Opini by Zeng Wei Jian
Dua orang jenderal; Susilo dan Prabowo. Satunya tegang. Tangan bersilang di dada. Menyerang dengan halus. Arogan. Tajam. Oportunistik. Ingin loncat kubu. Satunya lagi diam. Take the blow. Jiwa Corsa. Tersingkir. In silence. Dihianati dan ditinggalkan. Alone.
Tidak ada yang salah dari ucapan Pa Prabowo. Dia bilang, Ibu Ani memilihnya waktu pilpres 2014 dan 2019. Secara subjektif, Pa Prabowo menghargai Ibu Ani. Sebuah apresiasi yang bersifat sangat pribadi dan erat. The highest form of gratitude.
Susilo tidak suka. Jadi polemik. Buzzer Demokrat menyalak. Ikuti arahan Si Bos. Langit belum runtuh, penghianatan sudah dilakukan. “The man is a political animal,” kata Philosopher Aristotle.
Berita terkait: http://semarak.co/prabowo-ungkap-pilihan-bu-ani-yudhoyono-saat-takjiah-rupanya-karena-permintaan-sby/
Rambut Donald Trump jadi “political tool” to attack. Topi merah. Sakit. Usia. Ucapan bela sungkawa. Semuanya politik. Zoon politikon. Thomas Mann menyatakan, “Everything is politics”.
Too much politics destroy friendship. Jenderal Susilo mengubah diri sebagai politikus murni. Patriotisme dan loyalty menjadi usang. Mungkin karena “too much politics”, dia dan partainya ditinggalkan pemilih. Partai Demokrat menjadi partai 1-digit. Kalah dari PKB dan Nasdem.
“One of the reasons people hate politics is that truth is rarely a politician’s objective. Election and power are,” kata Cal Thomas. My loyalty to Ibu Ani seharusnya mewujudkan aspirasi almarhuma di tahun 2014 dan 2019 yaitu menjadikan Pa Prabowo sebagai Presiden.
THE END