Opini by Zeng Wei Jian
Jenderal Tito Karnavian merilis arahan surat telegram supaya aparat polisi netral dalam Pilpres. Arahan ini sesuai dengan UU No. 2 tahun 2002 yang melarang polisi terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Tapi alas, ada saja oknum di lapis tengah-bawah yang menyimpang. Dalam banyak kasus, para perwira menengah sering berimprovisasi sendiri. Sudirman Said pernah dikerjain oknum di tingkat Polda. Mereka ngobyek. Dana saksi dirampas di tengah jalan tol.
Rumah Aspirasi Prabowo-Sandi NTB disatronin polisi daerah. Buku tamu dirobek. Teranyar kasus Ajun Komisaris Sulman Azis. Sebelumnya tersiar kabar oknum berseragam polisi mengarahkan masyarakat pilih Paslon No. 1 di lapangan dan Grup Whatsapp.
Alhasil, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Syafruddin minta Kapolri selesaikan isu ketidaknetralan Polri. Netizen gaduh. Kecaman dan caci-marak di media sosial.
Provokator kipas-kipas. Nama baik Kapolri dan institusi jadi taruhan. Elektabilitas Jokowi-Maruf jatuh. Melawan seorang pemimpin tirani merupakan aksi revolusioner. Bukan penghianatan.
“Treachery is noble when aimed at tyranny,” kata Pierre Corneille. Namun insubordinasi terhadap instruksi dan komandan yang baik adalah penghianatan dalam arti yang paling murni. Semua aksi oknum polisi di atas merupakan insubordinasi.
Sama sekali bukan tindakan self defense. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mesti bertindak. Tegakan disiplin. Hukum para pembangkang. Ingat Motto “Rastra Sewakottama” (Serving the People Above All). Not serving the current president. Rakyat di belakang Jenderal Tito Karnavian.
THE END