Opini by Zeng Wei Jian
Fahrenheit 9/11 filmmaker Michael Moore berkata, “The Lack of Enthusiasm Is Dangerous”. Dia benar. Hillary Clinton tumbang. Hanya menang di polling dan survei. Indikator awal kemenangan Donald Trump ada di “anthusiasme” dan “militansi” supporters.
Di Indonesia, fenomena serupa sedang berproses. Paslon Ko-Ruf No 1 selalu menang di atas kertas rilis pabrik polling bayaran. Di lapangan fakta, Kedatangan Jokowi, apalagi Kyai Maruf Amin, selalu sepi massa. Sampe-sampe harus menungganggi CFD dan peresmian MRT di Bunderan HI.
Para bandar, kaum oportunis, parasit sosial, minoritas, half-baked intellectual, milenial kuper, pengusaha, buruh dan PNS harap hati-hati. Paslon Ko-Ruf No 1 berada di bibir jurang kehancuran. Jangan ikut kelompok kalah. Loncat pagar selagi masih ada waktu.
Indikator kepanikan mereka; Muldoko merilis deklarasi “Perang Total”. Meaningless. Semakin kempes.
Historian Australia Geoffrey Blainey berpendapat: “war is a result of miscalculation of strength”. Miskalkulasi ini penyakit Genk Muldoko. Mereka mengira Jokowi-Maruf kuat di atas kertas. Makanya dia ngajak “Perang Total”. Ancur-lebur setelah Rommy ditangkap KPK.
Pendulum mulai bergeser setelah Tim Bisik Jokowi-Maruf membuat beraneka ragam blunder.
Merekrut Kyai Maruf Amin dengan “mengorbankan” Prof Mahfud MD, Data-data salah di Debat #2 Capres, Dagang 3 Kartu Baru, Janda dan pengangguran digaji, nakut-nakutin minoritas dengan issue “Islam Radikal”, HTI dan FPI. Sekalipun semua itu tampak rasional, tetap saja blunder.
Begitulah kualitas “Think Tank” Jokowi-Maruf yang terdiri dari banyak kelompok. Ada partai truk, partai odong-odong, pro gay, anti poligami, Kardus Durian dan sebagainya. Tidak heran jika mereka kalah dalam “Perang Total”. Philosopher Iain King menyatakan “Most catastrophic decisions are rooted in GroupThink”.
“Enthusiasm Gap” antara supporter Prabowo-Sandi dan Jokowi-Maruf semakin nyata sebulan sebelum 17 April 2019. Kurangnya budget, membuat Tim Prabowo-Sandi ngga mampu produksi banyak alat peraga kampanye. Apalagi sewa stasiun televisi, iklan, bentuk tim cyber dan pabrik polling.
Massa tidak peduli. Mereka bikin Spanduk Prabowo Presiden dari karung beras. Kedatangan Prabowo-Sandi selalu disambut gelombang massa besar. Bahkan di basis Non Muslim seperti Menado dan Bali. Tak peduli panas-terik, pokoknya Tumbangkan Jokowi-Maruf dan antek-antek sombongnya.
Akhir Maret, Pilpres masuk fase yang disebut oleh para pengikut “realist school” seperti Henry Kissinger dan Hans Morgenthau sebagai “Power transition theory” yaitu kekuatan hegemon sedang dalam proses kehancuran akibat munculnya The Rising Power.
THE END