dalam mengambil langkah untuk kepentingan rakyat ini, meskipun yang telah direalisasikan adalah surat kepemilikan yang sama yakni Sertifikat Hak Milik karena takut dianggap korupsi (memperkaya orang lain).

Di dalam Pasal 43  UU No 2 Tahun 2012  nampak sekali dugaan arogansi negara, dimana pasal ini menjelaskan “Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau PEMBERIAN GANTI KERUGIAN SUDAH DITITIPKAN DI PENGADILAN NEGERI  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),

KEPEMILIKAN ATAU HAK ATAS TANAH DARI PIHAK YANG BERHAK MENJADI HAPUS DAN ALAT BUKTI HAKNYA DINYATAKAN TIDAK BERLAKU DAN TANAH MENJADI TANAH YANG DIKUASAI LANGSUNG OLEH NEGARA.

Kalau ganti ruginya tidak bermasalah, Pasal ini halal untuk diberlakukan, akan tetapi kalau masih dikonsinyasi di Pengadilan, lalu ketentuan Pasal ini yang diterapkan, maka negara harus hadir dalam membatasi waktu sengketa antarmasyarakat terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Jika tidak hadir dan memberikan batasan waktu atau membiarkan sengketa ini masuk dalam sengketa kepemilikan biasa yang harus melalui Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung yang menelan biaya yang banyak dan waktu yang begitu panjang, maka  negara diduga arogan dalam menguasai hak rakyatnya dan pembiaran ini diduga akan menimbulkan bentuk kesewenangan negara dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) oleh negara atas rakyatnya.

Negara dan pemerintah harus segera hadir untuk menengahi persoalan terkait sengketa antar masyarakat dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, jika tidak ingin diganggu oleh rakyat sebagai pemilik tanah yang melakukan aksi blokir atas objek. (*)

Sumber: http://mediafaktanews.com/negara-dilarang-arogan-terhadaprakyat/

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *