Di acara pemaparan Program “WAGIMAN” alias “Warga Gila Tanaman” terbersit ide mengangkat Lieus Sungkharisma sebagai “Kepala Suku Tionghoa”.
WAGIMAN adalah Tawaran Warga Pedagang Glodok dan Lieus Sungkharisma mengatasi keluhan Gubernur Anies Baswedan seputar polusi udara.
Mereka sodorkan alternatif tanam pohon dan penghijauan kota sebagai ganti solusi genap-ganjil & larangan parkir di bahu jalan.
Nah, yang ngga kalah heboh adalah ide soal “Kepala Suku Tionghoa”.
Inisiator idenya Mr Chandra Suwono. Pasti banyak oknum sirik-dengki akan bereaksi. Sekalipun ide ini ngga lebih dari canda. Sebuah guyon yang bisa menjadi gerakan serius.
Benar saja. Seorang netizen bernama “Kawat Kurniawan” menggebrak. Dia bilang ngga setuju. Dibalut caci-maki. Ada kata Tolol, dungu dan lain-lain.
Menurutnya; Syarat “Suku” itu harus punya teritorial. Perbuatan ini dia nilai sebagai manuver memecah belah bangsa.
Astaga…!! Lieus Sungkharisma, Chandra Suwono dan 200an Pedagang Glodok dituding sebagai pemecah belah bangsa.
Simpatisan PKS Cucun Aisyah menuding komentar netizen Kawat Kurniawan sebagai sikap “Sok Paling Indonesia”.
Suka tidak suka, diakui or not, Komunitas Ethnik Tionghoa itu ada. Masuk kategori “Panethnicity”.
Karena teritorialnya di Tiongkok, maka Tionghoa disebut Suku Pendatang. Bukan Suku Asli.
Tionghoa Indonesia adalah Hanzu atau “Orang Han”. Sebuah “nation” setelah Qin Shi Huang Di, The First Emperor, menyatukan Old China.
Ada lima sub grup Tionghoa di Indonesia; Hokkian, Hakka, Canton, Tiochiu dan Hainan. Jadi tidak monolith. Sedangkan sub group dari Orang Han ada 21 suku. Bangsa Mongol pun terdiri dari banyak tribes.
Bangsa Han dan Mongol menjadi Suku Tiongkok setelah lahir konsep “Zhonghua Minzu”. Istilah “Chinese” atau “Zhongguo ren” itu artinya ke 56 ethnik besar yang ada di Tiongkok. Termasuk Mongolia, Tibet, Uighur, Hui, dan lain-lain.
Adanya negara Outer Mongolia dan Korea memicu perdebatan. Konsensus diambil. Ethnik Korea WN Tiongkok tetap diakui sebagai “Suku Tiongkok”. Mongolia sudah pasti Chinese.
Tionghoa sebagai ethnis tidak pernah adopsi konsep “darah murni”.
Konsep “one-drop rule” seperti Supremasi Bangsa White tidak pernah dipikirkan oleh Tionghoa. Adanya sistem paternalistik rigid. Bruce Lee yang punya darah Jerman dari mamanya tetap dianggap Tionghoa. Begitu pula anaknya Brandon dan Shanon Lee yang ibunya Anglo Saxon Amerika.
Saya pernah bertanya kepada Alm. Aggie Tjetje, pemegang rekor gelar sarjana terbanyak.
Pertanyaan seputar kriteria “Kepala Suku Tionghoa”. Dia reply; “Yang paling tajir”.
Jawaban ini ada benarnya. Sejak era dinasti, Tionghoa tidak pernah mensakralkan The Royal Blood line. Salah satu alasannya, semua orang Han adalah keturunan The Yellow Emperor Huang Di.
The current royal family kapan saja bisa ditumbangkan anak petani.
Pendiri Dinasti Han; Liu Bang atau Emperor Gaozu of Han, adalah anak petani. Sampai Kaisar China Modern Chairman Mao Zedong mengaku sebagai anak petani.
Konsep “Kepala Suku Tionghoa” yang digagas Mr Chandra Suwono mengambil definisi modern “Chairman” yang fungsinya sebagai Spoke-Person atau Juru Bicara.
Baginya, Figur Lieus Sungkharisma terbukti punya nyali, konsisten, duit banyak, diterima banyak kalangan, tidak sombong dan rajin menabung.
Di masalah Policy Genap-Ganjil, para pedagang resah. Omzet turun 40% dan mereka bingung. Ingin bicara dengan Gubernur Anies Baswedan, takut dibilang mau makar. Karena itu, mereka minta tolong ke Lieus Sungkharisma sebagai bridge dengan Anies Baswedan.
Maka namanya menjadi Lieus “Wagiman” Sungkharisma.
THE END