Opini Agus Widodo: Ihwal Kebutuhan Berprestasi

Agus Widodo, psikologi UMB Kranggan. foto: dokpri

Agus Widodo

(Agus Widodo, psikologi UMB Kranggan)

Mendengar nama Nadiem Makarim CEO Go-Jek, Achmad Zaky CEO BukaLapak atau Jonathan Christie peringkat 11 dunia badminton tunggal putra membuat kita “ngiler” akan prestasi mereka.

Masih muda namun sudah menorehkan prestasi gemilang, mampu melampaui batasan dalam diri mereka dan berhasil menunjukkan prestasi excellent. Kita terinspirasi dan kagum bahkan tidak jarang yang mengidolakan mereka.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa kita hanya mengagumi saja? Kenapa kita tidak menjadi berprestasi seperti mereka? Apa yang mereka punyai yang berbeda dari kebanyakan orang? Tulisan ini adalah jawaban yang penulis temukan dari pertanyaan pertanyaan tersebut.

Pada saat melihat orang berprestasi dan sukses, acapkali fokus kita hanya terletak pada prestasi dan kesuksesan mereka, kita seringkali melupakan proses mereka menjadi berprestasi, dan ketika orang orang mengetahui proses yang mereka jalani untuk menjadi berprestasi dan sukses, orang-orang tersebut hanya bergumam, ya mereka pantas menjadi yang terbaik karena mereka ulet, tekun, dan mau menerima resikonya dan lain lain.

Menjadi seorang berprestasi dan sukses merupakan keinginan hampir setiap manusia di dunia ini, namun tidak banyak orang yang mau menjalani proses dan berhasil mewujudkannya.

Pertanyaan mendasar yang selalu saya renungkan adalah apakah berprestasi itu adalah milik orang orang tertentu saja atau hak spesial bagi sebagian kecil orang saja? Apakah saya, saudara dan banyak orang lainnya tidak berhak atas kehidupan berprestasi? Apakah mereka lahir dan tumbuh di dalam keberuntungan? Apakah itu sudah takdir bagi mereka yang berprestasi dan sukses dan takdir saya dan Saudara hanya menjadi biasa saja?

Saya mengamati bahwa berprestasi dimulai dari mentalitas dan dorongan dalam diri seseorang, seseorang dapat memilik dorongan yang kuat dan ada orang yang bahkan merasa tidak perlu untuk berprestasi.

Walaupun saya belum berkesempatan bertemu secara langsung dengan Nadiem Makarim, Achmad Zaky maupun Jonathan Christie, namun beberapa kali saya berkesempatan berdiskusi dengan beberapa kawan yang memiliki mentalitas berprestasi.

Beberapa ciri yang saya dapati adalah mereka adalah orang orang yang berpikir positif, memiliki tujuan yang jelas dan yang paling utama adalah selalu berusaha menjadi yang terbaik. Mereka tahu dengan pasti bahwa mereka adalah “creator” masa depan mereka sendiri, “creator” nasib mereka sendiri.

Di lain pihak, saya juga memiliki beberapa kawan yang sama sekali tidak memiliki mentalitas berprestasi, ketika berdiskusi dengan mereka, pikiran negatif, keluhan dan bahasa putus asa saya bisa tangkap dari pembicaraan mereka.

Seolah olah semua hal di luar merekalah yang salah dan menyebabkan kesulitan hidup mereka. Mereka menyampaikan bahwa mereka “ditakdirkan” hidup susah, miskin dan tidak berprestasi.

Meskipun saat saya tanyakan ke mereka, darimana mereka tahu bahwa mereka ditakdirkan seperti itu? Apakah ada “user manual” saat mereka lahir yang mengatakan takdir mereka buruk? Mereka tidak bisa menjawabnya. Mereka adalah korban, begitulah kira kira kesimpulan pemikiran mereka.

Dari dua kelompok kawan tersebut saya bisa melihat bahwa masing masing memiliki mentalitas dan pola pikir yang bertolak belakang, yang satu memiliki mentalitas berprestasi dan yang lainnya mentalitas gagal.

Dalam situasi yang sama, mereka bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda, manakah sudut pandang yang benar? Keduanya bisa jadi benar, namun untuk menjadi berprestasi kita harus memiliki pandangan yang tepat, yaitu pandangan optimis dan melihat peluang ketimbang pandangan pesimis dan keluhan. Mentalitas ini menjadi semacam program dalam pikiran mereka, yang satu menuntun menuju keberhasilan dan yang lainnya menuju kegagalan.

Memilih program Mentalitas Berprestasi

Mentalitas berprestasi ini seumpama program komputer yang membantu kita dalam memproses sesuatu, apabila kita ini menulis karangan maka kita akan menggunakan program word, apabila akan menghitung angka dan rumus, kita menggunakan program excel, untuk presentasi kita akan menggunakan program power point, dengan program yang tepat.

Maka kita akan mengerjakan setiap proses dengan cepat dan efektif. Kita akan mengalami kesulitan apabila menggunakan program power point untuk menghitung angka dan rumus, atau menggunakan program excel untuk membuat karangan atau proposal.

Program yang kita pakai harus benar terlebih dahulu, demikian pula dengan manusia, apabila kita mau berhasil maka sudah semestinya menggunakan program mentalitas berprestasi, bukan program mentalitas gagal.

Bagaimana Kalau program Terlanjur Salah?

Karena mentalitas berprestasi ini semacam program dalam otak kita, tentunya kita memiliki peluang untuk “menginstall ulang” program kita. Hal pertama yang perlu diinstal adalah keyakinan bahwa kita bisa berprestasi. Keyakinan ini sangat penting, karena akan memberikan kekuatan dan arah untuk membangun mentalitas berprestasi.

Gunakan Filter untuk Saring Informasi

Pilih yang positif dan buang yang negatif, pastikan “sampah” tidak masuk dalam pikiran kita, itulah cara untuk menginstall program berprestasi dalam otak kita. Seperti halnya olahragawan berlatih konsisten, maka mentalitas berprestasi perlu terus dilatih, proses ini tidak seperti menonton sinetron, dimana episode hari ini tokoh utama masih menderita kegagalan dan kemiskinan.

Kemudian episode selanjutnya tokoh utama sudah menemukan ide dan menjadi berhasil dan sukses. Jonathan Christie tidak hanya berlatih sehari semalam dan tiba tiba menjadi peringkat 11 dunia.

Pertanyaan lebih baik daripada pernyataan

Saat mengalami kegagalan, orang gagal akan lebih banyak mengeluarkan kalimat pernyataan, “memang aku nggak akan bisa sukses, memang aku ditakdirkan untuk gagal, ya beginilah saya” sehingga otak mereka pun akan berhenti berpikir.

Di lain pihak, orang sukses dan berprestasi akan mengeluarkan kalimat pertanyaan, “kenapa aku belum berhasil ya? Bagaimana caranya mengatasi permasalahan ini ya? Apa yang harus saya perbaiki ya?”, semakin banyak kalimat pertanyaan yang kita keluarkan maka akan merangsang otak kita untuk berpikir membantu dalam proses keberhasilan kita.

Ganti “nanti” dengan “sekarang”

Kata berbahaya bagi orang yang mau berprestasi adalah nanti. Nanti saya akan memulai setelah saya tidak punya masalah, nanti saya mulai kalau hutang sudah lunas dan nanti nanti yang lain. Semakin banyak kata nanti semakin besar peluang kita gagal. Tidak peduli dari mana kita akan mulai, pastikan lakukan sekarang.

Untuk apa kita berprestasi?

Seorang teman saya mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk suatu tujuan mulia. Teman saya percaya bahwa berprestasi adalah salah satu cara bagi dirinya untuk memenuhi tujuan dia diciptakan, bagi dia berprestasi bukan hanya sekedar ambisi pribadi. Dengan berprestasi kita juga berpeluang untuk menolong sesama, meningkatkan harkat dan martabat manusia dan banyak hal baik yang bisa kita lakukan.

Berprestasi adalah suatu kebutuhan menjawab tantangan dewasa ini, bukan sekedar keinginan. Modernisasi, Revolusi Industri 4.0 membutuhkan motivasi dan mentalitas berprestasi. ***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *