Opini Ahmad Sastra, BUDAYA NYONTEK : CERMIN BURUK PERADABAN BANGSA

capres cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandi (jas hitam) saat debat capres. foto: internet

Opini oleh Ahmad Sastra 

Forum Doktor Islam Indonesia

Apakah pernah nyontek saat ujian sekolah ?. Mungkin sesekali pernah melakukan, disaat sang guru tidak melihatnya. Namun, pernahkan ada guru di kelas yang justru menyuruh siswanya menyontek ?. Jika ada tentu lebih parah dari yang pertama. Dalam dunia pendidikan, budaya nyontek adalah indikasi kegagalan konsep pendidikan karakter.

Penulis punya pengalaman saat bertugas  mengawas UN di sebuah sekolah [sudah lupa tahunnya]. Ada peristiwa yang mengagetkan saya saat itu, saat saya mengawas, datanglah oknum guru yang secara terbuka menyodorkan kunci jawaban kepada siswa. Sontak saya marah dan meninggalkan kelas, bahkan saya tidak mau mengawas hingga UN berakhir.

Saat itu ada oknum guru yang memarahi saya, seolah saya tidak mau memahami ‘kesepakan curang’ itu. Namun dengan tegas tetap saya putuskan untuk tidak mau mengawas UN sebagai bagian dari sikap protes saya. Akhirnya mereka berjanji untuk tidak mengulanginya. Besuknya saya mengawas dan alhamdulillah tidak terjadi peristiwa memalukan itu.

Ada banyak dimensi dan perspektif kenapa seorang siswa nyontek di kelas saat ujian berlangsung. Pertama, dalam sudut pandang intelektual, perilaku nyontek adalah indikasi bahwa siswa bersangkutan adalah tidak memiliki kapasitas intelektual yang cukup, bisa jadi karena keterbatasan otaknya, bisa jadi juga karena minimnya persiapan. Yang pasti adalah tidak adanya ilmu dalam otaknya, sehingga dia menyontek.

Kedua dalam dimensi psikologis, perilaku nyotek saat ujian adalah indikator kecurangan dan ketidakjujuran kepada diri sendiri dan orang lain. dikatakan kecurangan, karena aturan main ujian di sekolah adalah tidak boleh nyontek. Dikatakan tidak jujur karena mencoba menipu dan membohongi diri sendiri dan guru pengawas.

Ketiga dalam dimensi sosiologis, budaya nyontek terjadi ketika lingkungan mendukung tindakan buruk itu. Jika ingin tahu tentang seseorang, maka lihatlah siapa temannya, begitulah pepatah arab menyebutkan.  Artinya, seseorang bisa menyontek saat teman-temen disekitarnya juga mencontek [nyontek rame-rame] dan bersepakat untuk saling melindungi. Lemahnya pengawasan sosial, akan menyuburkan perilaku negatif.

Dalam dunia politik disebut kolusi adalah ketika segerombolan pejabat negara bersepakat untuk korupsi dan bersepakat untuk saling melindungi. Jika ada satu orang yang membocorkan tindakan korupsi, maka justru orang jujur ini yang akan celaka. Oleh Ronggowarsito, kondisi ini disebut sebagai zaman edan, yang gak mau ikut edan, maka tidak kebagian.

Keempat dalam perspektif spiritual, perilaku nyontek adalah tanda lemahnya iman seorang siswa. Dia berfikir bahwa seolah Allah tidak melihat tindakan curang tersebut. Padahal Allah Maha Mengawasi semua perilaku manusia. bisa jadi sang guru tidak melihat kecurangan siswanya saat nyontek, tapi Allah sungguh Maha Melihat.

Dengan demikian, secara individual, kebiasaan nyontek saat ujian menunjukkan bahwa siswa itu adalah bodoh, malas, minim persiapan, curang, tidak jujur, mudah dipengaruhi lingkungan, tidak memiliki prinsip dan kepercayaan diri dan lemahnya keimanan dalam dirinya.

Nah bagaimana pula jika seorang pengawas ujian justru yang memberikan kunci jawaban dan bocoran soal kepada siswanya. Jika hal ini terjadi, maka telah rusaklah sistem pendidikan di sekolah tersebut. Bagimana jika hal itu dilakukan oleh banyak sekolah berdasarkan kesepakatan, maka artinya telah rusaklah sistem pendidikan di negara tersebut.

Jika hal memalukan ini terjadi, maka jargon pendidikan karakter hanyalah omong kosong belaka. Sebab budaya menyontek yang telah dimaklumi adalah gambaran bagi sistem pemerintahan yang ada. Jangan-jangan para pemimpin di negara tersebut, dulunya saat jadi siswa juga telah terbiasa menyontek.

Kenapa dia bisa jadi pejabat ? Karena terbiasa menyontek sejak kecil, maka dia berkuasa juga karena kecurangan sebagaimana telah menjadi kebiasaan dirinya. Jika sistemnya sudah memberikan kesempatan kecurangan, maka para pemimpin negeri itu adalah segerombolan manusia bodoh dan curang. Nah inilah yang namanya demokrasi.

Seorang siswa saat nyontek biasanya sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan guru pengawas. Dia selalu mencari kesempatan dalam kesempitan untuk berbuat curang. Namun bagaimana jika seseorang nyontek justru   secara terbuka dan disaksikan oleh orang banyak karena penyelenggara ujian memang membolehkan dan bahkan memberkan kisi-kisi soal sebelumnya.

Maka, jika hal diatas terjadi, maka berakhir sudah sebuah peradaban bangsa itu. Hal itu menunjukkan buruknya perilaku manusia serta buruknya sistem yang dijalankan. Selain itu perilaku buruk itu juga akan ditiru oleh generasi berikutnya, bahkan mungkin akan lebih parah. Sebagaimana pepatah mengatakan: guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Dalam rumah tanggapun demikian rumusnya, jika orang tua terang-terangan berbuat buruk, maka anak-anaknya akan lebih buruk lagi perilakunya. Jika kepala sekolah terang-terangan merokok di depan siswa, maka para murid akan lebih parah melakukannya.

Apa jadinya jika seorang pemimpin melakukan korupsi dan diketahui rakyat, maka rakyatpun akan mengikutinya. Hal itu setidaknya seolah memberikan contoh buruk kepada rakyatnya, terlebih jika para koruptor tidak dijerat hukum berat, maka pemimpin itu telah mewariskan peradaban buruk bagi rakyatnya yang akan terus berjalan semakin parah.

Peradaban buruk ini dimulai dari budaya nyontek yang telah terbiasa sejak kecil. Menyontek disaat kecil akan tumbuh menjadi tindakan curang saat jadi pemimpin. Pemimpin yang nyontek akan mewariskan peradaban buruk rakyatnya secara turun temurun.

Budaya nyontek adalah cermin buruk peradaban sebuah bangsa. Dalam ajaran Islam, salah satu syarat pemimpin adalah memiliki kemampuan, jika tidak maka tidak layak menjadi pemimpin [khalifah].  Seorang pemimpin berjiwa ksatria adalah mundur secara terhormat dari pada memimpin tapi akan menghancurkan negara.

Stop nyontek, berikan teladan, bangun peradaban. Jika tak mampu, lebih baik mundur, itu lebih terhormat, dari pada hanya akan menghancurkan negara.

[AhmadSastra,KotaHujan,21/01/19 : 05.30 WIB]

Sumber: WAG KAHMI CILOSARI 17, kiriman Een Hendrawati (terusan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *