Oleh Lasarus Jehamat *
semarak.co– Kontestasi politik lokal di Indonesia akan segera berlangsung akhir tahun. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan dilakukan di 270 daerah. Pilkada kali ini menjadi sangat strategis.
Selain karena aroma kontestatifnya kental karena berbagai sebab, pilkada serentak dilakukan di tengah bangsa ini dilanda pandemik korona. Karena realitas demikian, pelaksanaan Pilkada serentak kali ini menjadi ujian keberlangsungan demokrasi.
Ada dua alasan utama mengapa Pilkada kali ini menguji pelaksanaan demokrasi. Pertama, demokrasi mengandaikan adanya partisipasi aktif masyarakat dalam politik. Itu berarti, semua elemen politik bertanggung jawab untuk melibatkan masyarakat dalam politik secara berkualitas. Partai politik harus disebut di sana.
Minimnya partisipasi masyarakat tentu berdampak pada menurunnya kualitas demokrasi. Proses pelibatan masyarakat inilah menjadi ujian setiap elemen yang berkontestasi.
Kedua, kontestasi yang berlangsung di tengah pandemik, berdampak pada dua hal, yakni politisasi bencana dan meningkatnya ongkos politik. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, setiap bencana selalu memiki dampak ikutan di belakanganya.
Pandemik Covid-19 membutuhkan kerja keras semua orang untuk memutus mata rantai penyebaran. Meski demikian, di jalur lain, beberapa kelompok berusaha agar bantuan yang ada disalahgunakan untuk tujuan popularitas elektoral.
Sudah banyak bukti selama ini menunjukkan bahwa banyak elite yang akan bertarung memanfaatkan bantuan sosial untuk tujuan politis. Elemen di luar pemerintahan keras mengingatkan semua pihak untuk tidak melancungi bantuan bencana korona.
Pernyataan keras tersebut didasari pada pengalaman bencana sebelumnya. Pelancungan bantuan bencana corona berdampak buruk tidak saja bagi penyelesaian masalah korona tetapi juga terutama bagi penanaman nilai demokratis.
Di titik yang lain, pandemic Covid-19 berdampak pada naiknya ongkos politik untuk sosialisasi dan kampanye para calon. Realitas ini berujung pada penggunaan berbagai cara untuk tujuan politik. Penggunaan media untuk tujuan kampanye tentu membutuhkan ongkos yang tidak kecil.
Dalam The Price of Democracy, How Money Shapes Politics And What To Do About It, Julia Cagé (2020) menyebutkan uang masih menempati panggung utama dalam politik. Menurutnya, demokrasi berarti siapa yang membayar kemenangan. Politik merupakan medan pertarungan antara demokrasi di satu sisi dan marketisasi di sisi yang lain.
Ongkos demokrasi menjadi mahal ketika rakyat yang ikut berpartisipasi dalam politik tidak mendapatkan apa-apa setelah proses politik berlangsung. Di ruang seperti itu, demokrasi membutuhkan ongkos. Artinya, jika selama ini kita hanya mengenal ongkos politik, sekarang, demokrasi memiliki daya tersendiri yang mengikat apa pun.
Maka, uang merupakan elemen penting. Uang tidak hanya membentuk politik atau sistem dalam kategori tertentu tetapi sekaligus membentuk demokrasi. Masalahnya, dalam sistem politik yang paternalistik, uang bisa membeli segalanya.
Dengan demikian, demokrasi sulit berjalan dan yang ada ialah politik nihil nilai. Implikasi lanjutannya ialah tunduknya semua pihak pada hukum pasar politik. Buah dari model paternalistik politik ialah politik biaya tinggi.
Sebab, setiap langkah politik selalu dihitung dan ditakar dengan uang. Termasuk di dalamnya ialah proses kampanye, sosialisasi, dan elektoral lainnya. Sejatinya, menurut Cage, hal itu lumrah. Sebab, di beberapa negara, termasuk Indonesia, beberapa item biaya itu ditanggung negara.
Masalahnya, di lapangan bantuan tersebut tidak dimanfaatkan seefektif mungkin untuk tujuan kesuksesan proses politik. Banyak pihak menggunakan bantuan yang diberikan pemerintah untuk tujuan lain.
Itu satu soal. Di soal lain, semua peserta yang terlibat dalam politik telah melembagakan sebuah sistem politik yang mahal. Mahar politik harus disebut di sini.
Ketika banyak partai politik meminta mahar atau yang lainnya dalam proses kandidasi, biaya politik menjadi hal yang harus dihitung. Ketika ongkos politik begitu tinggi, demikian Cage, masyarakat harus siap menerima konsekuensi atas mahalnya ongkos demokrasi.
Konteks Indonesia
Pilkada serentak 9 Desember 2020 mendatang menarik didalami terkait ongkos demokrasi seperti disampaikan Cage di atas. Disebutkan, sejak diputuskan pelaksanaan Pilkada tetap dilaksanakan tahun ini, praktik politik uang dan politisasi bencana terjadi secara masif di beberapa tempat yang akan berkontestasi.
Dua fenomena ini terang menurunkan dampak ikutannya. Politik uang jelas berdampak buruk bagi proses penanaman nilai demokrasi yang mengandalkan prinsip persamaan hak dalam politik. Sebab, mobilisasi uang dan sumber daya politik yang lain berimplikasi pada matinya rasionalitas rakyat pemilih.
Pilihan akhirnya ditentukan bukan karena kualitas calon tetapi karena besaran uang yang diterima pemilih. Mereka yang memiliki modal besar bisa saja membajak semua suara pemilih lepas dari seperti apa kualitas calon yang diusung.
Di sudut yang lain, politisasi bantuan sosial Covid-19 tidak hanya menurunkan nilai moral bantuan tetapi juga ambruknya tatanan nilai, moral, dan etika politik secara keseluruhan. Sebab, bantuan yang sejatinya diberikan tanpa embel-embel kepentingan harus berhadapan dengan kepentingan politik sesaat beberapa pihak.
Bantuan yang sifatnya netral terpaksa bertekuk lutut di bawah bayang-bayang mereka yang akan berkontestasi. Beberapa hal yang dijelaskan di atas jelas tidak bisa mengangkat moral demokrasi. Sebab utamanya karena demokrasi harus dibayar mahal.
Pengorbanan rakyat untuk ikut serta dalam pilkada dijawab dengan hasil pilkada yang jauh dari kadar kualitas. Fakta ini memang tidak terjadi di semua tempat. Sebab, di beberapa tempat yang lain, calon yang diusung oleh partai politik memiliki integritas diri yang mumpuni dan bisa diandalkan dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi.
Cage menawarkan cara agar politik tidak justeru meningkatkan ongkos demokrasi. Yang paling utama ialah mengikis model politik paternalistik berikut ekses di dalamnya.
Selain itu, regulasi mengenai biaya politik harus benar-benar menjamin agar produk politik yang hasilkan bisa mempertanggungjawabkan semua janji politik tidak saja kepada pemilih di sebuah wilayah tetapi kepada seluruh rakyat di sebuah negara.
*) Penulis dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang. Selasa, 6 Oktober 2020
sumber: kupang.tribunnews.com