Opini by Zeng Wei Jian
Jokowi pulang kerja naik kereta. Aksi extrim. Ada-ada aja. Seolah public is too stupid; ngga tau itu pencitraan. President is a symbol, sekaligus target nomor satu frustasi dan kemarahan publik. Figur penting. Protocol safety ketat. Maximum security. 24/7-365 Surveillance.
Tanggal 15 Maret tahun 44 BC, Julius Caesar dibunuh 60 orang Cabals dengan 23 tusukan pisau. Sampai 27 Desember 2007, Benazier Bhutto dibunuh. Wajar bila gerak-gerik President selalu dilindungi. Hidup dalam “thick bubble”.
Di Amerika, pasukan pengawal presiden disebut “Secret Service”. Kekuatannya 3.200 personil terbaik. Paspampres Indonesia berkekuatan 2.500 prajurit dari semua matra.
Namun demi kepentingan politik, in order to fabricate “Citra Populis”, sesekali seorang presiden diharuskan berimprovisasi. Liberal Hero Barrack Obama bermanuver dengan judul “New York fantasy”.
Jalan-jalan sebentar di taman bersama putrinya. Seolah tanpa penjagaan. Just like ordinary people. Padahal, heavily guarded dan ruas-ruas jalan raya sterile diblokade polisi. Suatu pagi, di tahun 2013, Presiden Xi Jinping, out of nowhere, tiba-tiba ikut antrian di restoran Qingfeng Beijing.
Dia makan pangsit di sana. Manuvernya segera membuat rakyat jatuh hati dan menyatakan Mr Xi Jinping adalah “Father of The People”. Tehnik citra Obama dan Xin Jinping berkelas. Hanya sesekali dilakukan. Not too much.
Beda dengan Mr Jokowi. Dia obral manuver. Masuk gorong-gorong pake batik, marah di kantor lurah, numpang pipis, pake sarung di Istana Bogor, main kodok dan domba, atraksi di mall, pake kaos resmikan pembangunan, beli tempe di pasar, naik motor gede, selfie di lokasi bencana, dan terakhir pulang kerja naik kereta.
Sesuatu yang berlebihan itu bikin muak. Over dosis tidak baik. Tidak ada unsur alamiah dalam setiap aksi Jokowi. Satu gagal. Dicoba lagi. Gagal lagi. Coba lagi. Terus-terusan begitu. Mungkin akan terus dilakukan. Sampai public bosan dan berkata, “Stop it”.
Padahal, sebuah citra mesti dibangun oleh serangkaian manuver original. Tim Citra Jokowi mengadopsi segment artifisial dan dipastikan ngga mampu membuat rakyat jatuh cinta. Susan L. Shirk, professor di University of California, menyebut apa yang dilakukan Obama, Xi Jinping dan Jokowi dengan frase “The Return to Personalistic Rule”.
Dalam kasus Xi Jinping, dia memenangkan hati rakyat. Tak terbendung. Mampu mengeliminir pembatasan masa jabatan presiden. Dia menyamai Chairman Mao Zedong. “The conventional theory is that the party hates him but the people love him,” kata Richard McGregor, penulis buku “The Party: The Secret World of China’s Communist Rulers.”
Kunci sukses Xi Jinping, di samping dinilai berhasil memakmurkan rakyat, yang membedakannya dengan Jokowi, adalah Xi Jinping menggelar beberapa (not too much) perilaku substantif daripada sekedar antri di restoran.
Misalnya, Xi Jinping mengundang Keluarga Dvorchaks sebagai tamu negara. Tiga puluh tahun lalu, Xi Jinping ditampung di rumah Dvorchaks sewaktu dia kuliah di Iowa tahun 1985.
Di Moskow, Xi Jinping menganugerahi medali penghargaan kepada para veteran perang Anti Fasis Jepang. Karena faktor usia, Xi Jinping mengubah protokol dan menghampiri para veteran satu per satu.
Di tahun 2001, PM Jim Bacon mengundang Xi Jinping untuk datang ke Tasmania. Tahun 2014, Xi Jinping memenuhi undangan tersebut. Sayangnya, PM Jim Bacon sudah wafat. To keep his promise, Xi Jinping mengunjungi rumah PM Jim Bacon.
Diterima dengan air mata istri dan keluarga mendiang PM Jim Bacon. Nah, hal-hal kecil namun berkesan itu tidak ditemukan dalam aksi Jokowi. Yang ada, badai bully setiap kali dia selesai beratraksi.
THE END