Operasi Menjegal Anies dan PKS

Anies Baswedan (baju batik) di kantor Partai Buruh tampak disambut dan ditemani Ketua umum Partai Buruh Said Iqbal saat memberi keterangan pada wartawan. Foto: ist

@rafif_amir *)

semarak.co-Banyak orang sibuk menyalahkan PKS. Bahwa PKS telah berubah. Bahwa PKS menjegal Anies. Bahwa PKS mendukung politik dinasti. Lalu mereka yang mengaku pemilih PKS mencaci maki habis-habisan. Hingga meramaikan tagar “bye-bye PKS”.

Bacaan Lainnya

Mereka tidak sadar, bahwa mereka telah menjadi bagian dari upaya menumbangkan partai Islam, yang kiprahnya telah mereka akui sendiri dalam kancah perpolitikan nasional. Mari kita dudukkan perkara ini dengan jernih dan pelan-pelan.

Di setiap negara, operasi melumpuhkan dan menumbangkan partai Islam selalu terjadi. Mereka tak akan membiarkan partai Islam besar. Mereka menganggap – sebagaimana yang pernah diingatkan M.Natsir – bahwa Islam politik adalah ancaman, karena itu harus dihabisi.

Tahun 2014, operasi terhadap PKS dilakukan lewat kasus hukum. Terlepas benar atau tidak dugaan korupsi itu, silakan dipelajari kembali. Namun kita sama-sama tahu bahwa banyak kasus hukum di negeri ini yang ditunggangi konspirasi politik.

Tahun 2019, operasi senyap pada PKS dilakukan lewat prahara internal. Dualisme kubu yang meruncing, hingga menyebabkan perpecahan. Ujungnya, Anis Matta dan Fahri Hamzah Cs keluar dan mendirikan partai baru.

Keduanya terjadi menjelang pemilu. Tahun 2024, relatif tak ada badai yang menghampiri. PKS melaju dalam Pemilu dan ternyata suaranya naik meski tak terlampau signifikan. Namun rupaya, operasi itu dilancarkan pasca pilpres dan pemilu legislatif.

Pilkada 2024 tensinya mirip Pemilu. Bisa dibilang Pemilu jilid 2. Karena diadakan serentak di banyak kota/kabupaten dan provinsi. Juga melibatkan nama-nama besar dalam kontestasi. Maka momentum ini dipilih untuk memdowngrade PKS secara elektoral.

Membangun krisis kepercayaan pada partai Islam dan menghempaskan mereka dari panggung perpolitikan nasional. Operasi itu dimulai dari Sumatera Utara. Terlalu panjang kalau diceritakan di sini semua. Poinnya, dukungan PKS pada Bobby dikapitalisasi untuk menggiring opini bahwa PKS telah mendukung politik dinasti.

Padahal jelas, PKS awalnya komitmen mendukung Eddy Rahmayadi. Tapi Eddy dan PDIP tak kunjung memberikan kepastian. Sementara PKS yang suaranya tidak signifikan di Sumut tak mungkin mengusung sendirian. Maka akhirnya dukungan dialihkan ke Bobby dengan 9 komitmen politik yang ketat.

Inilah cara PKS memgkompromikan idealisme dan realitas politik dalam meraih kemenangan. Setelah PKS deklarasi dan tanda tangan dukungan, tak lama kemudian PDIP mengumumkan bahwa Eddy Rahmayadi jadi maju di Pilgub Sumut.

Lalu angin tak sedap dari Sumut berlanjut ke Jakarta. Setelah PKS memutuskan bergabung dengan KIM mengusung RK, media sosial gempar. PKS dituding mengkhianati Anies. Tiba-tiba datang segerombolan orang berdemonstrasi di depan Kantor PKS mengancam akan meninggalkan PKS.

Padahal setelah ditelusuri, di Pileg 2024 mereka tak memilih PKS. Tepat sehari setelah PKS deklarasi mengusung RK-Suswono, putusan MK keluar. Ada yang janggal dari putusan ini. RPH yang ditandatangani 1 Agustus, diumumkan 20 Agustus.

Putusan MK tentu kita dukung, tapi kita mengendus permainan politik dibalik diulurnya pengumuman itu. Silakan ditelusuri, rekam jejak para Hakim MK. Ada yang nuansa merahnya kental di sana. Di saat bersamaan, PDIP belum mengusung nama calon untuk Pilkada Jakarta.

PDIP yang sejak awal tampak tenang dan tak gelisah dengan syarat 20% suara, menyambut putusan MK. Nama Anies semakin santer akan diusung. Sementara PKS dengan putusan MK tak mungkin berbalik arah. Komitmen koalisi sudah ditandatangani.

Lagi pula, di saat bersamaan Anies-PDIP semakin rapat. Ketika pengumuman calon kepala daerah tahap 3, semua sudah menduga bahwa PDIP telah melingkarkan cincin emas di jari manis Anies. Namun semua itu, ternyata palsu!

Siapa yang bertanggung jawab atas gagalnya Anies maju? Ya PDIP. Tak ada lain. Setelah menerima banyak hujatan, PDIP berusaha cuci tangan dengan “membuang” Anies ke Jabar. PDIP menyadari, Jabar bukan medan perangnya.

Tapi dengan mengusung Anies akan bisa memecah suara dukungan ke Syaikhu-Ilham Habibie. Beruntung, Anies menolak. Tapi PDIP tetap merasa diuntungkan. Ia akan mengatakan bahwa PDIP adalah pahlawan bagi Anies. Lalu membangun narasi bahwa ada kekuatan besar yang menjegal Anies.

Semua tahu bahwa PDIP-lah yang menjegal Anies. Sejak bagaimana ia bermain mata dengan Anies bahkan ketika PKS telah mendeklarasikan Anies, hingga batalnya Anies diusung di Jakarta, dan terakhir upaya “membuang” Anies ke Jabar.

Jika para pendukung Anies muak dengan rezim saat ini, ketahuilah bahwa PDIP bisa memproduksi rezim yang sama di kemudian hari. Produknya bisa habis, tapi pabriknya masih terus eksis. Skenario pecah belah dalam politik bukan hal yang baru.

Skenario meminggirkan partai Islam dan tokoh-tokoh potensial juga bukan hal baru. Sudah dilakukan juga oleh orde baru. Ketika Soeharto saat itu mencegah Masyumi hidup kembali. Ketika M. Natsir dan tokoh-tokoh politik Islam dicekal.

Hingga akhirnya Natsir terpinggirkan dalam panggung politik. Lalu memilih mendirikan ormas DDII. Jika para pendukung Anies dan pendukung PKS mau menyadari ini, menyadari upaya pecah belah ini, segera akhiri pertikaian.

Silakan berbeda dan menempuh jalan masing-masing. Kita dukung Anies mendirikan partai baru. Kita dukung PKS juga untuk terus berkontribusi. Tak menutup kemungkinan, partai besutan Anies nanti dan PKS akan berkoalisi di 2029.

Sidoarjo, 31 Agustus 2024
*) Penulis buku Masyumi, PKI, dan Politik Xaman Revolusi

 

sumber: AMAR MARUF NAHI MUNKAR (postSelasa3/9/2024/farahbiahshahib)

Pos terkait